Takzim Terhadap Guru: Salah Satu Syarat Menuntut Ilmu

Dalam menuntut ilmu, seseorang diharuskan memiliki seorang guru yang mengajarinya. Karena, diyakini atau tidak bahwa sistem belajar autodidak atau belajar sendiri (tanpa petunjuk seorang guru) hanya akan membawa kesesatan dan kegelapan. Salah seorang ulama mujtahid mutlak, Imam Syafii mengungkapkan dalam syairnya (sebagian sumber juga menyebutkan Imam Ali bin Abi Talib dengan redaksi yang sedikit berbeda) bahwa ada enam syarat seseorang menuntut ilmu. Salah satunya ialah adanya petunjuk dari guru. Berikut bunyi syairnya (dikutip dari kitab Dīwān al-Imām al-Syāfi`ī karya `Abd al-Raḥmān al-Muṣṭāwī [2012, hlm. 122], Beirut: Dar Al-Marefah):

سَأُنْبِيْكَ  عَنْ تَفْصِيْلِهَا  بِبَيَانٍ

*

أَخِيْ لَنْ  تّنّالَ  العِلْمَ  إِلاَّ  بِسِتَّةٍ
Aku akan memberitahukan uraian dan perinciannya

*

Saudara, ilmu tidak akan didapat, kecuali dengan enam hal
وَصُحْبَةُ  أُسْتَاذٍ   وَطُوْلِ   زَمَانٍ

*

ذَكَاءٌ  وَحِرْصٌ وَإِجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ

Belajar pada seorang guru, serta dalam waktu yang lama

*

Otak cerdas, hasrat konsisten, sikap tekun, dan bekal tebal

Dari syair tersebut, tentunya dapat kita pahami bahwa seseorang tidak akan mendapatkan ilmu apabila dia hanya mengandalkan akal dan pikirannya pribadi, dalam artian tidak mau dicampurtangani oleh guru yang bertugas mengoreksi.

Sebagai contoh, ketika seseorang mendalami agama, sudah barang tentu suatu ketika menemui jalan buntu. Lalu, ketika ia menemui jalan buntu, lantas tidak memiliki guru, ia hanya akan mencari pemecahan masalah sendiri berdasarkan nalarnya pribadi. Kesalahan yang mungkin saja terjadi tak akan diketahui sehingga akhirnya timbul pemahaman yang bertentangan, bahkan cenderung menyesatkan. Lebih parah lagi apabila pemahamannya itu malah disebarkan kepada masyarakat awam yang tanpa pengetahuan sehingga menjadi fatwa yang ditetapkan, padahal dirinya hanya mengungkapkan apa yang ada di benaknya, hal itu hanya akan menghasilkan kesesatan dan kekeliruan hingga sekian turunan.

Ada pula seseorang yang belajar sendiri dengan bantuan buku-buku catatan. Walaupun memiliki tujuan yang bagus, apabila tidak dibarengi oleh bimbingan seorang guru, buku yang dibaca pun besar kemungkinan akan menyesatkan. Karena sejatinya, bahasa buku terkadang sulit dipahami sehingga butuh seorang ahli untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman ilmu secara pasti. Tidak bisa ditafsiri sendiri.

Selanjutnya, seseorang yang belajar (khususnya belajar agama) diharuskan bersikap baik dan takzim terhadap gurunya sebagaimana sikap baik dan takzimnya terhadap kedua orang tua. Bahkan, ketika seorang guru mengajari seseorang melebihi apa yang diajarkan orang tuanya, maka sepantasnya guru tersebut lebih dimuliakan walaupun tetap tidak melupakan jasa kedua orang tua.

Dalam hal ini, Imam Al Ghazali menyamaratakan posisi orang tua dan guru dalam kehidupan seseorang. Beliau mengungkapkan bahwa ada tiga kelompok yang disebut sebagai orang tua, yaitu orang tua yang melahirkan kita, orang tua yang menikahkan kita, dan orang tua yang mengajari kita. Ketiga orang tua tersebut termasuk ke dalam orang tua yang disebutkan al Quran dan as Sunah untuk dimuliakan sebagaimana mereka telah mengurusi, membiayai, mengajari, membimbing, dan menyayangi kita sejak kecil. Untuk itu, murka mereka terhadap kita sama dengan murka Allah kepada kita.

Atas dasar hal tersebut, maka jangan heran ketika para santri di berbagai pondok pesantren terkesan lebih takzim dan memuliakan guru ngaji (kiai)nya daripada kedua orang tuanya. Selain karena memang sedari kecil mereka didik di pondok pesantren, beberapa orang tua mereka masih banyak yang terlalu sibuk sehingga melupakan kewajibannya mengajarkan sekadar alif ba ta.

Para santri rela direpotkan kiai, rela (dengan kesadaran dirinya) membersihkan rumah kiai, menyucikan pakaian keluarga kiai, menyucikan perabot rumah tangga kiai, tidak berani mengatakan ‘tidak’ atas permintaan kiai, tidak berani bertanya atas fatwa kiai, bahkan tidak berani sekadar mengangkat kepala ketika berbicara dengan kiai. Ketakzimannya itu merupakan bentuk cinta mereka kepada kiai seperti halnya mencintai kedua orang tua mereka.

Karena adanya guru ialah sebuah keharusan dalam menuntut ilmu, kemudian posisi guru sama halnya dengan kedua orang tuamu, maka bertakzimlah kepada mereka dengan ketakziman yang menggebu. Tanpa mengharapkan apapun kecuali keridhaan Ilahi dan kemanfaatan ilmu yang didapatkan.

Iklan

One thought on “Takzim Terhadap Guru: Salah Satu Syarat Menuntut Ilmu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s