Siapa itu ahlusunah atau ahli sunah waljamaah? Dewasa ini, banyak kelompok yang mengklaim sebagai ahlusunah, karena banyak hadis yang meriwayatkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Dari 73 golongan tersebut, hanya satu yang akan selamat, sementara 72 golongan lainnya dilahap api neraka. Satu golongan itulah yang diyakini sebagai ahlusunah.
Berdasarkan hal tersebut, tentu orang bertanya-tanya: mengapa lebih banyak umat yang tersesat daripada yang beriman? Namun, nyatanya tidak demikian. Bahwa walau pun terdapat 72 golongan yang tersesat, jumlah pengikutnya tidak akan lebih banyak dari satu golongan yang beriman. Karena, satu golongan yang bernama ahlusunah adalah mereka yang berjemaah[1], mereka yang memiliki umat paling banyak[2], mereka lah umat mayoritas[3]. Karena Allah menjamin akan menjaga umat Nabi Muhammad dari kesesatan secara berjemaah[4].
Imam Abdulqahir bin Tahir bin Muhammad al-Bagdadi (wafat tahun 429 Hijriah) menuliskan dalam al-Farq baina al-Firaq sebagai berikut:
ودخل في هذه الجملة جمهور الأمة وسوادها الأعظم من أصحاب مالك والشافعي، وأبي حنيفة، والأوزاعي، والثوري، وأهل الظاهر.
Dan ahlusunah masuk ke dalam salah satu dari 73 kelompok ini. Yang dimaksud ahlusunah adalah jumhur dan mayoritas umat yang paling besar, dari kalangan Maliki, Syafei, Hanafi, Auzai, Sauri, dan kelompok Zahiri.[5]
Ada yang menarik, bahwa Imam Abdulqahir tidak mencantumkan kalangan Hambali ke dalam jajaran ahlusunah. Hal itu disebabkan karena pada masa itu, pengikut mazhab Hambali sangat terbatas dan banyak yang menyimpang. Sehingga tidak disebut sebagai umat mayoritas, apalagi ahlusunah. Selain itu, tidak adanya kitab khusus yang ditulis Imam Ahmad dalam masalah hukum juga memengaruhi penyebaran paham dan pemikiran beliau, sehingga kurang dikenal di kalangan umat Islam pada masa itu. Baru setelah kemunculan Kadi Abu Yakla (wafat tahun 458 Hijriah) yang menggunakan gelar al-Hambali di belakang namanya (setelah sebelumnya bermazhab Hanafi), mazhab Hambali mulai diakui kembali. Walau pada kenyataannya, Abu Yakla sendiri telah dikatakan menyimpang dari akidah ahlusunah oleh Imam Ibnu al-Jauzi (wafat tahun 597 Hijriah)[6].
Alih-alih mencantumkan mazhab Hambali, Imam Abdulqahir justru mencantumkan mazhab Auzai, Sauri, dan kelompok Zahiri. Karena memang, pada masa itu ketiga mazhab tersebut tengah berada dalam puncak kejayaannya. Mazhab Auzai dinisbatkan kepada Imam Abdurrahman al-Auzai (wafat tahun 157 Hijriah), sementara mazhab Sauri dinisbatkan kepada Imam Sufyan bin Said al-Sauri (wafat tahun 161 Hijriah). Keduanya telah hadir jauh sebelum Imam Syafei dikenal secara meluas. Mazhabnya tersebar dan bertahan hingga akhir abad kelima hijriah (menurut Imam Zahabi [wafat tahun 748 Hijriah] hanya bertahan hingga abad ketiga Hijriah)[7]. Kedua mazhab tersebut perlahan ditinggalkan oleh umat karena kurangnya regenerasi ulama. Catatan-catatan mereka terserak dan banyak yang hilang. Hal itu tak lain karena kedua ulama tersebut lebih senang mengasingkan diri dari keramaian dan tidak terlibat dalam struktur pemerintahan. Sehingga, pemikiran-pemikiran mereka tidak sampai dengan lengkap dan selamat kepada umat setelah abad kelima hijriah.
