BEREBUT KURSI AHLUSUNAH

Di setiap masa, ahlusunah selalu menjadi barang berharga yang diklaim setiap pihak. Kebanyakan——sebagaimana lazimnya umat mayoritas——memang benar ahlusunah, tetapi ada segelintir kelompok yang sebatas mengaku-aku ahlusunah. Anehnya, untuk merebut kursi ahlusunah, kelompok tersebut justru gencar menuding sesat akidah ulama terdahulu dan menganggap kelompoknya lah yang paling berakidah sunah dan bermanhaj salaf. Padahal, ulama yang ditudingnya itu sudah lebih dulu berjasa atas akidah umat saat ini. Bila ulama tersebut hidup di masa ini, apa mereka masih berani menuding? Realitasnya, mereka akan mencari seribu satu alasan untuk menolak diskusi. Kalau pun mau diskusi, harus ada gadget yang tersambung jaringan internet. Haha. Tunggu, jangan dulu tertawa.

Alkisah, ada kelompok yang mengatakan sesat pada Imam Abu Hamid al-Gazali (w. 505 H.) dan Imam Fakhrddin al-Razi (w. 606 H.), hanya karena keduanya seorang filsuf. Ya, bagi mereka filsuf, sufi, atau apa pun sebutannya adalah haram dan membawa pada kesesatan. Anehnya, di satu sisi mereka malah rajin menggunakan kitab fikih Imam Gazali dan tafsir Imam Razi sebagai salah satu rujukan ilmiah dalam beribadah. Kata-kata hikmah kedua ulama tersebut juga sering dikutip (tak jarang dikutip serampangan, hanya untuk mengambil keuntungan kelompoknya).

Hal itu juga terjadi, ketika mereka menganggap akidah Imam Abu Bakar al-Baihaqi (w. 458 H.), Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), Imam Abu Faraj bin al-Jauzi (w. 597 H.), Sultan Ulama Izzuddin bin Abdulsalam (w. 660), Imam Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H.), dan Imam Syihabuddin bin Hajar Al-Asqalani (w. 852 H.), bukan ahlusunah (karena semuanya berakidah Asyari). Bahkan, dengan lancangnya Syekh Abdulaziz bin Abdullah bin Baz (w. 1420 H.) dalam Majmū´ al-Fatāwā dan Syekh Muhammad bin Saleh al-Usaimin (w. 1422 H.) dalam Liqā` al-Bāb al-Maftūḥ mengatakan bahwa mereka galat, cacat, dan sesat dalam memahami sifat Allah.

Lucunya, di satu sisi mereka malah menggunakan hadis tentang ibadah yang diriwayatkan dari ulama tersebut, bahkan menggunakan kitab fikihnya sebagai rujukan ilmiah dalam beribadah. Alasannya sederhana, para ulama tersebut dianggap sesat hanya dari segi akidah, sementara dari segi tafsir, hadis, fikih, dan ibadah masih ahlusunah. Pernyataan yang sama sekali tidak bisa diterima.

Padahal, bila akidahnya bukan ahlusunah, maka praktik ibadahnya pun bukan ahlusunah yang tidak bisa dijadikan hujah. Pendapat dan penilaiannya pun tertolak. Misalnya, Syiah dan Muktazilah. Dengan keluarnya dari akidah ahlusunah, maka praktik fikih ibadah mereka pun ditolak oleh ahlusunah. Untuk itu, saya enggan mencantumkan pendapat lancang dari kedua syekh tersebut dalam tulusan ini.

