BENCANA KORONA: BERUSAHA ATAU PASRAH SAJA?

Setiap hari, virus Korona kian mengganas, penularannya sangat buas. Angka kematian bertambah, yang terinveksi juga melimpah. Tentu saja, salah satu pihak yang paling berkontribusi dalam penjangkitan wabah, adalah mereka yang masih santai berjalan-jalan di wilayah berzona merah.

Memang benar, bahwa virus tersebut merupakan makhluk Allah. Sementara Allah akan menimpakan penyakit kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi, tidak sepatutnya kita untuk takut secara berlebihan terhadap virus, serta melupakan qada dan kadar. Lalu, apakah kita hanya perlu pasrah dan tabah akan ketentuan dan ketetapan Allah? Tetapi, bukankah di sisi lain kita dituntut untuk berusaha dan bekerja? Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tidak mau mengubahnya?

Pembahasan qada dan kadar (beserta rekannya seperti qudrah dan iradat, takdir dan nasib, serta cipta dan buat) memang sangat pelik dan kompleks. Seperti pisau bermata dua, qada dan kadar adalah hal yang mesti diyakini. Tetapi di sisi lain, membahasnya dengan tidak hati-hati akan membawa pada kesesatan tak berkesudahan. Ulama banyak yang membahasnya secara lengkap dalam kitab-kitabnya, namun juga meminta agar orang-orang tidak terlalu sering membicarakannya, apalagi mempertanyakan dan mempersoalkan hal yang tidak berguna. Hal itu agar terhindar dari mempertanyakan sesuatu yang jawabannya tak sanggup didengar dan dicerna akal yang terbatas. Karena, ketika sebuah jawaban diterima oleh orang yang tidak sanggup mendengarnya, maka akan mengakibatkan gila, sesat, bahkan mati. Begitu pula ketika sebuah rupa diterima oleh orang yang tidak sanggup melihatnya, maka akan menimbulkan ketakutan, kebutaan, bahkan kematian.

Tidak semua persoalan qada dan kadar, bisa dipecahkan dan diterima akal. Satu-satunya jalan ketika sesuatu tak lagi bisa dicerna nalar, adalah mengembalikannya pada keimanan tanpa pertanyaan. Ketika sudah timbul syak wasangka terhadap Allah saat membahas qada dan kadar, maka seyogyanya kita meninggalkan pembahasan itu. Solusinya, meneguhkan keimanan bahwa segala sesuatu milik dan dari Allah, akan kembali lagi kepada-Nya. Segala sesuatu ciptaan Allah, terserah Dia dalam mempergunakannya. Titik.

Terkait pandemi tahun ini, memang banyak bermunculan fatwa-fatwa kontroversi. Orang awam sok menjadi sufi dan hamba suci, sementara ulama dan kiai dicaci maki. Ada pula yang kepalang mendewakan instruksi dari para ahli, merasa sudah aman dengan pasti. Mencela mereka yang sungguh-sungguh berpasrah diri pada Ilahi.

Seperti yang terjadi pada pesta demokrasi 2019 lalu, kini ada dua kelompok ekstrem yang mewabah dalam pondasi akidah. Wabah tersebut tentu saja lebih berbahaya daripada virus Korona. Karena dengan akidah yang keliru, justru akan menularkan virus tanpa malu-malu, mati terburu-buru. Karena akidah yang keliru, justru akan menyombongkan diri dengan mengatakan “berkat diriku”, melupakan Allah sebagai penentu.

Satu kelompok mengatakan, bahwa pasrah adalah satu-satunya jalan karena manusia hanya mengikuti ketetapan. Hal ini membuat kelompok tersebut meniadakan usaha dan hanya menunggu Allah sebagai penolongnya. Sehingga beranggapan bahwa kuasa Allah akan hadir secara cuma-cuma tanpa sebab musabab dan perantara. Yang lain mengatakan, bahwa usaha adalah segala-galanya karena bila bukan mereka, siapa lagi yang akan mengubahnya. Hal ini membuat kelompok tersebut meniadakan peran, kuasa, dan ilmu Allah. Sehingga beranggapan bahwa kuasa Allah dikalahkan oleh usaha mereka.

Kelompok pertama adalah mereka yang disebut Jabariah atau Jahmiah. Disebut Jabariah karena menggunakan prinsip ijbār (paksaan) dan idtirār (desakan). Disebut Jahmiah karena menisbatkan pada Jahm bin Safwan (w. 128 H.). Bagi mereka, Allah adalah pencipta perbuatan hamba-Nya dengan menerapkan prinsip paksaan dan desakan, serta mengingkari kapabilitas makhluk. Mereka menganggap bahwa tidak ada tindakan dan perbuatan bagi setiap hamba, kecuali dilakukan oleh Allah.[1]

Jadi, tentu saja ungkapan pekerjaan seperti “matahari terbenam”, “kincir berputar”, dan “seseorang bersanggama” adalah makna kiasan. Bagi mereka, hakikatnya Allah lah yang terbenam, Allah lah yang berputar, dan Allah lah yang bersanggama. Na`ūżu billāh. Mereka mengabaikan iktisab dan ikhtiar, dengan hanya mengacuhkan qada dan kadar. Manusia hanya bisa pasrah terhadap apa yang dikehendaki oleh Allah. Apa pun yang menimpa dirinya dan dilakukan olehnya adalah perbuatan Allah. Hidupnya mengikuti air mengalir, tidak pernah berusaha melawan arus atau memegang kemudi. Bertemu batu, tak pernah mau menerjang. Bertemu kayu, tak pernah mau berenang.

