PUASA RAJAB BERTUAH: SUNAH ATAU BIDAH?

Polemik soal puasa di bulan Rajab selalu mencuat tiap tahun. Ada yang gencar mengampanyekan agar berpuasa, sehingga terkadang malah menyebarkan dusta dengan hadis-hadis palsu. Tidak sedikit pula yang justru mengatakan bidah dan haram, sehingga mengabaikan keistimewaan bulan Rajab. Lalu, di mana titik permasalahan sebenarnya?

.

Ringkasnya (untuk Anda yang malas membaca penjelasan hingga akhir), ulama empat mazhab sepakat bahwa tidak ada keharaman dalam melaksanakan puasa di bulan Rajab. Oleh sebab itu, berniat puasa Rajab bukan perkara bidah. Bahkan, bagi mazhab Syafei (yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia), puasa Rajab adalah sunah. Jadi, bila Anda sudah terbiasa melaksanakan puasa Rajab (bahkan selama satu bulan penuh), lanjutkan! Dengan catatan untuk tidak menganggapnya sebagai suatu kewajiban.

a) Tinjauan Hadis

Kebanyakan orang yang menganggap bahwa puasa Rajab adalah bidah, selalu berpatokan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tentang larangan Nabi dalam berpuasa di bulan Rajab. Hadis tersebut direkam oleh Imam Ibnu Majah (w. 273 H.) dalam Sunan-nya, kitab puasa, bab puasa bulan-bulan haram, nomor hadis 1743[1]. Sayangnya, Syekh Sindi (w. 1138 H.) mengatakan bahwa hadis tersebut daif menurut kesepakatan ulama, karena ada perawi bernama Daud bin Ata. Dalam hal ini, Syekh Sindi juga merujuk pendapat Imam Ibnu al-Jauzi (w. 597 H.). Maka dari itu, hadis tersebut patut diabaikan, karena hadis daif tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum halal dan haram, selagi masih ada hadis sahih[2].

.

Berbeda bila hadis daif digunakan untuk fadilat, masih bisa dijadikan acuan menurut jumhur ulama[3]. Hal ini merujuk pada pendapat Imam Nawawi (w. 676 H.) dalam al-Arbā`īn[4] yang mengatakan bahwa ulama telah sepakat atas kebolehan menggunakan hadis daif untuk fadilat amal. Ungkapan tersebut disalin secara utuh oleh Dr. Mustafa Buga (l. 1356 H.) dalam al-Wāfī[5]. Sementara Syekh Jurdani (w. 1331 H.) menegaskan kata “ulama telah sepakat” adalah mayoritas atau kebanyakan ulama[6].

.

Penerapan hadis daif untuk fadilat, misalnya hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang doa Nabi ketika memasuki bulan Rajab. Hadis tersebut daif menurut penilaian Imam Nawawi dalam al-Ażkār[7][8]. Namun, karena asal doa adalah boleh, dan karena berdoa merupakan fadilat, maka pengamalan doa dalam hadis tersebut masih diperkenankan. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ibnu Mulaqqin (w. 804 H.) dalam al-Mu`īn[9] dan Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.) dalam Fatḥ al-Mubīn. Ibnu Hajar menambahkan, bahwa dengan mengamalkan hadis daif untuk fadilat, maka orang akan mengambil kebenaran apabila ternyata hadis tersebut sahih berasal dari Nabi. Apabila hadis tersebut memang tidak berasal dari Nabi, tidak lantas membuat hukum halal dan haram menjadi rusak, karena amal tersebut adalah fadilat bukan hukum baku.[10]

.

Adapun dasar hukum puasa Rajab ialah merujuk pada Sahih Muslim (w. 261 H.), kitab 12 tentang puasa, bab 32 tentang puasa Nabi selain di bulan Ramadan dan anjuran untuk tidak mengosongkan pusa dalam satu bulan, nomor hadis 179 [000][11][12]. Hadis serupa direkam dalam Sunan Abi Daud (w. 275 H.), bab puasa di bulan Muharam, nomor hadis 2430[13], serta dalam Sunan al-Kubrā Baihaqi (w. 458 H.), bab keutamaan puasa di bulan-bulan haram, nomor hadis 8420[14]. Semua hadis tersebut diriwayatkan dari Usman bin Hakim al-Ansari, dengan jalur sanad yang berbeda-beda. Berikut teks hadisnya:

.