Memang benar, dalam Sahih Bukhari terdapat sejumlah perawi berakidah Syiah. Apa itu berarti tidak boleh mengambil hadis yang diriwayatkan oleh mereka secara mutlak? Tidak. Para ulama ahli hadis sepakat soal kebolehan mengambil hadis dari golongan yang bukan ahlusunah. Dengan catatan, hadis yang diambil tidak berkaitan dengan praktik ibadah dan keyakinan akidah. Bahkan, Imam Syafei mengatakan bahwa kesaksian seseorang dari kalangan ahli polah tidaklah ditolak, manakala persaksiannya tidak dipandang sebagai persetujuan dan penerimaan atas akidahnya. Hal itu sebagaimana dimuat oleh Imam Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H.), murid Imam Syafei, dalam Mukhtaṣar al-Muzanī li Furū` al-Syāfi`iyyah. Dalam literatur lain, Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H.) menambahkan bahwa kesaksian dari ahli bidah dan ahli polah tidaklah ditolak, kecuali dari kalangan Khattabiyah. Sebagaimana disebutkan dalam Tasynīf al-Masāmi´ bi Jam` al-Jawāmi` li Tāj al-Dīn al-Subkī. Melalui kaidah tersebut, maka segala produk hukum dan fatwa dari para pelaku akidah bidah (yaitu Syiah, Muktazilah, Khawarij, Qadariah, dan sebagainya), adalah tertolak.

Lain halnya dengan hadis, riwayat, kisah, atau persaksian yang tidak berkaitan dengan ibadah dan akidah, misalnya tentang sejarah, masih bisa diterima. Sebagaimana diterimanya kisah-kisah dari kalangan Bani Israel atau kafir soal perkara yang tidak mengganggu ranah akidah dan ibadah, serta tidak berkaitan dengan keduanya. Maka tidak heran bila ulama Asyari-Maturidi sering dijumpai meriwayatkan hadis atau kisah dari Imam Syamsuddin al-Zahabi (w. 748 H.) dalam beberapa karya, beliau telah nyata menyimpang. Hal itu karena Imam Zahabi adalah sejarawan ulung di kalangan mazhab Syafei.

Adapun soal fatwa dan hukum, kalangan ahlusunah Asyari-Maturidi sepakat untuk tidak mengambilnya dari kalangan pelaku akidah bidah. Karena, dengan menyimpangnya akidah, tertolak pula hukum yang difatwakan darinya. Untuk itulah, kami tidak pernah mempertimbangkan pendapat Kadi Abu Yakla bin al-Farra (w. 458 H.), Syekh Ahmad bin Taimiah (w. 728 H.), Syekh Ibnu Qayim al-Jauziah (w. 751 H.), Syekh Muhammad bin Abdulwahhab (w. 1206 H.), dan Syekh Nasiruddun Al-Albani (w. 1420 H.). Tidak dalam fikih, tidak pula dalam tafsir dan hadis yang berkaitan dengan ibadah dan akidah.

Bahkan, pendapat Imam Zahabi juga tidak digunakan. Sekali pun beliau salah satu imam besar di mazhab Syafei. Karena akidahnya menyimpang, hukum dan fatwanya tidak dipakai. Kitab-kitabnya pun jarang atau hampir tidak pernah dipelajari para pelajar di mazhab Syafei. Kecuali kitab al-Kabā´ir yang masih sering dipakai di beberapa tempat serta kitab-kitab sejarah dan biografi yang dijadikan referensi sejarawan kontemporer.

Seperti jamak diketahui, bahwa ahlusunah adalah umat mayoritas. Dari masa ke masa, yang menjadi umat mayoritas adalah mereka dari kalangan Asyari dan Maturidi dalam hal akidah. Bila kemudian ulama kontemporer dengan lancang mengatakan kalangan Asyari dan Maturidi sesat, entah berapa ribu ulama yang telah ditudingnya, entah berapa miliar umat yang telah dituduhnya. Maka umat Islam telah nyata berada dalam kesesatan secara berjemaah. Padahal Allah menjamin——lewat lisan Nabi——tidak akan membiarkan umatnya dalam kesesatan secara bersama-sama. Lalu, apakah berarti Rasul berdusta? Allah tak menjaga umatnya? Na`ūżu billāh. Sungguh Indonesia tidak akan menjadi negara dengan populasi umat Islam terbanyak di dunia, bila tidak ada andil wali sanga yang berakidah Asyari-Maturidi.

Untuk itu, Kawan-Kawan Salafi Wahhabi, mari kembali dalam barisan jemaah. Jangan mengikuti segelintir pelaku akidah bidah dan remah-remah mazhab yang telah punah. Semoga Anda diberikan hidayah, dan pendahulu Anda diberikan magfirah.