Kelompok kedua adalah mereka yang disebut Qadariah atau Muktazilah. Disebut Qadariah karena menggunakan prinsip kemampuan dan kesanggupan terhadap kuasa sendiri. Disebut Muktazilah karena menonjolkan sikap penyingkiran terhadap dalil yang tidak sesuai akal. Tokoh pelopornya adalah Wasil bin Ata (w. 131 H.) yang kemudian diikuti oleh Amr bin Ubaid bin Bab (w. 143 H.). Bagi mereka, Allah bukan pencipta perbuatan manusia dan tindakan hewan-hewan. Mereka menganggap bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya, serta Allah tidak menciptakan dan menetapkan hal itu[2].

Imam Syamsuddin al-Qurtubi (w. 671 H.) dan lainnya, seperti yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.), mengatakan bahwa Qadariah Muktazilah jenis ini telah punah, dan tidak diketahui seseorang pun dari kalangan mutaakhirin yang menisbatkan diri kepada kelompok tersebut. Adapun Qadariah Muktazilah modern mengakui bahwa Allah mengetahui perbuatan hamba sebelum dilakukannya. Namun, tetap saja menyalahi ulama salaf dengan beranggapan bahwa semua hamba bebas berkuasa melakukan perbuatannya, secara merdeka.[3] Inilah paham sesat yang masih eksis bahkan hingga hari ini.

Paham tersebut memang tidak menelan mentah-mentah semua pemikiran Qadariah Muktazilah, bahkan kesesatannya lebih ringan daripada paham aslinya. Buktinya, hampir tidak ada lagi yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, atau menganggap bahwa hamba tidak akan melihat Allah di hari kiamat dengan mata telanjang. Pemikiran seperti itu hampir tidak ditemui di zaman sekarang.

Namun, terkait hal-hal mendasar yang melibatkan akal dan usaha, pemikiran dan perbuatan, manusia kepalang sombong dengan sering menganggapnya sebagai usaha sendiri tanpa campur tangan Allah. Banyak orang yang justru disesatkan oleh ayat suci Al-Qur’an, hanya karena membaca sepintas dan memaknai secara harfiah. Misalnya, ada penggalan ayat yang menyebutkan “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum tersebut yang mengubahnya”. Ayat tersebut sering dijadikan bahan promosi para pendakwah dan motivator untuk bekerja keras. Tentu saja dengan memotong satu ayat yang utuh.

Dengan modal penggalan ayat itu, mereka membual bahwa manusia lah yang menentukan nasibnya sendiri. Maka tidak heran, banyak yang terjerumus pada manisnya gaji lembur, tetapi lupa untuk bersyukur. Dengan congkaknya berkata, “Ini karena kerja keras, usaha, dan kegigihanku!”, seolah-olah mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan——bahkan tidak mengubah seseorang——kecuali atas usaha dan keinginan orang tersebut. Na`ūżu billāh. Mereka mengabaikan qada dan kadar, dengan hanya mengacuhkan iktisab dan ikhtiar. Mereka lah Qadariah Muktazilah modern, layak disebut Neomuktazilah. Dengan sampul dan moto yang baru.

Imam Muhyiddin al-Nawawi (w. 676 H.) menambahkan bahwa kelompok Qadariah Muktazilah di masa mutaakhirin memang ada yang meyakini soal kekuasaan Allah. Namun, mereka menganggap bahwa hanya hal-hal baik yang berasal dari Allah, sementara yang buruk berasal dari selain-Nya.[4] Kebanyakan mereka berpegang pada surat al-Nisā` ayat 79 tentang kebaikan yang menimpa datangnya dari Allah, sementara keburukan datangnya dari diri sendiri. Padahal, ayat sebelumnya menegaskan bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah, pun sebenarnya ungkapan tersebut adalah tudingan kaum munafik terhadap Rasul dan sahabatnya, bukan hukum dari Allah dan Rasul.

Imam Abu al-Hasan al-Asyari (w. 324 H.) sendiri mengatakan agar membuang ucapan kelompok Qadariah Muktazilah, yang menggunakan ayat tersebut sebagai pembenaran atas pendapat sesat mereka. Karena, ayat 78 telah menegaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.[5] Lalu, bagaimana mungkin di ayat selanjutnya Allah dengan “sengaja” mengatakan bahwa keburukan berasal dari hamba dan diciptakan olehnya? Sangat kontradiksi, seolah merevisi bahwa tidak semuanya berasal dari Allah. Hal itu sangat mustahil. Sungguh Allah Mahaluhur dan Mahasuci dari tuduhan tersebut.