Lain halnya dengan mazhab Zahiri yang diproklamasikan oleh Imam Daud bin Ali al-Zahiri (wafat tahun 270 Hijriah). Walau juga masih bertahan hingga akhir abad kelima hijriah berkat jasa Imam Ibnu Hazm (wafat tahun 456 Hijriah) di Andalusia, tetapi karena seiring berjalannya waktu terdapat penyelewengan, mazhab ini pun banyak ditinggalkan umat dan ditentang kalangan ahlusunah lain. Memang, pada awalnya mazhab ini memerangi habis-habisan kelompok Muktazilah. Bila Muktazilah mengandalkan akal untuk memahami hukum Allah, maka Zahiri mengandalkan dalil zahir (tanpa kias yang melibatkan akal). Pemikiran Imam Daud yang awalnya hanya menolak kias dalam kondisi tertentu, disalahartikan oleh pengikut setelahnya sehingga membuat mereka mengharamkan kias secara menyeluruh serta mengandalkan dalil secara tekstual atau harfiah. Ini pula yang menjadi alasan Ibnu Qayim al-Jauziah (wafat tahun 751 Hijriah) yang terpengaruh pemikiran Zahiri beralih haluan dan mencari perlindungan kepada mazhab Hambali ketika disidang oleh para kadi empat mazhab pada masanya.[8] Hal itu membuktikan bahwa eksistensi dan status mazhab Zahiri sebagai ahlusunah tidak lagi di akui. Ini juga yang menjadi beban Imam Ahmad bin Hambal atas banyak pengikutnya yang sesat dengan mencampuradukkan mazhab Hambali dengan mazhab Zahiri. Bahkan hingga kini, orang-orang yang terpengaruh pemikiran Zahiri lebih sering mengaku bermazhab Hambali agar statusnya sebagai ahlusunah diakui oleh umat mayoritas.
Selain ketujuh mazhab tersebut, ada satu lagi mazhab ahlusunah yang pernah berjaya pada masanya. Yaitu mazhab Jariri. Mazhab ini dinisbatkan kepada Imam Ibnu Jarir al-Tabari (wafat tahun 310 Hijriah). Dalam bukunya, Imam Abdulqahir tidak memasukkan mazhab Jariri sebagai umat mayoritas dan ahlusunah. Hal itu disebabkan karena mazhab Jariri hanya bertahan satu abad setelah wafatnya sang Imam. Sehingga, pada masa Imam Abdulqahir, pengikut mazhab Jariri mulai sedikit dan digantikan oleh mazhab lain yang lebih fokus pada masalah fikih dan akidah. Mengingat, bahwa Imam al-Tabari lebih tepat dikatakan sebagai sejarawan dan ahli hadis. Hal ini diaminkan oleh Imam Zahabi bahwa mazhab Jariri hanya bertahan hingga beberapa lama setelah tahun 400 Hijriah.
Atas dasar hal tersebut, pada zaman kita di abad kelima belas hijriah ini, hanya ada empat mazhab (dalam masalah fikih) yang disebut sebagai umat mayoritas dan ahlusunah. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Syekh Ahmad Dardir (wafat tahun 1201 Hijriah)[9]. Keempat mazhab tersebut, yaitu mazhab Hanafi yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah Nukman bin Sabit (wafat tahun 150 Hijriah), mazhab Maliki yang dinisbatkan kepada Imam Malik bin Anas bin Malik (wafat tahun 179 Hijriah), mazhab Syafei yang dinisbatkan kepada Imam Muhammad bin Idris al-Syafei (wafat tahun 204 Hijriah), dan mazhab Hambali yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal al-Syaibani (wafat tahun 241 Hijriah).