Berikut saya akan memuat beberapa penolakan ulama ahlusunah yang semasa dengan ulama Salafi Wahhabi. Ulama yang menolak adalah ulama yang semasa. Jadi, tidak lancang seperti Syekh Bin Baz dan Syekh Usaimin yang menolak ulama ahlusunah, padahal keduanya belum lahir saat ulama tersebut berjaya pada masanya. Terlebih, penolakan dari segelintir orang tidak akan berpengaruh, jika dibandingkan dengan pujian dan gelar kehormatan yang disematkan mayoritas ulama dari masa ke masa.

Saya juga berlindung kepada Allah dari sikap ujub dan congkak atas syekh yang dikritik. Saya sama sekali tidak berani menuding para syekh tersebut, kecuali memang telah jelas ditolak oleh ulama yang semasa dengan mereka. Siapa lah saya yang berani berbuat lancang seperti itu? Sikap saya yang menolak syekh tersebut, didasarkan pada lisan dan tulisan para ulama, bukan pada hawa nafsu dan pendapat pribadi yang masih bodoh dan tidak tahu diri. Semoga Allah tidak mencabut ilmu saya yang bahkan lebih kecil daripada atom.

  1. Dalam mukadimah Daf`u Syubah al-Tasybīh bi Akaff al-Tanzīh, Imam Ibnu Jauzi berkata,

ورأيت من أصحابنا من تكلم في الأصول بما لا يصلح، وانتدب للتصنيف ثلاثة: أبو عبد الله بن حامد، وصاحب القاضي، وابن الزاغوني. فصنفوا كتابا شانوا بها المذهب، ورأيتهم قد نزلوا إلى مرتبة العوام، فحملوا الصفات على مقتضى الحس.

“Saya melihat beberapa orang di dalam mazhab kita (Hambali) telah berbicara dalam masalah pokok-pokok akidah yang sama sekali tidak benar. Ada tiga orang yang menulis karya untuk itu, yaitu Abu Abdillah bin Hamid, Kadi Abu Yakla, dan Ibnu Al Zaguni. Tiga orang ini telah menulis buku yang mencemarkan mazhab Hanbali. Saya melihat mereka telah benar-benar turun kepada derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi.”

  1. Dalam mukadimah al-Durrah al-Muḍiyyah fî al-Radd `alā Ibn Taimiyyah, Imam Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H.) menyebut Syekh Ibnu Taimiah,

أما بعد، فإنه لما أحدث ابن تيمية ما أحدث في أصول العقائد، ونقض من دعائم الإسلام الأركان والمعاقد، بعد أن كان مستترا بتبعية الكتاب والسنة، مظهرا أنه داع إلى الحقّ هاد إلى الجنّة، فخرج من الإتباع إلى الإبتداع، وشذّ عن جماعة المسلمين مخالفة الإجماع، وقال بما يقتضي الجسميّة والتركيب في الذات المقدّس.

“Kemudian daripada itu, ketika Ibnu Taimiyah memula sesuatu yang baru dalam dasar-dasar akidah, serta mencabut pilar-pilar Islam dan rukun-rukun kompleks–setelah ia menyembunyikan diri di balik jargon mengikuti Al-Qur’an dan Sunah dan menjelmakan diri bahwa ia menyeru pada kebenaran dan menuntun ke surga–maka ia telah keluar dari itibak menuju ibtida (bidah), dan menyimpang dari mayoritas umat dengan melanggar ijmak. Dia mengatakan bahwa Allah memerlukan rupa dan perincian dalam Zat-Nya yang suci.”

  1. Dalam Tabaqāt al-Syāfi`iyyah al-Kubrā bagian biografi Imam Ahmad bin Saleh al-Misri, Imam Tajuddin al-Subki (w. 771 H.) melukiskan sifat Imam Zahabi,

وهو شيخنا ومعلمنا، غير أن الحقّ أحقّ أن يتّبع. وقد وصل من التعصّب المفرط إلى حدّ يسخر منه. وأنا أخشى عليه يوم القيامة من غالب علماء المسلمين، وأئمّتهم الذين حملوا لنا الشريعة النبوية، فإن غالبهم أشاعرة، وهو إذا وقع بأشعريّ لا يبقى ولا يذر.