Untuk itu, Imam Muhammad bin Abdulrahman al-Iji (w. 905 H.) menerangkan jalan keluarnya. Bahwa adaya keburukan dalam diri hamba, disebabkan karena kejahatan dan kemaksiatan yang dilakukan mereka. Sementara makna “keburukan yang berasal dari hamba” hanya kiasan, karena semua perkara hakikatnya berasal dari Allah.[6] Kejahatan dan keburukan merupakan sebab musabab, perantara, atau syariat yang mendasari terjadinya keburukan tersebut. Mereka yang melakukan (kasb), Allah yang menciptakan (khalq). Karena, hal itu juga bagian dari takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.

Lalu, bagaimana seharusnya menyikapi qada dan kadar, iktisab dan ikhtiar? Sebagaimana lazimnya ahlusunah, kami senantiasa mengambil jalan tengah. Kami meyakini, bahwa Allah adalah penguasa alam semesta, termasuk jiwa raga makhluk-Nya. Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Allah adalah penentu segala sesuatu, termasuk takdir hamba-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu, termasuk masa depan alam semesta dan seisinya. Namun kami juga meyakini, bahwa manusia dituntut untuk berusaha, sehingga menjemput takdirnya dengan kesadaran yang nyata. Bahasa yang digunakan adalah menjemput takdir, bukan mengubah takdir.

Ada dua kelompok ahlusunah, yaitu Asyariah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asyari dan Maturidiah yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.). Walau keduanya memiliki perbedaan sudut pandang terkait makna qada dan kadar, namun jalan tengah yang ditempuh hampir sama dan bisa diterima oleh iman dan akal.

Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H.) menulis, qada menurut ulama Asyariah adalah kehendak Allah pada sesuatu di alam azali atas apa yang akan terjadi di luar azali. Sedangkan kadar adalah realisasi Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan qada-Nya. Sementara qada menurut ulama Maturidiah adalah ilmu azali Allah atas sifat-sifat makhluk-Nya (seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat). Sedangkan kadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya.[7]

Bagi kalangan Asyariah, seseorang tidak bisa melakukan sesuatu sebelum dilakukannya atau telah diputuskan dan dikuasakan dari ilmu Allah dengan qada-Nya. Tidak bisa juga melakukan sesuatu, apabila ilmu Allah memutuskan untuk tidak bisa dilakukannya. Mereka menganggap bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Sungguh perbuatan baik dan buruk hamba diciptakan oleh Allah, dan hamba tidak berkuasa menciptakan sesuatu apa pun.[8]

Tetapi, karena keputusan (qada) Allah tidak diketahui sebelum terjadi, maka hamba wajib melakukan segala upaya (iktisab dan ikhtiar) untuk sampai pada takdirnya. Upaya tersebut mengacu pada perintah syariat dan kacamata umat, bukan pada sudut pandang Allah dan malaikat. Jadi, bila Allah memutuskan dan menakdirkan seorang hamba mati pada hari Selasa karena virus Korona, maka sebelum waktunya tiba dia wajib melakukan segala upaya untuk tetap hidup. Sekali pun sia-sia. Bila Allah menakdirkan seorang hamba untuk berzina, maka sebelum waktunya tiba dia wajib melakukan segala upaya agar menjauhi sanggama. Sekali pun sia-sia. Bila Allah menakdirkan seorang hamba menjadi ulama, maka sebelum waktunya tiba dia wajib menuntut ilmu di sepanjang usia, sehingga bisa diterima oleh syariat dan kacamata manusia.

Kalangan Asyariah berpegang bahwa qada Allah itu perkara kadim yang tidak bisa diubah, dan kadar adalah perkara baru yang menjadi realisasi qada. Jadi segala apa yang terjadi (kadar atau takdir), telah selesai diputuskan oleh Allah melalui qada-Nya. Tidak bisa diubah menurut kacamata Allah. Memang bagi hamba, takdir “seolah-olah” berubah karena ketidaktahuannya. Dari yang tadinya miskin bisa menjadi kaya, saleh bisa menjadi durhaka. Namun, perubahan takdir itu sebatas kiasan. Karena, ungkapan “seolah-olah” menunjukkan bahwa hakikat takdir bagi Allah sama sekali tidak berubah.

Oleh sebab qada dan kadar serta takdir dan nasib tidak diketahui manusia, maka mereka wajib melakukan iktisab dan ikhtiar sesuai aturan syariat untuk sampai pada takdirnya. Dengan tidak berpangku tangan. Di sanalah pahala dan dosa berlaku, bukti keadilan dan kebijaksanaan Allah. Sekali pun Allah telah menentukan seseorang melakukan sesuatu (ibadah atau maksiat, kebaikan atau keburukan), tetapi karena mereka melakukannya dengan sadar, maka semuanya akan diganjar. Buktinya, pahala dan dosa tidak mengganjar mereka yang lupa, tidur, atau gila, bukan?