Terkait mazhab dalam bidang akidah, para ulama sepakat bahwa umat mayoritas yang termasuk ke dalam ahlusunah adalah mazhab Asyari dan Maturidi. Mazhab Asyari dinisbatkan kepada Imam Abu al-Hasan al-Asyari (wafat tahun 324 Hijriah), sementara mazhab Maturidi dinisbatkan kepada Imam Abu Mansur al-Maturidi (wafat tahun 333 Hijriah). Adapun mazhab dalam bidang tasawuf dinisbatkan kepada Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi (wafat tahun 297 Hijriah) dan para pengikutnya.[10]
Kedua ulama akidah tersebut menghimpun akidah Nabi, sahabat nabi, tabiin, dan salaf saleh. Jadi, bukan berarti keduanya membuat bidah dalam teori akidah, tetapi menghimpun akidah salaf saleh sehingga lebih terstruktur dan mudah dipahami. Hal itu terbukti bahwa pemikiran keduanya persis seperti pemikiran ulama ahli kalam sebelumnya, Imam al-Tahawi (wafat tahun 321 Hijriah). Selain itu, Imam Asyari banyak mengambil pemikiran Imam Ahmad bin Hambal tentang teori keilahian (menurut Imam Tasykubra Zadah [wafat tahun 968 Hijriah] Imam Asyari bermazhab Syafei dan mengambil pemikiran Imam Syafei), sementara Imam Maturidi mengambil pemikiran Imam Abu Hanifah.
Salah satu tujuan dibakukannya teori akidah Islam oleh kedua ulama tersebut ialah, semakin banyaknya aliran sesat yang bahkan beberapa di antaranya mengatasnamakan ahlusunah. Sebut saja Syiah, Muktazilah, dan Khawarij yang nyata telah keluar dari ahlusunah. Beberapa kelompok, seperti kalangan jahmiah (menolak sifat Allah) dan jasmiah (penyerupaan Allah dengan makhluk) bahkan sering kali mengaku ahlusunah. Padahal jauh dari akidah salaf saleh. Inilah yang diperangi kedua mazhab akidah tersebut. Pembagian mazhab ini juga membuat umat lebih terang, akan mana kelompok ahlusunah yang sesungguhnya.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh ulama kenamaan, seperti Imam Izzuddin bin Abdussalam Sang Sultan Ulama (wafat tahun 660 H), Imam Tajuddin Subki (wafat tahun 771 Hijriah), Imam Tasykubra Zadah yang memiliki nama asli Ahmad bin Mustafa, Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat tahun 973 Hijriah), Mullah Ali al-Qari (wafat tahun 1014 Hijriah), Alamah Muhammad bin Ahmad al-Safarini (wafat tahun 1188 Hijriah), Hafiz Murtada al-Zabidi (wafat tahun 1205), Syekh Ibnu Abidin (wafat tahun 1252 Hijriah), dan Syekh Muhammad Zahid al-Kausari (wafat tahun 1371 Hijriah). Selain ulama tersebut, masih banyak ulama lain[11] yang secara spesifik menyebut kalangan Asyari dan Maturidi sebagai dua mazhab ahlusunah dalam hal akidah. Baik disebutkan serangkai (keduanya disebut), mau pun salah satunya.
Jadi, siapa ahlusunah itu? Mereka adalah umat mayoritas. Pada abad kelima belas hijriah ini, ada empat mazhab fikih yang termasuk ke dalam umat mayoritas: Hanafi, Maliki, Syafei, dan Hambali, serta dua mazhab akidah: Asyari dan Maturidi. Jadi kepada mereka lah semestinya umat bergabung. Karena Allah telah menjamin, akan menjaga dan tidak akan membuat umatnya tersesat secara berjemaah.[12] Siapa yang melepaskan diri dari mazhab-mazhab tersebut, maka mereka tidak mengikuti umat mayoritas. Siapa yang tidak mengikuti umat mayoritas, mereka keluar dari jemaah. Siapa yang keluar dari jemaah, mereka bukan ahlusunah.
Lalu, apakah itu berarti semua orang harus bermazhab? Misalnya, bermazhab Syafei dalam hal fikih dan Asyari dalam hal akidah. Jawabannya, mengutip pendapat Profesor Wahbah Zuhaili (wafat tahun 2015 Masehi)[13], terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kewajiban memegang satu mazhab tertentu. Sebagian ulama mewajibkannya, sementara kebanyakan ulama tidak mewajibkan seseorang untuk taklid terhadap satu mazhab secara khusus. Hal ini karena Al-Qur’an tidak menegaskan bahwa seseorang harus bertanya terhadap satu ulama secara khusus, melainkan hanya diharuskan bertanya pada ulama secara umum. Dari kedua pendapat tersebut, yang menjadi perdebatan adalah memegang satu mazhab tertentu, sementara taklid dan mengikuti pendapat ulama adalah kewajiban bagi orang yang tidak tahu (dalam hal ini orang awam). Pendapat ini sejalan dengan Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 Hijriah) yang mengatakan bahwa taklid dalam masalah ibadah bagi masyarakat awam adalah wajib. Sementara bagi ulama dan akademisi, taklid tersebut diperboehkan berdasarkan ijmak[14].