حدّثنا عثمان بن حكيم الأنصاريّ قال: سألتُ سعيد بن جبير عن صوم رجب——ونحن يومئذ في رجب——فقال: سمعتُ ابن عباس رضي الله عنهما يقول: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتّى نقول: لا يفطر، ويفطر حتّى نقول: لا يصوم.

Telah menceritakan kepada kami bahwa Usman bin Hakim al-Ansari berkata, “Aku bertanya pada Said bin Jubair terkait puasa Rajab——saat itu kami berada di bulan Rajab.” Lalu Said menjawab, “Aku mendengar Ibnu Abbas (semoga Allah meridai keduanya) berkata, ‘Rasulullah saw. terkadang berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak berbuka. Rasul saw. pun terkadang berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak berpuasa.”

.

Dalam kitab al-Minhāj[15], Imam Nawawi mengomentari hadis tersebut bahwa secara zahir, istidlal Said bin Jubair dengan hadis tersebut adalah bahwa Nabi tidak melarang, tidak pula menganjurkan terkait puasa Rajab. Bahkan, hukum puasa Rajab sama dengan puasa di bulan lain. Tidak ada dalil spesifik yang melarang dan menganjurkan puasa Rajab. Akan tetapi, hukum asal puasa adalah sunah. Terlebih bahwa dalam Sunan Abi Daud disebutkan bahwa Nabi menganjurkan untuk berpuasa di bulan-bulan haram, sementara Rajab termasuk di dalamnya.

.

Untuk mengonfirmasi hal tersebut, dalam Sunan Abi Daud, bab puasa di bulan-bulan haram, memang memuat satu hadis panjang bernomor 2428[16]. Hadis tersebut juga dimuat ulang oleh Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubrā nomor 8426 dengan penambahan sanad[17], serta oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya nomor 1741/1 dengan redaksi di akhir yang sedikit berbeda[18]. Semua hadis tersebut diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliah, dari ayah atau pamannya. Berikut teks hadisnya:

.

عن مجيبة الباهلية، عن أبيها أو عمها، أنه أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرتْ حالته وهيئته، فقال: يا رسول الله، أما تعرفني؟ قال: << ومن أنت >>؟ قال: أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول، قال: << فما غَيَّرَكَ، وقد كنتَ حسن الهيئة >>؟ قال: ما أكلتُ طعاماً إلا بليل منذ فارقتُكَ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم << لَم عَذَّبْتَ نَفْسَك >>؟ ثم قال: << صم شهر الصبر ويوما من كل شهر >> قال: زدني فإن بي قوةً، قال: << صم يومين >> قال: زدني، قال: <<صم ثلاثة أيام >> قال: زدني، قال: <<صم من الحرم واترك، صم من الحرم واترك، صم من الحرم واترك >> وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها.

Dari Mujibah al-Bahiliah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia datang kepada Rasulullah saw. kemudian berpisah. Kemudian, ia datang lagi setelah satu tahun dengan tubuh dan keadaan yang berubah. Dia berkata, “Ya Rasul Allah, apakah Anda tidak mengenali saya?” Rasul menjawab, “Siapa engkau?” Dia berkata, “Saya al-Bahili yang pernah menjumpai Anda tahun lalu.” Rasul bertanya, “Apa yang membuatmu berubah, sementara dulu keadaanmu baik-baik saja?” Dia menjawab, “Sejak berpisah dengan Anda, saya tidak makan kecuali pada malam hari.” Rasul bertanya, “Mengapa engkau menyiksa diri?” Lalu lanjut bersabda, “Berpuasalah di bulan sabar dan sehari di setiap bulan.” Dia berkata, “Tolong tambahkan lagi, sungguh saya masih kuat.” Rasul berkata, “Berpuasalah dua hari.” Dia kembali meminta, “Tolong tambahkan lagi.” Rasul berkata, “Berpuasalah tiga hari.” Dia masih meminta, “Tolong tambahkan lagi.” Rasul bersabda, “Berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah!” Beliau mengatakannya sambil menggenggam tiga jari, kemudian membukanya.

.