Bagi kalangan Maturidiah——dengan mengacu pada pemahaman Imam Abu Hanifah dan para muridnya——perbuatan Allah adalah al-khalq, yakni penciptaan dan kekuasaan pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Sementara perbuatan hamba adalah penggunaan dan kemampuan atas hal yang sudah ada dengan makna nyata, bukan kiasan.[9]

Jadi, mereka berpegangan bahwa Allah adalah pencipta perbuatan, sementara hamba adalah pelaku usaha dan kasab. Mereka menganggap bahwa semua perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, sementara  hakikat perbuatan bagi manusia adalah dengan mengacu pada dalil naqli, akli, dan syarat yang mengarah pada sebab perbuatan tersebut. Adapun dalil naqli memiliki dua jenis, yakni perintah dan larangan, serta janji dan ancaman, yang semuanya merupakan perbuatan. Sementara dalil akli adalah penyandaran kelayakan atas perbuatan Allah.

Misalnya, perbuatan manusia terkait ketaatan terhadap perintah merupakan kehendak dan keridaan Allah, sementara terkait pembangkangan dan sifat keburukan merupakan kehendak Allah tanpa disertai keridaan-Nya. Di sinilah unsur pahala dan siksa dapat diterima bagi mereka, sehingga manusia dituntut untuk melakukan perbuatan baik agar mendapat rida dan pahala.

Sekali pun Allah sendiri yang menciptakan dan menghendaki perbuatan tersebut, tetap harus ada iktisab dan ikhtiar berdasarkan panduan syariat. Karena bagi mereka, qada hanya berupa batasan yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk, seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya. Sementara kadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, kesengsaraan yang tertulis di loh mahfuz atas seseorang bisa diganti dengan kesenangan apabila orang tersebut melakukan kebahagiaan dan kegembiraan.[10]

Imam Maturidi sendiri mengatakan bahwa kadar terbagi dua, yaitu realisasi dari qada seperti apakah seseorang berbuat baik atau buruk, bagus atau jelek, pintar atau bodoh. Serta perincian qada, seperti kapan dan di mana terjadi, benar atau salah, berpahala atau berdosa.[11]

Dalam hal ini, terdapat sedikit perbedaan antara mazhab Asyari dan Maturidi. Ulama Asyariah berpendapat bahwa qada bersifat dahulu, sementara kadar bersifat baru. Namun sifat baru kadar dilandaskan pada qada, tanpa ditambahi atau dikurangi. Sehingga menganggap bahwa qada dan kadar adalah hal baku dan final, serta tidak dapat diubah, diganti, atau diganggu gugat. Berbeda dengan ulama Maturidiah, walau menganggap bahwa qada berada di alam azali dan bersifat terdahulu, namun baru memerincinya dalam kadar setelah makhluknya tercipta, sehingga bisa diganti dan diubah sewaktu-waktu.

Dalam hal ini, Syekh Nawawi mengatakan bahwa pendapat Asyariah lebih masyhur daripada pendapat Maturidiah.[12] Terbukti bahwa pengikut mazhab Asyari lebih banyak dibanding mazhab Maturidi di setiap masanya. Inilah pendapat yang saya dan keluarga yakini, lebih hati-hati. Selain itu, pendapat ulama Asyariah yang mengatakan bahwa qada dan kadar Allah adalah baku, tidak bertentangan dengan sifat ilmu Allah.

Artinya, ketika Allah sudah menentukan takdir seseorang sejak azali, maka Allah layak mendapat predikat Maha Mengetahui. Allah adalah sebaik-baik dan sepandai-pandainya pembuat skenario. Walau di awal ada yang terlihat segar bugar dan berdiam di rumah tanpa ke mana-mana, bila sudah ditakdirkan terkena virus Korona sejak zaman azali, pasti ada saatnya dia melakukan hal tak terduga yang menyebabkannya terkena. Hal tak terduga itu, bukan berarti karena kehendak dirinya sendiri. Tetapi memang sudah jalannya seperti itu. Karena bila Allah menghendaki dan menakdirkan orang tersebut tidak terpapar virus, selamanya tidak akan.

Akan tetapi, karena tidak tahu takdir apa yang menunggu kita, satu-satunya jalan adalah berusaha sekuat tenaga. Bukan berarti dengan berusaha kita tidak akan terkena Korona, tapi bila ingin selamat menurut pandangan syariat, ya mengikuti maklumat. Urusan kita terkena atau tidak ketika sudah berusaha, itu adalah hak prerogatif Allah. Kita berusaha, karena sebatas manusia, kita bukan Allah yang tahu segalanya. Bila ingin A, lazimnya melakukan B. Begitu adanya. Semua dibuat masuk akal, agar lumrah dan sesuai adat.

Namun, hati-hati, hal itu bukan berarti Allah mengubah takdir karena kita melakukan sesuatu. Justru kelakuan kita untuk sampai pada takdir juga bagian dari takdir Allah dalam qada yang sudah ditentukan-Nya. Seperti halnya orang sakit yang memiliki takdir sehat. Lalu dia berusaha dengan berobat. Sungguh berobat juga merupakan takdir.[13] Jadi, tidak ada yang namanya mengubah takdir dari sakit menjadi sehat dengan berobat, karena nyatanya berobat pun bagian dari takdirnya. Tidak ada yang namanya berusaha, bekerja, dan berbuat diciptakan manusia, karena itu juga bagian dari takdirnya.