Imam Nawawi (wafat tahun 676 Hijriah) mengemukakan[15] bahwa sebenarnya bermazhab tidaklah wajib bagi orang awam, dan seseorang diperbolehkan meminta fatwa kepada yang dikehendaki. Dengan catatan, tidak mencari-cari kemudahan. Tetapi jika tujuan tidak bermazhab justru karena mengandalkan ijtihadnya sendiri, atau mencari-cari hukum yang paling mudah dengan mencampuradukkan berbagai pendapat, sehingga keluar dari ijmak dan umat mayoritas, hal itu benar-benar terlarang.
Lain halnya dengan Imam Gazali (wafat tahun 505 Hijriah) yang membahasnya dalam kitab al-Ihya[16], bahwa masyarakat umum baiknya cukup beriman, berislam, dan melakukan praktik ibadah berdasarkan arahan dari kiainya. Urusan menuntut ilmu diserahkan kepada ulama. Jadi, biarkan ulama yang memasak, sementara orang awam tinggal makan. Artinya, orang awam lebih baik mengikuti arahan ulama (artinya bertaklid kepada ulama), sementara ulama merumuskan hukum berdasarkan ijmak dan kesepakatan umat mayoritas.
Untuk itu, bagi orang awam memang tidak diwajibkan untuk komitmen dalam satu mazhab. Mereka tidak dibebani atas status mazhab tertentu. Mereka hanya harus mengikuti guru atau kiainya. Jadi, tidaklah mengherankan bila banyak masyarakat (khususnya di perkampungan) yang tidak sadar mereka mengikuti satu mazhab, tetapi sekadar taklid terhadap kiai sekitar rumahnya.
Namun, guru dan kiai yang dijadikan rujukan tetap harus jelas posisi dan sanad keilmuannya. Bermazhab atau tidaknya, agar hukum yang diambil lebih jelas dan tidak semena-mena. Hal ini demi menghindari pengambilan keuntungan dengan hanya menerima hukum yang mudah, padahal bertolak belakang antara satu mazhab dengan mazhab lain. Hal itu karena, pada masa kini sangat tidak mungkin menemukan ulama bergelar mujtahid mutlak mustaqil (seperti keempat imam mazhab fikih, dan keempat mazhab lain yang sudah punah), mujtahid mutlak gair mustaqil (seperti Imam Abi Yusuf, Imam Ibnu Qasim, Imam Buyuti, dan Imam Abu Bakar a-Marwazi), mujtahid muqayyad (seperti Imam Tahawi, Imam Abu Bakar al-Abhuri, Imam Syairazi, dan Kadi Abu Yakla), dan mujtahid tarjih (seperti Imam Rafei dan Imam Nawawi). Bahkan, akan sangat sulit menemukan ulama yang bergelar mujtahid fatwa—yang merupakan gelar mujtahid terbawah (seperti Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar). Tidak hanya itu, para mujtahid tersebut pun secara terang-terangan menyematkan mazhab dalam namanya, karena taklid kepada salah satu imam mazhab dalam hal kaidah fikih, hukum, atau pendapatnya.
Cara seperti ini sejalan dengan Imam Nawawi yang mengutip pendapat Kadi Husain (wafat tahun 462 Hijriah) bahwa bermazhab tidak diwajibkan atas masyarakat awam, tetapi diperuntukkan bagi kalangan akademisi untuk menyatakan sikap. Terlebih, yang lebih sahih, Imam Nawawi juga mengutip pernyataan Imam Qaffal (wafat tahun 365 Hijriah) bahwa bagi alim ulama harus memiliki mazhab dan tidak boleh berseberangan dengannya.[17] Hal ini penting agar masyarakat awam yang taklid kepadanya atau meminta fatwa kepadanya sejalan dan tidak bertentangan dengan pendapat umat mayoritas (ijmak). Jadi, bila ada kiai, ustaz, atau akademisi (yang dianggap memiliki kecerdasan dan kemampuan) tidak bermazhab, otomatis tidak bergabung dengan umat mayoritas. Kalau tidak bergabung dengan umat mayoritas, artinya? Ya, bukan ahlusunah. Ini semua tidak bertentangan dengan pendapat Profesor Zuhaili, Ibnu Qudamah, Imam Nawawi, dan Imam Gazali yang telah dipaparkan sebelumnya.