Dalam kitab al-Majmū`[19], Imam Nawawi mengomentari hadis tersebut terkait ungkapan “berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah”. Bahwa yang pasti, dasar perintah Nabi untuk meninggalkan puasa atau berbuka, karena puasa terus-menerus dipandang akan memberatkan dan menjadikan fisiknya berubah seperti yang terjadi di awal redaksi hadis. Adapun bagi mereka yang tidak berat melaksanakan puasa, maka berpuasa sebulan penuh di bulan-bulan haram——termasuk bulan Rajab——adalah sebuah keutamaan.

.

Hadis ketiga yang setidaknya bisa menjadi dalil terkait anjuran berpuasa di bulan Rajab adalah hadis yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid dalam Sunan al-Nasā´ī (w. 303 H.), nomor hadis 2356[20]. Berikut teks hadisnya:

.

حدّثني اسامة بن زيد قال: << قلتُ: يا رسول الله، لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان، قال: ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان، وهو شهر تُرفَع فيه الأعمال إلى ربّ العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم >>

Telah menceritakan kepadaku Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku berkata, ‘Ya Rasul Allah, saya tidak melihat Anda berpuasa sebagaimana puasanya Anda di bulan Syakban.’ Rasul bersabda, ‘Bulan Syakban adalah bulan yang dilalaikan di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan Syakban juga bulan diangkatnya amal-amal kepada Tuhan semesta alam. Aku suka bila amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”

.

Secara tekstual, hadis tersebut bukan menceritakan soal puasa Rajab, melainkan puasa Syakban. Akan tetapi, disandingkannya bulan Rajab dan Ramadan yang mengapit bulan Syakban, menunjukkan bahwa bulan Rajab memiliki keutamaan. Seperti yang dikatakan oleh Syekh Syaukani (w. 1255 H.) ketika mengomentari hadis tersebut dalam Nail al-Auṭār[21], bahwa dari hadis tersebut posisi puasa Rajab sebagai puasa sunah adalah hal yang zahir. Sebab, orang-orang melalaikan puasa Syakban karena terlalu sibuk mengagungkan bulan Rajab dan Ramadan dengan berpuasa.

.

Lebih lanjut, Syekh Syaukani menempatkan puasa Rajab sebagai puasa sunah karena banyaknya hadis warid. Entah itu hadis umum terkait puasa sunah di bulan-bulan haram dan puasa sunah secara mutlak, mau pun hadis khusus terkait keutamaan puasa dan bulan Rajab. Walau pun memang banyak hadis yang dikutip dan disahihkan oleh Syekh Syaukani justru dianggap daif oleh ulama lain. Salah satunya adalah hadis yang terdapat dalam al-Mu`jam al-Kabīr milik Imam Tabrani (w. 360 H.), nomor hadis 5405, tentang keutamaan puasa satu hari, tujuh hari, hingga 15 hari di bulan Rajab[22].

.

Hadis senada juga ditulis oleh Imam Ruyani (w. 502 H.) dalam kitab al-Baḥr[23]. Hadis tersebut diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, tentang puasa di hari pertama bulan Rajab yang bisa menggugurkan dosa selama tiga tahun, di hari kedua selama dua tahun, di hari ketiga selama setahun, di semua hari selama satu tahun. Syekh Munawi (w. 1031 H.) dalam Faiḍ al-Qadīr, nomor hadis 5051, mengatakan bahwa hadis tersebut daif sekali[24].

.

Jadi, dari segi hadis, puasa di bulan Rajab sunah dilakukan secara mutlak. Mengingat Rajab termasuk ke dalam bulan-bulan haram, dan hukum asal puasa adalah sunah. Terkait keutamaan-keutamaan puasa Rajab dibanding puasa lain, masih dalam perbedaan pendapat ulama. Hal itu mesti dihargai satu sama lain.

b) Tinjauan Fikih

Bila membaca kitab-kitab fikih perbandingan mazhab, akan ditemukan bahwa puasa Rajab adalah sunah menurut mayoritas ulama dan penganut mazhab. Syekh al-Jaziri (w. 1360 H.) dalam Kitāb al-Fiqh `alā Mażāhib al-Arba`ah menyebutkan bahwa puasa bulan Rajab dan Syakban adalah sunah berdasarkan kesepakatan ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafei. Sementara menurut mazhab Hambali, mengkhususkan puasa Rajab adalah makruh, kecuali bila berbuka di antara hari-hari berpuasa maka tidak makruh. Sementara menurut mazhab Hanafi, hukum sunah bisa diraih bila berpuasa di hari Kamis, Jumat, dan Sabtu pada bulan-bulan haram, termasuk Rajab.[25]

.