“Imam Zahabi adalah syekh dan mualim kami (mazhab Syafei), hanya saja kebenaran lebih layak diikuti. Beliau memiliki fanatisme yang berlebihan hingga mencapai batas tercela. Saya mengkhawatirkan dirinya di hari kiamat, dari gugatan mayoritas ulama muslim dan para imam yang membawa syariat Nabi kepada kita. Maka sungguh, mereka kebanyakan bermazhab Asyari. Sementara Imam Zahabi tidak akan tinggal diam untuk mencela, ketika menemukan orang bermazhab Asyari.”

  1. Dalam Daf`u Syubah Man Syabbaha wa Tamarrada wa Nasaba żālik ilā al-Sayyid al-Jalīl al-Imām Aḥmad, Imam Taqiyuddin al-Hisni (w. 829 H.), menceritakan kisah panjang tentang penyelewengan Syekh Ibnu Jauziah atas pendapat dan fatwanya yang serampangan.

ثم جاء إلى نابلس وعمل له مجلس وعظ ذكر المسألة بعينها حتى قال فلا يزور قبر النبي صلى الله عليه وسلم. فقام عليه الناس وأرادوا قتله فحماه منهم والى نابلس وكتب أهل القدس وأهل نابلس إلى دمشق يعرفون صورة ما وقع منه فطلب القاضي المالكي فتردد وصعد إلى الصالحية إلى القاضي شمس الدين بن مسلم الحنبلي وأسلم على يديه فقبل توبته وحكم بإسلامه وحقن دمه ولم يعزره لأجل ابن تيمية.

“(Setelah membuat kasus di Yerusalem), maka Ibnu Jauziah datang ke Nablus. Di sana, ia kembali membuat majelis taklim. Di tengah pengajian, ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Hingga tiba ketika dia berkata, ‘Maka, tidak seharusnya seseorang ziarah ke makam Nabi saw.,’ orang-orang pun berdiri hendak membunuhnya. Namun, peristiwa itu dicegah oleh gubernur Nablus. Karena kejadian ini, kemudian penduduk Yerusalem dan Nablus menulis surat kepada penduduk Damaskus soal kesesatan Ibnu Jauziah. Di Damaskus, kadi mazhab Maliki memanggil Ibnu Jauziah. Ibnu Jauziah pun terdesak dan meminta naik banding kepada Kadi Syamsuddin bin Muslim dari mazhab Hambali. Ia pun menyatakan keislamannya kembali, lalu tobatnya diterima, sehingga keislamannya diakui dan darahnya dipelihara. Dia tidak didera seperti yang terjadi pada Ibnu Taimiah.”

Kemudian, Imam Hisni menuturkan penyimpangan Syekh Ibnu Jauziah yang dilakukannya berulang kali setelah bertobat. Sehingga beberapa kali diadili dan dijebloskan ke dalam penjara. Akhirnya, Syekh Ibnu Jauziah dan Imam Ibnu Kasir diikat dan di arak mengelilingi negeri atas fatwanya dalam masalah talak.

Lo, kok Imam Ibnu Kasir juga didera? Adapun deraan yang diterima oleh Imam Abu Fida bin Kasir (w. 774 H.) disebabkan karena pada saat itu fatwanya dalam masalah talak menyalahi ijmak, mengikuti Syekh Ibnu Taimiah dan Syekh Ibnu Jauziah. Tetapi pada akhirnya, Imam Ibnu Kasir meralatnya sehingga patuh pada ijmak. Sementara Syekh Ibnu Jauziah—seperti diuraikannya dalam biografi Syekh Syamsuddin bin Qayyim al-Jauziah di al-Bidāyah wa al-Nihāyah—tetap mengekor pada pendapat Syekh Ibnu Taimiah hingga akhir hayatnya, sehingga menjadi perbincangan dan perdebatan yang keras dengan Imam Subki—yang kala itu menjadi pimpinan kadi—dan ulama ahlusunah lainnya.

Selain itu secara akidah, Imam Ibnu Kasir juga digolongkan ke dalam jajaran ahlusunah, karena menolak makna zahir atas ayat mutasyabihat dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Atas dasar hal tersebut, pendapat dan fatwa Imam Ibnu Kasir, tetap bisa diterima oleh kalangan ahlusunah.

