Tiadalah Tuhan Adalah Manusia

Hitam yang cerah; langit malam dengan bintik-bintik gemintang membentuk titik-titik tak beraturan sesuai aturan galaksi menjadi suatu pola, entah rasi apa. Mungkin ada Nebula Elang yang sedang melahirkan sang bintang. Mungkin juga sang bintang telah menyepi dengan cahaya api melebihi matahari. Atau bahkan ada bintang yang sekarat mendekati ajal, meledakkan gas panas seperti ribuan tahun lalu saat Supernova pertama kali ada. Yang jelas, adalah bulan yang mencerahkan malam.

Meski tak penuh, kupandangi bulan separuh. Ada lubang berbentuk piring terbang, mungkin karena hantaman bebatuan. Itulah Kawah Bulan yang pernah diceritakan ahli perbintangan, suram dan berdebu pada tiap sisi permukaan. Betapa kehidupan di sana tak pernah terbukti pasti, tetapi Kedamaian dan Ketenangan telah tercatat dalam puisi astronomi. Mungkin bumi pun harus demikian bila ingin ada kedamaian dan ketenangan: tak ada kehidupan, hanya kematian. Ya! Suatu saat nanti, dan itu pasti, ketenangan akan datang memasuki setiap sisi isi bumi.

Yakinlah! Ketika dunia diheningkan dalam kesenyapan, takkan ada kehidupan: Mati! Sudah siapkah kita menghadapinya? Lebih dahsyat lagi: Kiamat! Setelah itu, aku belum tahu, yang datang padaku hanyalah kabar yang kuyakini itu benar. Kebenaran absolut yang tidak harus selalu abstrak dengan logika.

Seketika pikiranku pun menerawang, melintasi ruang antara alam pikir dan alam hadir. Ah, semestinya logika berkisar pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang persoalan eksistensial dalam segala bidang: Siapa aku? Lebih lanjut lagi pada ke-ada-an diri yang sulit dipahami: Dari mana datangku? Hendak ke mana? Melalui jalan mana dan bagaimana? Semua itu butuh jawaban, sebagaimana rindu yang mengharapkan kehadiran. Kerinduan tentang emosi jiwa yang mencari jati diri, identity.

Perlukah mempertanyakan jati diri? Aku sempat ragu. Mungkin lebih baik kubiarkan saja kehidupan berjalan sendiri menyususri waktu, mengalir bagai safir yang mencair. Toh pada akhirnya sama juga, sama-sama akan mati. Tapi, apakah eksistensi dalam kehidupan hanya menanti kematian? Lalu di mana esensi pada manusia dalam menemukan makna kehidupan di dunia? Bahkan kehidupan kembali setelah kematian? Tentunya, sebagai manusia yang terbentuk atas esensi dan eksistensi, aku akan menjawab: Ya, aku harus mempertanyakan jati diri; siapa, dari mana, ke mana. Jika tidak, hidup di alam fana akan terasa hampa, tanpa makna, tanpa arah.

Menentukan arah perjalanan merupakan proses untuk sampai pada tujuan. Dan inilah  esensi dalam arti kata hidup bermakna, termasuk proses dan tujuan. Sedangkan eksistensinya adalah keberadaan manusia sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan. Ia dapat diartikan dengan cara hidup manusia di dunia dengan segala norma adat dan etika agama. Cara berada manusia berbeda dengan cara berada makhluk lain di dunia. Cara manusia hidup membentuk masyarakatnya berbeda dengan cara binatang berkembang biak. Inilah alasan betapa pentingnya manusia mempertanyakan jati dirinya sebagai makhluk hidup yang berpikir (hayawan nathiq), yang terbentuk atas esensi dan eksistensi.

Kebanyakan manusia hanya memikirkan eksistensi; keberadaan manusia di dunia fana, tanpa pernah mendalami esensi; mencari makna hakikat kehidupan. Bagi Plato, semua gejala yang terjadi berasal dari sebuah eksistensi. Artinya, manusialah yang menentukan segala perbuatannya tanpa esensi. Ia beranggapan bahwa dengan mengasimilasikan eksistensi kepada esensi, maka materi berasosiasi dengan sesuatu yang tidak ada. Keberadaan manusia sudah jelas, sedangkan proses dan tujuan hidupnya masih bisa diperdebatkan. Ia memiliki hak penuh untuk menentukan arah dan tujuan tanpa harus menunggu ketetapan Tuhan. Bahagia atau sengsara bukan Tuhan yang menentukan, tapi kerja keras manusia dalam segala perbuatannya. Atas dasar inilah Qadariyyah melandaskan pemikirannya tentang betapa berkuasanya manusia tanpa campur tangan Tuhan. Kenapa kebebasan manusia harus dibelenggu? Bukankah dalam keyakinan relativitasnya, manusia bebas berkehendak sesuai dengan apa yang ada di dalam dirinya sendiri? Manusia memiliki alam pikir yang hidup. Ia bebas membunuh etika agama yang mulai redup.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles menggunakan perbedaan dualis. Meskipun pada dasarnya sama bahwa manusialah yang menentukan, tetapi berbeda dari segi esensi. Ia tidak menghapus esensi dari bentuk perbuatan manusia, hanya saja ia memandang eksistensi lebih dulu daripada esensi. Artinya, manusia berkuasa atas segala perbuatannya, dan perbuatannya itu adalah esensi dalam bentuk nyata. Adanya perbuatan manusia turut menentukan kodrat Tuhan dalam menggapai tujuan hidup yang memiliki makna. Atas dasar ini, Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mengetahui apa yang akan terjadi hingga terealisasikannya eksistensi. Dengan kata lain, kodrat Tuhan ada dan diketahui setelah sepersekian detik dari penentuan manusia atas perbuatannya.