Selain itu, Profesor Zuhaili (w. 1436 H.) dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adalatuh[26] menyebutkan bahwa puasa di bulan-bulan haram adalah sunah. Bagi kalangan mazhab Syafei dan Maliki, bulan Rajab adalah bulan yang lebih utama untuk berpuasa setelah Ramadan, dibanding bulan-bulan haram lainnya. Tetapi bulan Muharam termasuk ke dalam bulan yang lebih utama secara umum. Sementara menurut mazhab Hanbali, justru bulan Muharam lah yang lebih utama untuk berpuasa setelah Ramadan karena hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya. Hal tersebut diaminkan oleh mazhab Hanafi. Seperti terekam dalam kitab al-Fatāwā al-Hindiyah[27], yang merupakan kumpulan fatwa ulama Hanafi di India. Ketika menerangkan puasa sunah, mereka mendahulukan puasa bulan Muharam daripada puasa bulan Rajab.

.

Hukum sunah terkait puasa Rajab bagi mazhab Hanafi juga ditegaskan oleh Syekh Zabidi (w. 1205 H.) ketika memberi komentar kitab al-Ihyā`[28] milik Imam Gazali (w. 505 H.) yang bermazhab Syafei. Imam Gazali mengatakan bahwa puasa di bulan Rajab secara penuh adalah makruh, karena menyerupai bulan Ramadan. Untuk itu, Syekh Zabidi mengambil kesimpulan bahwa apabila seseorang berpuasa beberapa hari dan berbuka beberapa hari di bulan Rajab, maka hukum makruh menjadi gugur.[29] Studi lintas mazhab tersebut menunjukkan bahwa kalangan Hanafi mendukung pendapat mazhab Syafei terkait puasa Rajab.

.

Perbedaan pendapat terkait bulan yang lebih utama juga terjadi di kalangan mazhab Syafei. Menurut Imam Ruyani, bulan Rajab adalah bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan. Hal itu berbeda dengan Imam Nawawi dalam kitab al-Rauḍah yang menolak pendapat Imam Ruyani[30]. Bahkan menyebut pendapat tersebut galat, cacat, atau keliru dalam kitab al-Majmū` dengan berpegang pada hadis dari Abu Hurairah[31]. Dalam hal ini, Imam Nawawi sejalan dengan kalangan Hambali.

.

Pendapat Imam Nawawi tersebut juga didukung oleh Imam Taqiyuddin al-Hisni (w. 829 H.) dalam kitab Kifāyah al-Akhyār[32], Imam Khatib al-Syarbini (w. 977 H.) dalam kitab Mugni al-Muḥtāj[33], Syekh al-Malibari (w. 987 H.) dalam kitab Fatḥ al-Mu`īn[34], Syekh Abu Bakar al-Dimyati al-Bakri (w. 1310 H.) dalam I`ānah al-Ṭālibīn[35], dan Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H.) dalam kitab Nihāyah al-Zīn[36]. Sementara itu, saya belum menemukan pendapat yang mengatakan lebih utama puasa Rajab bagi kalangan Syafei, selain daripada pendapat Imam Ruyani dan Imam Abdullah al-Hadrami (w. 981 H.) yang dikutip oleh Imam Nawawi dan Profesor Zuhaili.

.

Akan tetapi, pada kenyataannya Imam Ruyani dalam al-Baḥr[37] dan Imam al-Hadrami dalam al-Muqaddimah[38] pun menyebutkan bahwa puasa bulan Muharram lebih utama daripada puasa bulan Rajab. Oleh sebab itu, untuk menjauhi suuzan dan mengambil husnuzan terhadap ulama yang mengutip pendapat Imam Ruyani dan Imam al-Hadrami, saya menyimpulkan terdapat kesalahan percetakan atau ada penyuntingan dari editor dalam kitab al-Baḥr dan al-Muqaddimah yang dibaca.

.