Lantas, bila kita berkeyakinan bahwa Allah mengubah takdir karena kita berusaha, maka sama saja beranggapan bahwa Allah “menunggu” kita berbuat untuk memutuskan sesuatu. Bila begitu, artinya Allah membutuhkan kita. Ini adalah pemikiran Neomuktazilah. Na`ūżu billāh. Siapa lah kita hingga berani berbuat lancang seperti itu?

Jangan juga kita berkeyakinan bahwa Allah mengubah takdir karena qada-Nya belum selesai, karena qada-Nya hanya berupa batasan atau garis besar, sementara qadar adalah perinciannya. Bila demikian, artinya ilmu Allah terbatas, sifat ilmu-Nya baru karena kadar baru terjadi setelah makhluk tercipta, dan itu mustahil.

Misalnya begini, dalam qada di loh mahfuz, Allah memutuskan seseorang akan terkena virus Korona. Tetapi, karena orang itu berdiam di rumah dan melakukan karantina wilayah dan jaga jarak, Allah mengubah takdirnya menjadi sehat walafiat. Tidak tersentuh Korona sedikit pun. Maka itu berarti, tadinya Allah tidak tahu bahwa orang itu akan sehat. Allah baru tahu orang itu sehat, ketika mengubah takdirnya karena berdiam diri di rumah. Artinya, cacatlah ilmu Allah karena ketidaktahuan-Nya. Na`ūżu billāh. Astagfirullah. Satu-satunya jalan yang benar adalah, meyakini bahwa sejak zaman azali Allah tahu orang itu akan sehat. Artinya sudah ditentukan di loh mahfuz dalam qada-Nya. Allah juga tahu orang tersebut akan melakukan apa saja untuk menghindari Korona. Hal itu sudah diputuskan dan ditetapkan sebelum semuanya ada. Sehingga, sifat-sifat Allah tidak dicederai dengan kesombongan manusia.

Lalu muncul pertanyaan, “Bukannya Allah Mahakuasa? Tentu saja Allah berkuasa mengubah takdir seseorang.” Ketahuilah, itu adalah pertanyaan bidah, jika dimaksudkan untuk mencederai sifat Allah yang lain, khususnya ilmu Allah. Syekh Ahmad bin Sayid Abdulrahman al-Nahrawi (w. 1344 H.) mengatakan[14] bahwa sifat qudrah Allah tidak berlaku untuk perkara wajib seperti zat dan sifat Allah, tidak berlaku juga untuk perkara mustahil seperti penyekutuan terhadap Allah. Hal itu karena sifat qudrah hanya berlaku bagi perkara yang mungkin: dari yang tidak ada menjadi ada. Sedangkan qada adalah kehendak Allah di zaman azali yang berkaitan dengan sifat ilmu dan iradat Allah, serta bersifat kadim, ada tanpa permulaan.

Kecuali, bila seseorang mengatakan bahwa Allah berkuasa memberikan anak kepada seseorang, maka pernyataan tersebut bisa dibenarkan. Hal itu karena “memberikan anak” boleh jadi sudah ditakdirkan dan diputuskan lewat qada-Nya. Berbeda bila mengatakan bahwa Allah mengubah takdir seseorang yang mandul dengan memberikannya anak. Itu adalah keyakinan yang keliru. Na`ūżu billāh.

Inilah jalan tengah yang diambil oleh ahlusunah, tidak mengikuti kelancangan kelompok Jabariah Jahmiah, tidak pula membenarkan keangkuhan kelompok Qadariah Muktazilah. Ahlusunah meyakini dengan sepenuhnya bahwa Allah pencipta segalanya, termasuk yang ada di kedalaman hati dan yang terlintas di benak dan pikiran seseorang. Hal ini dengan jelas menolak paham Qadariah Muktazilah. Ahlusunah juga meyakini dengan sepenuhnya bahwa hamba dituntut untuk berusaha, karena apa yang diperbuatnya sebagai sebuah iktisab (kasb) dan ikhtiar merupakan kelakuan yang ditimpakan kepadanya secara sadar dan akan dipertanggungjawabkan. Hal ini dengan jelas menolak paham Jabariah Jahmiah.

Terkait penggalan ayat 11 dari surat al-Ra`d, tidak satu pun ulama ahlusunah yang menafsirkan ayat tersebut dengan kemampuan manusia mengubah nasib dan takdir Allah. Apalagi membuat manusia berkuasa mengubah nasib buruk menjadi baik, seperti yang dikatakan banyak orator untuk memotivasi. Kebanyakan dari mereka, memenggal dua ayat yang saling berkaitan hanya untuk memuaskan nafsu dan membenarkan pendapatnya. Padahal, ayat 10 berbicara terkait pengetahuan Allah terhadap apa pun yang diucapkan hambanya baik dengan suara pelan atau keras, apa pun yang dilakukan hamba-Nya baik di dalam kesunyian malam atau kebisingan siang. Di awal ayat 11, Allah menerangkan soal penjagaan empat malaikat yang dikirim-Nya siang dan malam terhadap seseorang, dan di akhir ayat Allah berfirman soal kekuasaan-Nya menimpakan bencana yang tak ada seorang pun dapat menolaknya (apalagi mengubahnya).