Jika pemikiran Plato dan Aristoteles adalah kebenaran, lalu apa peran Tuhan? Tak ada. Ia cukup menciptakan Adam dan Hawa, lalu mengintip malam pertama mereka di atas singgasana surga. Setelah itu, Ia hanya menonton opera manusia yang dipentaskan di atas panggung dunia. Lebih Parah lagi: bahkan Tuhan memang (sudah) tiada. Entah sejak zaman Fir’aun memperbudak Bani Israel selama 400 tahun, entah sejak Kaum Yahudi membelenggu tangan Tuhan, atau sejak Nietzsche membunuh Tuhannya? Oh, ya! Aku pernah mencoba membunuh Tuhan. Aku pernah mencoba melepaskan keyakinan akan suatu hukum dalam agama yang bersifat obyektif dan universal. Tetapi selalu saja gagal. Mungkin di lain waktu akan kuceritakan.

Tanpa terasa malam semakin larut. Bintang-bintang mulai beringsut. Hilang disapu angin yang mulai dingin. Mungkin sudah saatnya memejamkan mata, berdansa dengan para bidadari surga. Tapi perasaan masih belum bisa tenang. Pencarian Jawaban tentang siapa sebenarnya manusia masih belum menemukan titik terang. Hubungan antara esensi dan eksistensi masih mengambang. Pikiranku kembali menerawang melintasi ruang dan waktu.

Dari segi ruang, eksistensi merupakan perwujudan perbuatan manusia dalam menerjemahkan esensi dari Tuhan yang termaktub di Lauh al-Mahfudz ke dalam realita yang aktual di muka bumi. Artinya, manusia memiliki usaha untuk melakukan suatu perbuatan dengan ikhtiarnya. Tapi perbuatan yang terjadi itu atas kehendak Tuhan, bukan berasal dari kuasa manusia. Manusia hanya mampu berusaha mewujudkan perbuatannya, berproses menjalin hubungan dengan lingkungan yang bernorma adat dan beretika agama. Tetapi Tuhanlah yang menentukan segalanya, meskipun hasil dan tujuan tidak selalu sama dengan usaha.

Dari segi waktu, esensi sudah lebih dulu ada jauh sebelum manusia menentukan segala perbuatannya. Ia adalah dasar dari hidup manusia. Sebelum manusia dilahirkan, tujuannya sudah jelas: kembali ke tanah. Tanah yang mana? Tanah tempat asal manusia diciptakan. Di sini pentingnya esensi menemukan makna kehidupan, arti dari perjalanan manusia selama bernafas di atas muka bumi. Kadang, manusia melupakan proses dan tujuan hidup. Mereka lebih mementingkan bagaimana mempertahankan eksistensi, bukan menyelaraskannya dengan esensi. Kehidupan yang keras memang terkadang menuntut manusia untuk berkompetisi, tapi bukan berarti melupakan tujuan inti. Keseimbangan sangat dibutuhkan agar kehidupan dapat berjalan selaras.

Sudahkah menyelaraskan eksistensi dengan esensinya? Apakah keberadaan manusia dalam perbuatannya sudah sejalan dengan tujuan akhir? Ke mana engkau hendak bermuara, wahai manusia?  Ketika datang saatnya mati, siapkah kembali kepada Tuhan Yang Abadi? Ya, Tuhan itu abadi! Manusia hanyalah makhluk fana yang akan mati. Entah mati secara wajar atau dengan ikhtiar. Entah mati di usia muda atau hidup lama tanpa makna. Entah mati menjadi mayat yang dimanja atau malah disiksa.

Semuanya masih serba ghaib. Kadang (bahkan sama sekali) logika tak mampu mendefinisikannya, tetapi totalitas diri dalam religiositas penghayatan konseptualisasi dapat dengan mudah menembusnya. Logika seharusnya hanya berpikir tentang Dunia Bawah; ke-ada-an manusia yang (mungkin) sebenarnya tiada, bukan malah meragukan keyakinan tentang Dunia Atas; ke-tiada-an Tuhan yang (memang) sebenarnya ada. Bukankah “Tuhan tidak meminta agar manusia menjadi kaum teolog, tetapi menjadi manusia beriman”? Berkeyakinan! Dan itulah dambaan manusia untuk hidup dalam kekudusan; hasrat untuk hidup dalam realitas obyektif dunia nyata, bukan hanya kenisbian tiada henti dalam kejadian subyektif dunia maya.


oleh: Ahmad Yasir Falah al-Khudri, BA.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s