Bagi kalangan mazhab Maliki, puasa di bulan-bulan haram masuk ke dalam kategori puasa yang dianjurkan. Hal itu sebagaimana diungkapkan Imam Ibnu Juzayy (w. 741 H.) dalam al-Qawānīn al-Fiqhiyyah[39]. Terkait keutamaan puasa di bulan-bulan haram, Syekh al-Kharsyi (w. 1101 H) dalam al-Kharsyī `alā Mukhtaṣar Sayyidī Khalīl[40], Syekh al-Adawi (w. 1189 H.) dalam Hāsyiyah al-`Adawī[41], dan Syekh al-Dardir (w. 1201 H.) dalam Syarh al-Kabīr[42], sepakat menempatkan puasa di bulan Muharam terlebih dahulu dibanding puasa di bulan Rajab. Setelah itu, disusul dengan puasa di bulan Zulkaidah, baru bulan Zulhijah. Hal ini berbeda dengan pandangan mazhab Syafei yang mendahulukan bulan Zulhijah dari bulan Zulkaidah.

.

Terakhir, dalam pandangan mazhab Hambali, makruh mengkhususkan puasa di bulan Rajab, karena menyerupai bulan Ramadan. Imam Ibnu Qudamah I (w. 620 H.) menuliskan sebuah riwayat dari Imam Ahmad dengan sanadnya dari Khursyah bin al-Hurr dalam kitab al-Kāfī[43] dan kitab al-Mugnī[44]. Dalam riwayat tersebut, diceritakan bahwa Umar bin Khattab memukul orang yang berpuasa di bulan Rajab hingga orang tersebut berbuka, lalu berkata, “Sungguh, Rajab adalah bulan yang dimuliakan di zaman jahiliah. Berpuasalah di bulan Rajab, lalu berbukalah!”

.

Atas dasar hal tersebut, mazhab Hambali menghukumi makruh puasa Rajab, kecuali bila orang tersebut juga berpuasa sunah di bulan lain pada tahun yang sama, menyambung puasa dari bulan Jumadiakhir, menyambung puasa hingga bulan Syakban, atau berbuka selama beberapa hari di bulan Rajab, sehingga tidak menyerupai bulan Ramadan. Hal tersebut menjadikan puasa Rajab tidak lagi makruh, karena hilang ilat kekhususannya. Itulah pendapat Imam Ahmad sendiri yang dikutip Imam Ibnu Qudamah I, kemudian diaminkan oleh Imam Ibnu Qudamah II (w. 682 H.) dalam Syarh al-Kabīr[45], Imam Ibnu Muflih (w. 763 H.) dalam al-Furū`[46], Imam Ibnu Rajab (w. 790 H.) dalam Laṭā´if al-Ma`ārif[47], dan Syekh al-Bahuti (w. 1051 H.) dalam Kasysyāf al-Qinā`[48].

.

Jadi, dari segi fikih, secara umum puasa Rajab dianjurkan dan dihukumi sunah, bukan bidah. Mereka yang mengatakan bidah, hanya segelintir kelompok tak bermazhab yang tidak paham fikih perbandingan. Imam Ibnu Hajar dalam al-Fatāwā[49] menyebutkan bahwa orang yang melarang berpuasa Rajab itu bodoh. Beliau juga mengutip pendapat Sultan Ulama Izzuddin bin Abdulsalam (w. 660 H.) yang mengatakan bahwa larangan puasa Rajab adalah pendapat orang bodoh dalam pengambilan hukum-hukum syariat.

.

Jika ditinjau dari aspek mazhab, menurut mazhab Hanafi, puasa Rajab menjadi sunah apabila dilakukan pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Menurut mazhab Maliki, puasa Rajab sunah secara mutlak dan tanpa syarat. Menurut mayoritas ulama mazhab Syafei—dan ini adalah kaul muktamad, puasa Rajab sunah tanpa syarat. Sementara menurut Imam Gazali, puasa Rajab menjadi sunah apabila tidak dilaksanakan sebulan penuh. Menurut mazhab Hambali, puasa Rajab menjadi sunah apabila tidak dikhususkan, yakni berpuasa sunah di bulan lain pada tahun yang sama, menyambung puasa dari bulan Jumadiakhir, menyambung puasa hingga bulan Syakban, atau berbuka selama beberapa hari di bulan Rajab.

.

Tanggal 1 Rajab 1441 Hijriah jatuh pada hari Selasa, 25 Februari 2020. Mari berpuasa, sekadar satu sampai tiga hari! Mari berdoa pada malam pertama bulan Rajab, karena itu adalah salah satu malam yang mustajab!

.