Hal tersebut menunjukkan bahwa, ayat 10 dan 11 surat al-Ra`d membahas tentang penjagaan empat malaikat terhadap seseorang. Dua di antaranya memberikan nikmat, dua yang lainnya mencatat amal. Setiap pergantian siang dan malam, dua malaikat yang memberi nikmat melapor kepada Allah. Apakah orang tersebut istikamah dalam ibadah, atau terjerat dalam maksiat. Kemudian Allah tidak akan mengubah nikmat yang dibawa oleh kedua malaikat menjadi bencana, selagi mereka beribadah kepada Allah. Namun, ketika mereka berbuat maksiat, maka nikmat Allah akan dicabut, dan tidak ada seorang pun yang dapat menolaknya.

Itulah yang diungkapkan dalam empat kitab tafsir kredibel yang diakui semua kalangan ahlusunah. Keempat kitab itu adalah tafsir Dua Jalal[15], tafsir Imam Ibnu Kasir[16], Tafsir Imam Qurtubi[17], dan tafsir Imam Tabari[18]. Bahkan tafsir Imam Zamakhsyari dari kalangan Muktazilah[19] dan tafsir Imam Tabrasi dari kalangan Syiah[20] pun mengamini hal itu. Imam Qurtubi menambahkan bahwa, hilangnya nikmat pada seseorang bisa disebabkan karena dua faktor: dirinya atau keluarga, kerabat, orang terdekat, dan lingkungannya yang berbuat maksiat. Jadi, sekali pun dirinya senantiasa beramal saleh, apabila lingkungannya bermaksiat, nikmatnya tetap akan dibabat. Maka jangan heran bila dunia kacau balau, sekali pun banyak ulama. Karena orang yang berbuat dosa tidak kalah banyaknya. Jadi tergelitik: bila kerusakan, keburukan, dan kekejian bukan berasal dari Allah dan tidak diciptakan oleh-Nya, lalu apa kabar dunia yang sedang kacau ini? Mau mengatakan bahwa kekacauan itu tidak diciptakan oleh Allah? Bila begitu, dunia sedang tidak dalam kendali Allah? Na`ūżu billāh.

Oh iya, saya baru menemukan Sayid Qutub dari kelompok Ikhwanul Muslimin dalam tafsirnya, sebagai satu-satunya ulama yang berpendapat berbeda. Dia mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah kenikmatan atau kesengsaraan, kemuliaan atau kehinaan, kedudukan atau kerendahan, kecuali manusia mengubahnya dengan keinginan dan perbuatan mereka. Maka, Allah akan mengubah apa yang ada pada diri mereka sesuai dengan spirit dan usaha mereka yang mendatangi Allah. Lebih jauh, Sayid Qutub melanjutkan bahwa bila Allah mengetahui atas sesuatu (kenikmatan dan seterusnya), maka tentu hal itu akan ada sebelumnya dari diri manusia. Tetapi, apa yang terjadi terhadap manusia adalah berurutan dan datang setelahnya bagi Allah kepada mereka pada zaman dengan dimensi yang berbeda.[21] Sungguh penjelasan ini telah keluar dari ijmak ulama, mengikuti hawa nafsu, dan tercemar oleh paham Qadariah Muktazilah. Barangkali, motivator gadungan di masa sekarang, mengikuti paham keliru dari Sayid Qutub tersebut. Na`ūżu billāh.

Sekali lagi——agar terhindar dari paham sesat Qadariah Muktazilah——kita harus meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui soal takdir kita akan menjadi apa. Allah Maha Mengetahui besok lusa kita akan berbuat apa. Yang menyelisihinya telah keluar dari ijmak ulama. Namun begitu, sebagai hamba kita sama sekali tidak tahu apa-apa. Untuk itu, yang mesti dilakukan adalah berusaha (istilahnya berikhtiar). Takdir Allah tidak bisa diubah, dan kita tidak perlu memusingkan hal itu. Kita hanya perlu mengikuti arahan syariat, karena buta akan ilmu hakikat. Nabi saja yang sudah tahu takdirnya, tetap melakukan hal-hal seperti manusia biasa. Apalagi kita? Setelah berikhtiar, baru bertawakal pada takdir Allah. Apabila kita hanya bertawakal tanpa disertai ikhtiar, sama saja mengambil alih peran Allah. Bahkan sok tahu atas ilmu, qada, dan kadar Allah.