Amannya, mari bermazhab dan bergabung dengan umat mayoritas. Dengan bermazhab, seseorang jadi lebih jelas dalam menentukan sikap dan hukum (dari sejumlah hukum yang ada). Tidak mencari-cari kemudahan dan tidak menggampangkan peribadatan. Tidak heran, dari dulu ulama salaf tidak melepaskan mazhab dalam berhukum. Sekaliber Imam Bukhari (wafat tahun 256 Hijriah) pun bermazhab Syafei. Dengan bermazhab, status ahlusunah bagi seseorang juga lebih jelas, karena mazhab-mazhab yang ada sekarang merupakan umat mayoritas. Kalau pun Anda tidak bermazhab, ikuti saja kiai kampung dan kiai tradisional. Lebih warak dan tawaduk. Daripada mengikuti ustaz tertentu—yang mentang-mentang sudah terkenal, tetapi sering main hukum dan vonis sendiri.
Seperti jamak diketahui, dewasa ini banyak sekali kelompok tertentu yang mengatasnamakan ahlusunah tetapi keluar dari umat mayoritas. Mereka mengabaikan nas ulama dan kaidah fikih imam mazhab, serta mengandalkan pola pikir dan tafsir sendiri terhadap Al-Quran dan Hadis. Sehingga, bukan justru “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis” sesuai moto mereka, melainkan membuat mazhab dan aliran baru. Padahal tidak mencapai derajat hatta mujtahid fatwa, apalagi mujtahid mutlak mustaqil yang boleh membuat kaidah hukum baru. Sebut saja, Salafi Wahhabi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, ISIS, NII, LDII, dan remah-remah mazhab Zahiri. Kelompok tersebut lah yang mesti diwaspadai, karena mereka mengklaim ahlusunah, padahal secara akidah, praktik ibadah, serta penafsiran dalil keluar dari ijmak ulama. Sementara Syiah, Muktazilah, Khawarij, dan Ahmadiyah, bisa dikesampingkan karena sudah terang-terangan mengaku bukan ahlusunah.
Mereka secara berani membenturkan pendapat satu mazhab dengan mahzhab lain dengan alasan mencari pendapat yang paling sahih. Padahal, standar sahih dalam setiap mazhab berbeda-beda. Itulah akibatnya apabila mereka mengandalkan pola pikir sendiri, sementara enggan mempelajari kaidah pengambilan hukum yang diinisiasi oleh setiap mazhab. Mereka membuat standar hadis sahih sendiri, membuat kaidah pengambian hukum sendiri, kemudian mengatakan pendapat imam mazhab tertentu tidak sahih. Dengan mencatut berbagai pendapat ulama mazhab (tentang jangan taklid, ikuti hadis sahih tinggalkan mazhabku, dan sebagainya), secara terang merendahkan kemampuan dan pemahaman imam mazhab terkait hadis sahih dan melambungkan pendapatnya di atas imam mazhab. Sungguh penistaan. Itulah sebenar-benarnya mazhab baru, mazhab yang cacat. Cacat karena pelopornya tidak memenuhi syarat, cacat karena menyalahi ijmak, cacat karena keluar dari umat mayoritas. Mereka berkelakar agar tidak boleh taklid terhadap satu mazhab, tetapi secara sadar menyuruh orang agar taklid terhadap pendapat mereka saja. Bila tidak disahihkan oleh mereka, tidak sah. Dan sungguh, mereka sekali-sekali bukanlah bagian dari ahlusunah. Semoga Allah melindungi kita dari tipu daya mereka. Semoga Allah memberikan hidayah pada mereka, serta mengampuni dan merahmati pendahulu-pendahulu mereka.
Tulisan ini tidak disahihkan oleh Syekh al-Albani.
Wallahualam bissawab.