قال الشافعي: وبلغنا أنه كان يقال: إن الدعاء يستجاب في خمس ليال في ليلة الجمعة وليلة الأضحى وليلة الفطر وأول ليلة من رجب وليلة النصف من الشعبان.

Imam Syafei berkata, “Dan telah sampai kepada kami bahwa dikatakan, ‘Sungguh doa akan dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jumat, malam Iduladha, malam Idulfitri, malam pertama bulan Rajab, dan malam pertengahan bulan Syakban.’”[50]
dokumen Pustaka Al-Khudri
dokumen Pustaka Al-Khudri

Wallahualam bisawab.

.


.

[1] Abū al-Ḥasan al-Ḥanafī al-Sindī, ed. Khalil Makmun Syiha, Sunan Ibn Mājah bi Syarḥ al-Sindī, Jilid II (Beirut: Dar al-Marefah, 2009), hal. 346.

[2] Muḥammad Ḥasan Muḥammad Ḥasan Ismā`īl, al-Fatḥ al-Mubīn bi Syarḥ al-Arba`īn li al-Nawawī wa `Alaih Ḥāsyiyah Ḥasan bin `Alī al-Madābigī (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), hal. 95.

[3] `Abd al-Malik bin `Abd al-Raḥmān al-Sa`dī, al-Bid`ah fī al-Mafhūm al-Islāmī al-Daqīq (Amman: Dār al-Nūr al-Mubīn, 2014), hal.25-26.

[4] Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn Yaḥya bin Syaraf al-Nawawī, Syarh Matan al-Arba`īn al-Nawawiyyah fī al-Ahādiṡ al-Ṣaḥīḥah al-Nabawiyyah (Damaskus dan Beirut: Maktabah Dār al-Fatḥ dan al-Maktab al-Islāmī, 1984), hal. 5.

[5] Muṣṭafā al-Bugā dan Muḥy al-Dīn Mastūr, al-Wāfī fī Syarḥ al-Arba`īn al-Nawawiyyah (Damaskus: Dār al-Kalim al-Ṭayyib, 2007), hal. 9.

[6] Muḥammad bin `Abdillah bin `Abd al-Laṭīf al-Jurdānī, al-Jawāhir al-Lu`lu´iyyah fī Syarḥ al-Arba`īn al-Nawawiyyah (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2013), hal. 90.

[7] Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn Yaḥya bin Syaraf al-Nawawī, al-Azkār al-Muntakhabah min Kalām Sayyid al-Abrār (Beirut: al-Maktabah al-Saqāfiyyah, 1973), hal. 171-172.

[8] __________, al-Azkār al-Nawawiyyah (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, Tanpa Tahun), hal. 161.

[9] Abū Ḥafṣ `Umar bin `Alī bin Aḥmad al-Anṣārī al-Mulaqqin, ed. Dagasy bin Syabib al-Ajami, al-Mu`īn `alā Tafahhum al-Arba`īn (Kuwait: Maktabah Ahl al-Aṡar, 2012), hal. 67.

[10] Syihāb al-Dīn Aḥmad bin Ḥajar al-Makkī al-Haitamī, ed. Ahmad Jasim Muhammad al-Muhammad, d.k.k., al-Fatḥ al-Mubīn bi Syarḥ al-Arba`īn (Libanon: Dār al-Minhāj, 2008), hal. 109

[11] Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī al-Nīsābūrī, Saḥīḥ Muslim, Juz I (Bandung: Syirkah al-Ma`ārif, Tanpa Tahun), hal. 468.

[12] __________, ed. Muhammad Fuad Abdulbaqi dan Ahmad Muhammad Maud, Saḥīḥ Muslim (Mansoura: Maktabah Fayyād, 2010), hal. 395.

[13] Abī Dāwud Sulaimān bin al-Asy`is al-Sijistānī al-Azdī, ed. Muḥammad Muḥyiddin Abdulhamid, Sunan Abī Dāwud, Juz II (Aleksandria: Dār Iḥyā` al-Sunnah al-Nabawiyyah, Tanpa Tahun), hal. 323.

[14] Abū Bakr Aḥmad bin al-Ḥusain bin `Alī al-Baihaqī, ed. Muhammad Abdulqadir Atta, al-Sunan al-Kubrā, Juz IV (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2003), hal. 481.

[15] Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn bin Syaraf al-Nawawī, ed. Khalil Makmun Syiḥa, al-Minhāj Syarḥ Saḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj, Juz VII (Beirut: Dar el-Marefah, 2010), hal. 280.