Nabi juga tetap beribadah dan berusaha sekali pun tahu pasti masuk surga. Nabi tetap beriktisab dan berikhtiar (misalnya dalam perang) sekali pun tahu Islam akan menang. Hal itu agar dicontoh oleh umatnya. Agar tidak memberatkan umatnya. Bayangkan bila Nabi tidak melakukannya, akan banyak ustaz “sunah” yang melalaikan syariat karena mengikuti gaya Nabi. Kecuali bila Anda memang tidak tertarik dengan gaji duniawi, kerjaannya hanya menyepi dan menyendiri seperti para sufi, baru ungkapan “cukup pasrah saja” bisa dimaklumi. Tetapi, bila Anda masih butuh uang, khawatir besok tidak bisa kenyang, lalu kerja banting tulang sampai lupa pulang. Eh, terus sok-sokan bilang, “Tidak perlu takut Korona, pasrah saja!” Mending gelut, yuk, Bang! Atau bila Anda masih banyak utang, ketika ditagih malah hilang, berdaih bahwa pertolongan Allah akan datang. Eh, terus sok-sokan bilang, “Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubahnya.” Mending ribut, yuk, Kang!

Saya jadi teringat omelan khas orang tua. Mereka sering berkata, “Saré’at na mah, lamun teu nginum obat moal hadé——menurut adat, kalau tidak meminum obat, tidak akan sembuh.” Benar adanya. Minum obat adalah syariat atau adat. Kebiasaan yang lazim di masyarakat dan dapat diterima akal sehat. Sementara sembuh adalah hakikat, hanya diketahui oleh Allah dalam qudrah iradat. Karena kita tidak tahu ilmu hakikat, maka yang mesti dilakukan adalah bersyariat, dengan tetap berkeyakinan bahwa Allah lah yang menyembuhkan, Allah lah yang menakdirkan.

Jadi, tetap yakini bahwa segala sesuatu (termasuk virus Korona) tunduk pada pertintah Allah. Takdir kita, apakah terkena virus Korona atau tidak, sudah ditentukan oleh Allah. Namun, karena kita tidak tahu seperti apa takdir ke depannya, harus berusaha menghindari semampunya. Ikuti semua instruksi para ahli! Jauhi tempat-tempat keramaian, khususnya di wilayah berzona merah! Biasakan gaya hidup sehat!

Bila sudah ada keputusan untuk beribadah di rumah bagi masyarakat zona merah, taati! Jangan membandel dengan dalih melakukan ibadah bersama. Karena zaman dahulu pun hal tersebut sudah ada, dan ulama sepakat untuk meninggalkan perkumpulan ibadah di lapangan terbuka untuk menghindari fitnah terhadap agama.[22] Khawatir, bila dengan melakukan ibadah bersama itu, lalu korban kian bertambah, lantas mengatakan bahwa doa ulama dan orang mukmin tidak dikabulkan. Akhirnya berujung pada suuzan kepada Allah. Na`ūżu billāh.

Namun bagi mereka yang berada di wilayah yang terhitung aman, boleh melakukan aktivitas ibadah seperti biasa. Walau tetap harus waspada. Bahkan, ibadah yang dihukumi fardu kiayah seperti salat berjemaah, atau wajib seperti salat Jumat, harus tetap dilaksanakan. Hal itu bila suasananya terbilang aman dan kondusif. Majelis pengajian juga boleh tetap dihadiri. Undangan zikir dan tahlilan, pun tidak apa tetap dipenuhi. Ketika wilayah Anda sudah dinyatakan bahaya, hentikan semuanya! Bahkan bila tujuan berkumpulnya untuk berdoa bersama.

Terakhir, entah Anda berada di wilayah gawat atau pun aman, batasi diri dari keramaian dan pekerjaan yang tidak penting! Jangan mentang-mentang wilayah Anda masih aman, seenaknya jalan-jalan tanpa beban. Sungguh mencegah mafsadat lebih utama daripada mengambil manfaat.

Wallahualam bisawab.


[1] `Abd al-Qāhir bin Ṭāhir bin Muḥammad al-Bagdādī, al-Farq baina al-Firaq (Beirut: Dar al-Marefah, 2008), hal. 194-195.

[2] Ibid., hal. 113.

[3] Aḥmad bin `Alī bin Ḥajar al-`Asqalānī, ed. Muhibuddin al-Khatib d.k.k., Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Imām Abī `Abdillāh Muḥammad bin Ismā`il al-Bukhārī, Juz I (Kairo: Dār al-Rayyān li al-Turāṡ, 1986), hal. 145.

[4] Yaḥya bin Syaraf al-Nawawī (Muḥy al-Dīn Abū Zakariyyā), ed. Khalil Makmun Syiha, al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj, Juz I (Beirut: Dar al-Marefah, 2010), hal. 109.

[5] `Alī bin Ismā`īl al-Asy`arī (Abū al-Ḥasan), ed. Basyir Muhammad Uyun, al-Ibānah `an Uṣūl al-Diyānah (Riyad dan Taif: Maktabah Dār al-Bayān dan Maktabah al-Mu´ayyad, 1990), hal. 137.