[1] Abū al-Ḥasan al-Ḥanafī, Sunan Ibn Mājah wa bi Ḥāsyiyah Ta´līqāt Miṣbāh al-Zajājah fī Zawā´id Ibn Mājah li al-Imām al-Būsairī, Juz IV (Beirut: Dār el-Marefah, 2009), hal. 327.
[2] Ibn al-`Arabī al-Mālikī, `Āridah al-Ahwazī bi Syarh Jāmi´ al-Tirmizī, Jilid V (Beirut: Dar el-Fikr, 2005), hal. 26-28.
[3] Abū `Abdillah Muhammad bin `Abdillah al-Nīsābūrī al-Hākim, al-Mustadrak `alā al-Sahīhain (Beirut: Dar el-Fikr, 2009), hal. 216.
[4] Abū Dāwud Sulaimān, Sunan Abī Dāwud, Juz IV (Tanpa Kota: Dār Ihyā` al-Sunnah al-Tabawiyyah, Tanpa Tahun), hal. 98.
[5] `Abd al-Qāhir bin Ṭāhir bin Muhammad al-Bagdādī, al-Farq baina al-Firaq (Beirut: Dar el-Marefah, 2008), hal. 34-36.
[6] Abū al-Faraj `Abd al-Raḥmān bin al-Jauzī al-Ḥanbalī, Daf`u Syubah al-Tasybīh bi Akaff al-Tanzīh (Amman: Dār al-Imām al-Nawawī, 2005), hal. 97-99.
[7] Syams al-Dīn Muhammad bin Ahmad bin `Uṡmān al-Żahabi, Siyar A`lām al-Nubalā` Juz VIII (Beirut: Mu´assasah al-Risālah, 1982), hal. 92.
[8] Taqī al-Dīn Abū Bakr al-Hiṣnī al-Dimasyqī, ed. Muhammad Zahid bin al-Hasan al-Kausari, Daf`u Syubah Man Syabbaha wa Tamarrada wa Nasaba żālik ilā al-Sayyid al-Jalīl al-Imām Aḥmad (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turaṡ, 2010), 178-179.
[9] Ahmad bin Muhammad al-`Adawī al-Dardīr, Syarh al-Kharīdah al-Bahiyyah fī `Ilm al-Tauhīd (Tanpa Kota: Dār al-Bairūtī, Tanpa Tahun), hal. 192-103.
[10] Ahmad bin Muṣṭafā/Ṭāsykubrā Zādah, Miftāḥ al-Sa`ādah wa Miṣbāḥ al-Siyādah fī Mauḍū`āt al-`Ulūm, Juz II (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1985), hal. 133-134.
[11] Ibn Ḥajar al-Makkī al-Haitamī, al-Zawāj `an Iqtirāf al-Kabā´ir Juz I (Kairo: Maṭba`ah Ḥijāzī, 1356 Hijriah), hal. 81.
[12] Abū Muhammad `Abdullāh bin `Abd al-Rahmān bin al-Fadl bin Bahrām al-Dārāmī, Musnad al-Dāramī, Juz I (Riyad: Dār al-Mugnī li al-Nasyr wa al-Tauzī`, 2010), hal. 200.
[13] Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adalatuh Juz I (Damaskus: Dār al-Fikr, 2007), hal. 94.
[14] Muwaffiq al-Dīn `Abdullah bin Ahmad bin Qudāmah, Rauḍah al-Nāẓir wa Jannah al-Munāẓir fī Uṣūl al-Fiqh `alā Mażhab al-Imām Ahmad bin Hanbal, Juz II (Mekah: al-Maktabah al-Makiyyah, 1998), hal. 382-383.
[15] Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn Yaḥya bin Syaraf al-Nawawī, ed. Khalil Makmun Syiha Rauḍah al-Ṭālibīn wa `Umdah al-Muftīn, Juz IV (Beirut: Dar el-Marefah, 2006), hal. 529-530.
[16] Abū Ḥāmid al-Gazālī, ed. Ali Muhammad Mustafa, Ihyā` `Ulūm al-Dīn, Juz III (Beirut dan Damaskus: Dār al-Faihā`, Dār al-Manhad Nāsyirūn, 2010), hal. 572.
[17] Ibid.