[16] Abī Dāwud Sulaimān bin al-Asy`is al-Sijistānī al-Azdī, ibid., hal. 322.

[17] Abū Bakr Aḥmad bin al-Ḥusain bin `Alī al-Baihaqī, Ibid., hal. 481-482.

[18] Abū al-Ḥasan al-Ḥanafī al-Sindī, Ibid., hal. 344-345.

[19] Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn Yaḥya bin Syaraf al-Nawawī, ed. Adil Aḥmad Abdulmaujud d.k.k., al-Majmū´ Syarḥ al-Muhazzab, Juz VII (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2007), hal. 482.

[20] Tim Maktab Taḥqīq al-Turās al-Islāmī, Sunan al-Nasā´i bi Syarḥ al-Ḥāfiz Jalāl al-Dīn al-Ṣuyūtī wa Ḥāsyiyah al-Imām al-Sindī, Jilid II, Juz IV (Beirut: Dar al-Marefah, 2008), hal. 516.

[21] Muḥammad bin `Alī bin Muḥammad al-Syaukānī, ed. Sadqi Muḥammad Jamil al-Attar, Nail al-Auṭār Syarḥ Muntaqā al-Akhbār min Aḥādis Sayyid al-Akhyār, Jilid II, Juz IV (Beirut Dār al-Fikr, 1998), hal. 316-317.

[22] Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, ed. Abu Muhammad al-Asyuti, al-Mu`jam al-Kabīr, Juz III (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2012), hal. 428-429.

[23] `Abū al-Muḥāsin `Abd al-Wāḥid bin Ismā`īl al-Rūyānī, ed. Tariq Fathi al-Sayid, Bahr al-Mazhab fī Furū` al-Mazhab al-Syāfi`ī, Juz III (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), hal. 306-307.

[24] Al-Munāwī, Faiḍ al-Qadīr Syarḥ al-Jāmi` al-Ṣagīr, Juz IV (Kairo: Maktabah Misr Sa`īd Juwāh al-Sahār wa Syirkah, 2003), hal. 276.

[25] `Abd al-Raḥmān bin Muḥammad `Auḍ al-Jazīrī, ed. Riyad Abdullah al-Hadi, Kitāb al-Fiqh `alā al-Mazāhib al-Arba`ah, Juz I (Beirut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, Tanpa Tahun), hal. 487.

[26] Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adalatuh, Juz II (Damaskus: Dār al-Fikr, 1985), hal. 591.

[27] Jamā`ah min `Ulamā` al-Hind, Al-Fatāwā al-Hindiyah, Juz I (Tanpa Kota, Maṭba`ah al-Kubrā al-Amīriyyah, 1892), hal. 202.

[28] Abū Ḥāmid al-Gazālī, ed. Ali Muḥammad Mustafa dan Said al-Muhasini, Iḥyā` `Ulūm al-Dīn, Juz I (Damaskus: Dār al-Faiḥā` dan Dār al-Manhad Nāsyirūn, 2010), hal. 675.

[29] Muḥammad bin Muḥammad al-Ḥusainī al-Zabīdī, Itḥāf al-Sādah al-Muttaqīn bi Syarḥ Iḥyā` `Ulūm al-Dīn, Juz IV (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmitah, 2012), hal. 429.

[30] Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn Yaḥya bin Syaraf al-Nawawī, ed. Khalil Makmun Syiha, Rauḍah al-Ṭālibīn wa `Umdah al-Muftīn, Jilid I (Beirut: Dar el-Marefah, 2006), hal. 523.

[31] ___________, ed. Adil Aḥmad Abdulmaujud d.k.k., al-Majmū´ Syarḥ al-Muhazzab, Juz VII (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2007), hal. 482.

[32] Taqī al-Dīn Abū Bakar bin Muḥammad al-Ḥusainī al-Ḥiṣnī, Kifāyah al-Akhyār fī Ḥalli Gāyah al-Ikhtisār, Juz I (Beirut: Dār al-Arqam bin Abī al-Arqam, 2010), hal. 174.

[33] Muḥammad al-Khaṭīb al-Syarbīnī, Mugnī al-Muḥtāj ilā Ma´rifah Ma`ānī Alfāẓ al-Minhāj, Juz I (Beirut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, 1980), hal. 449.