  1. Dalam Ḥāsyiyah al-Ṣāwī `alā Tafsīr al-Jalālain, ketika memberikan hasyiah dalam surat al-Fāṭir ayat tujuh, Syekh Ahmad al-Sawi al-Maliki (w. 1241 H.) menyinggung soal kelompok Wahhabi sebagai Khawarij masa kini,

وقيل هذه الآية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون بذلك دماء المسلمين وأموالهم كما هو مشاهد الآن في نظائرهم وهم فرقة بارض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيئ ألا إنهم هم الكاذبون استحوذ عليهم الشيطان فأنساهم ذكر الله أولئك حزب الشيطان ألا أن حزب الشيطان هم الخاسرون نسأل الله الكريم أن يقطع دابرهم.

“Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan berkaitan dengan kaum Khawarij, meraka adalah orang-orang yang mendistorsi penafsiran Al-Qur’an dan Sunah. Mereka menghalalkan darah dan harta benda orang-orang Islam, sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yakni kelompok yang berada di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah. Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Setan telah memperdaya mereka sehingga lalai mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sungguh golongan setan itu orang-orang yang merugi. Kita berdoa kepada Allah yang Mahamulia, semoga menghancurkan pondasi mereka.”

  1. Dalam al-Radd `alā al-Albānī, Syekh Abdullah al-Gamari al-Magribi (w. 1413 H.) mengomentari sikap Syekh Albani,

فإن الشيخ الألباني صاحب غرض وهوى، إذا رأى حديثا أو أثرا لا يوافق هواه فإنه يسعى في تضعيفه بأسلوب فيه تدليس وغشّ ليوهم قرّاءه أنه مصيب مع أنه مخطئ بل خاطئ غاش، وبأسلوبه هذا أضلّ كثيرا من أصحاب الذين يثقون به، ويظنّون أنّه على صواب والواقع خلاف ذلك.

“Sungguh Syekh Albani adalah penumpu kehendak dan hawa nafsu. Ketika menemukan satu hadis atau kabar yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia akan menghukuminya daif dengan beragam tipu daya dan muslihat. Hal itu demi membuat para pembacanya menyangka bahwa dia benar dan hadis tersebut memang keliru. Padahal, dia yang keliru dan penipu. Dengan cara seperti itu, dia melakukan penyesatan terhadap banyak ulama yang terpercaya dalam bidang hadis. Lalu orang-orang akan mengira bahwa dia benar dan yang menyelisihi itu berada di bawahnya.”

Terakhir, karena Imam Gazali ada di awal tulisan, saya akan menuliskannya juga di akhir sebagai tambahan. Ini adalah pujian ulama mayoritas terhadap beliau, untuk menjawab mereka yang menganggap Imam Gazali sesat. Sebagaimana Dimuat oleh Imam Afifuddin al-Yafei (w. 768 H.) dalam kitab al-Irsyād wa al-Tatrīz fî Faḍl Żikrillāh wa Tilāwah Kitābih al-`Azīz wa Faḍl al-Auliyā` wa al-Nāsikīn wa al-Fuqarā` wa al-Masākin ketika menuliskan biografi Imam Gazali. Juga dikutip oleh Syekh Zainuddin al-Manawi (w. 1021 H.) dalam al-Kawākib al-Durriyyah fî Tarājim al-Sādah al-Ṣūfiyyah: al-Tabāqat al-Kubrā, dan Syekh al-Murtada al-Zabidi (w. 1205 H.) dalam Itḥāf al-Sādah al-Muttaqīn bi Syarh Iḥyā` `Ulūm al-Dīn:

فقد بلغنا عن بعض الأولياء الأكابر والعلماء الجامعين بين علم الباطن والظاهر أنه قال: لو كان نبي بعد النبي صلى الله عليه وسلم لكان الغزالي.

Telah sampai kepada kami, dari sebagian aulia besar dan ulama seluruhnya di kalangan ilmu hakikat dan syariat, mereka berkata, “Seandainya ada nabi setelah Nabi saw., maka pasti dia adalah al-Gazali.”

Wallahualam bisawab.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s