Perlu ditegaskan bahwa kitab al-Ibānah karangan Imam Asyari sudah banyak dipalsukan. Syekh al-Harari al-Habasy dalam al-Maqālāt al-Sunniyah halaman 164-165 (cetakan Dār al-Masyāri´ tahun 2008) mengatakan bahwa naskah al-Ibānah yang ada sekarang tidak muktamad, terutama masalah istiwa. Saya mengutip pendapat Imam Asyari dari kitab tersebut, dengan sebelumnya mempertimbangkan editor dan penerbitnya. Editor merupakan seorang bermazhab Syafei, walau termotivasi oleh Syekh Albani dalam bidang penyuntingan dan kepustakaan (biografinya dapat diakses di laman al-Alūkah al-Ṡaqāfiyah). Terkait penerbit, saya menilai bahwa penerbit pertama kredibel dan banyak menerbitkan buku klasik secara amanah, sementara penerbit kedua sangat sedikit informasi yang memuat tentangnya. Untuk itu, kitab al-Ibānah cetakan ini tetap digunakan sebagai rujukan dalam masalah qada dan kadar.

[6] Muḥammad bin `Abd al-Raḥmān bin Muḥammad bin `Abdillāh al-Ījī al-Syairāzī al-Syāfi`ī, ed. Abdulhamid al-Handawi, Jāmi` al-Bayān fī Tafsīr al-Qur´ān, Juz I (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2004), hal. 380.

[7] Muḥammad Nawawī bin `Umar al-Jāwī al-Bantanī al-Syāfi`ī, Syarḥ Safīnah al-Najā (Indonesia: Dâr al-Ihyā`, Tanpa Tahun), hal. 12.

[8] `Alī bin Ismā`īl al-Asy`arī (Abū al-Ḥasan), ed. Nawaf al-Jarrah, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn (Beirut: Dār al-Ṣādir, 2008), hal. 170-171.

[9] Muḥammad bin Muḥammad bin Maḥmūd al-Māturīdī al-Samarqandī (Abū Manṣūr), ed. Abdullah bin Ibrahim al-Ansari, Syarḥ al-Fiqh al-Akbar: al-Matan al-Mansūb ilā al-Imām Abī Ḥanīfah al-Nu´man bin Ṡābit al-Kūfī (Kairo: Dār al-Baṣā´ir, 2009), hal. 18.

[10] Ibid., hal. 20.

[11] _______________, ed. Bekir Topaloğlu dan Muhammed Aruçi, Kitāb al-Tauḥīd (Beirut dan Istanbul: Dār al-Ṣādir dan Maktabah al-Irsyād, 2007), hal. 396.

[12] Muḥammad Nawawī bin `Umar al-Jāwī al-Bantanī al-Syāfi`ī, Ibid.

[13] Muḥammad bin `Īsā al-Tirmiżī (Abū `Īsā), ed. Basyar Awwad Makruf, al-Jāmi` al-Kabīr, Jilid III (Beirut: Dār al-Garb al-Islāmī, 1996), hal. 581.

[14] _______________, Fatḥ al-Majīd Syarḥ al-Durr al-Farīd fī `Aqā´id Ahl al-Tauḥīd (Surabaya: Darul Ilmi, Tanpa Tahun), hal. 22-23.

[15] Jalāl al-Dīn Muḥammad bin Aḥmad al-Maḥalī dan Jalāl al-Dīn `Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr al-Suyūṭī, Tafsīr al-Qur´ān al-`Aẓīm, Juz I (Indonesia: Dār Ihyā` al-Kutub al-`Arabiyyah, Tanpa Tahun), hal. 202.

[16] Ismā`īl bin Kaṡīr al-Qurasyī al-Dimasyq (Abū Fidā` `Imād al-Dīn), ed. Yusuf Abdulrahman al-Murasyili, Tafsīr al-Qur´ān al-`Aẓīm, Juz II (Beirut: Dar al-Marefah, 1987), hal. 521-523.

[17] Muḥammad bin Aḥmad al-Ansārī al-Qurtubī (Abū Abdillāh Syams al-Dīn), ed. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Mahmud Hamid Usman, al-Jāmi` li Ahkām al-Qur´ān, Juz IV (Kairo: Dār al-Hadīṡ, 2010), hal. 165-166.

[18] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja´far), Jāmi` al-Bayān `an Ta`wīl Āy al-Qur´ān, Jilid VIII (Amman dan Beirut: Dār Ibn Ḥazm dan Dār al-A´lām, 2002), hal. 155.

[19] Maḥmūd bin `Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī (Abū al-Qāsim), ed. Abdulrazaq al-Mahdi, al-Kasysyāf `an Ḥaqā´iq al-Tanzīl wa `Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta´wīl, Juz II (Beirut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, 2001), hal. 487.

[20] Al-Faḍl bin al-Ḥasan al-Ṭabrasī (Abū `Alī), ed. H. Sayid Hasyim al-Rasuli al-Mahalalati, Majma´ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur´ān, Juz VI (Beirut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, 1992), hal. 363.

[21] Sayid Qutb, Fī ẓilāl al-Qur´ān, Jilid IV (Beirut: Dār al-Syurūq, 1988), hal. 2049.

[22] Aḥmad bin `Alī bin Ḥajar al-`Asqalānī, ed. Ahmad Asam Abdulqadir al-Katib, Bażl al-Mā`ūn fī Faḍl al-Ṭā`ūn (Riyad: Dār al-`Āṣimah, 1991), hal. 329.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s