[34] Zain al-Dīn `Abd al-`Azīz al-Malībārī, Fatḥ al-Mu`īn bi Syarḥ Qurrah al-`Ain (Tanpa Kota: Al-Haromain Jaya Indonesia, 2006), hal. 59.

[35] Abū Bakar `Uṡmān bin Muḥammad Syaṭṭā al-Dimyāṭī al-Bakrī, Hāsyiyah I`ānah al-Tālibīn, Juz III (Tanpa Kota, Syirkah al-Nūr Āsiyā, Tanpa Tahun), hal. 272.

[36] Abū `Abd al-Mu`ṭī Muḥammad bin `Umar bin `Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī, Nihāyah al-Zīn fī Irsyād al-Mubtadi´īn (Surabaya: Harisma, Tanpa Tahun), hal. 197.

[37] `Abū al-Muḥāsin `Abd al-Wāḥid bin Ismā`īl al-Rūyānī, Ibid., hal. 306.

[38] `Abdullāh bin `Abd al-Raḥmān Bā Faḍl al-Ḥaḍramī, al-Muqaddimah al-Ḥaḍramīyyah fī Fiqh al-Sādah al-Syāfi`iyyah (Jeddah: Dār al-Minhāj, 2011), hal. 180.

[39] Muḥammad bin Aḥmad bin Juzayy al-Kalbī, ed. Majid al-Himawi, al-Qawānīn al-Fiqhiyyah fī Talkhīṣ Mażhab al-Mālikiyyah wa al-Tanbīh `alā Mażhab al-Syāfi`iyyah wa al-Ḥanafiyyah wa al-Ḥanbaliyyah (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2013), hal. 209.

[40] Abū `Abdillah Muḥammad al-Kharsyī dan `Alī al-`Adawī, al-Kharsyī `alā Mukhtasar Sayyidī Khalil wa Bahāmisyuh Ḥāsyiyah al-`Adawī, Juz II (Tanpa Kota, Maṭba`ah al-Amīriyyah al-Kubrā, 2014), hal. 241.

[41] Ibid.

[42] Muḥammad `Urfah al-Dasūqī, Ḥāsyiyah al-Dasūqī `alā al-Syarḥ al-Kabīr li al-Dardīr, Juz I (Tanpa Kota: `Īsā al-Bābī al-Halabī, 2015), hal. 516.

[43] Abū Muḥammad Muwaffiq al-Dīn `Abdullāh bin Qudāmah al-Maqdisī, ed. Zuhair Alsyawisy, al-Kāfī fī Fiqh al-Imām al-Mujabbal Aḥmad bin Ḥanbal, Juz I (Beirut: al-Maktabah al-Islāmī, 1988), hal. 363.

[44] Abū Muḥammad Muwaffiq al-Dīn `Abdullāh bin Qudāmah al-Maqdisī dan Abū al-Faraj Syams al-Dīn `Abd al-Raḥmān bin Abī `Umar Muḥammad bin Aḥmad bin Qudāmah al-Maqdisī, al-Mugnī wa al-Syarḥ al-Kabīr, Juz III (Beirut: Dār al-Fikr, 2011), hal. 106.

[45] Ibid., hal. 103.

[46] Syams al-Dīn Muḥammad bin Mufliḥ al-Maqdisī, ed. Abdullah bin Abdulmuhsin al-Turki, Kitāb al-Furū´, Juz V (Beirut: Al-Resalah Publishers, 2003), hal. 98-100.

[47] Abū al-Faraj Zain al-Dīn `Abd al-Raḥmān bin Aḥmad bin Rajab, ed. Yasin Muhammad Suwas, Laṭā´if al-Ma`ārif fīmā li Mawāsim al-`Ām min al-Waẓā´if (Damaskus: Dār Ibn Kasīr, 1999), hal. 230.

[48] Mansūr bin Yūnus bin Idrīs al-Bahūtī, Kasysyāf al-Qinā` `an Matan al-Aqnā`, Juz II (Beirut: `Ālam al-Kutub, 1983, hal. 340.

[49] Syihāb al-Dīn Aḥmad bin Ḥajar al-Makkī al-Haitamī, al-Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, Juz II (Kairo: `Abd al-Majīd Aḥmad Ḥanafī, Tanpa Tahun), hal. 53-54.

[50] Abū `Abdillah Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi`ī, al-Umm, Juz I (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), hal. 254.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s