1. PENDAHULUAN
من شهيدين ليس يُنسيني الطــ ۞ ــفّ مـــصـــابـيهما ولا كربلاء[1]
Tragedi pembantaian di Karbala sangat masyhur, sekaligus mengandung banyak kontroversi. Satu pihak kepalang mendewakan Yazid bin Muawiyah hingga melepaskannya dari segala dosa atas tragedi tersebut. Sementara satu pihak juga kepalang mendewakan Imam Husain hingga mencela sejumlah sahabat Nabi yang berada di pihak Yazid. Perlu ditegaskan bahwa semua sahabat Nabi adalah adil, sehingga bila mereka melakukan kesalahan, tugas kita selaku manusia biasa adalah mendiamkan dan menyerahkannya kepada Allah. Sebaik-baiknya orang adalah tidak memperpanjang pembahasan terkait konflik antarsahabat Nabi. Hal itu sebagaimana sabda Nabi yang dikutip oleh Imam Suyuti, “Jika disebutkan tentang sahabat-sahabatku, maka jagalah pebicaraanmu!”.[2]
Saya tidak akan membahas tentang konflik antarsahabat Nabi. Saya akan mencoba menerangkan tentang konflik antara Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah. Adapun Yazid, dia bukanlah seorang sahabat, sehingga pembicaraan tentangnya bisa lebih bebas sesuai dengan sejumlah riwayat masyhur yang dapat ditemukan di buku-buku sejarah.
***
2. AWAL MULA
Pada bulan Rajab tahun 60 H, Yazid bin Muawiyah dibaiat sebagai khalifah setelah ayahnya—Sayidina Muawiyah bin Abu Sufyan—yang memegang jabatan khalifah wafat. Ia lahir pada tahun 26 H, dan umurnya ketika dibaiat adalah 34 tahun. Pada saat itu, Walid bin Utbah bin Abu Sufyan adalah gubernur Madinah, Umar bin Said bin al-As adalah gubernur Mekah, Ubaidillah bin Ziyad adalah gubernur Basrah, dan Nukman bin Basyir adalah gubernur Kufah. Karena Yazid tidak memiliki dukungan ketika menjadi seorang putra mahkota—selain daripada baiat serdadu yang mengikuti perintah Sayidina Muawiyah untuk membaiatnya—maka ia mengirimkan surat kepada Walid bin Utbah. Surat tersebut terdiri dari dua lembar.
Lembar pertama mengabarkan tentang kematian Sayidina Muawiyah yang bunyinya, “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Yazid, Amirulmukminin, kepada Walid bin Utbah. Amabakdu, maka sungguh Muawiyah adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Allah telah memuliakannya, mengangkatnya sebagai khalifah, memberikannya kuasa, serta menjadikannya kokoh. Dia hidup karena kadar, wafat karena ajal. Semoga Allah memberikannya rahmat. Dia telah hidup dalam sanjungan, wafat dalam kebaikan dan ketakwaan. Wasalam.”
Lembar kedua merupakan perintah untuk mengambil baiat yang isinya, “Amabakdu, ambillah baiat dari Husain, Abdullah bin Umar, dan Ibnu Zubair. Ambillah baiat tanpa keringanan hingga mereka memberikan baiatnya! Wasalam.”
Itu adalah redaksi surat dari Yazid bin Muawiyah kepada Walid bin Utbah menurut kalangan ahlusunah, seperti yang direkam oleh Imam Ibnu Jarir al-Tabari (w. 310 H)[3], Imam Ibnu Asir (w. 630 H)[4], dan Imam Ibnu Kasir (w. 773 H)[5]. Adapun redaksi yang diriwayatkan oleh ulama Syiah, sebagaimana direkam oleh Ibnu Wadih al-Yaqubi (w. 292 H), terkesan lebih tendensius. Beliau menyatakan bahwa isi surat perintah baiat dari Yazid kepada Walid adalah sebagai berikut:
“Apabila suratku ini telah sampai kepadamu, panggillah Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair! Kemudian, ambillah baiat dari keduanya. Apabiila mereka menolak, penggallah leher-leher mereka dan kirimkan kepalanya kepadaku! Ambil pula baiat dari orang-orang. Barang siapa yang menolak, maka aku akan menimpakan hukuman kepadanya, termasuk Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Wasalam.”[6]
Dalam kitab lain, disebutkan juga terdapat penambahan redaksi terkait isi surat yang dikirim oleh Yazid kepada Walid. Hal itu sebagaimana direkam oleh Imam Ibnu Aksam al-Kufi (w. 314 H), salah satu sejarawan Syiah yang semasa dengan Imam Tabari, menyebutkan:
“…. Dia (yakni Muawiyah) hidup karena kadar, wafat karena ajal. Dia telah hidup dalam kebaikan dan ketakwaan, serta keluar dari dunia dalam keadaan rida dan bersih. Benar, demikianlah adanya khalifah (yakni Muawiyah), dan aku tidak bermaksud mentazkiahnya di hadapan Allah[7], karena Dia lebih mengetahui tentang khalifah dibanding diriku. Selanjutnya, khalifah telah memberikan otoritas kepadaku, mengangkatku sebagai khalifah setelahnya, serta memberikan wasiat kepadaku agar mendahulukan keluarga Abu Sufyan dari keluarga Abu Turab[8]. Hal itu karena keluarga Abu Sufyan adalah pembela kebenaran dan penuntut keadilan. Apabila suratku telah sampai kepadamu, ambillah baiat dari penduduk Madinah. Wasalam.”
Imam Ibnu Aksam juga menuliskan surat Yazid di lembar selanjutnya, “Amabakdu, ambillah baiat dari Husain bin Ali, Abdurrahman bin Abu Bakar[9], Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar bin Khattab. Ambillah baiat secara paksa tanpa ada keringanan. Barang siapa di antara mereka yang menolakmu, penggallah lehernya dan kirimkan kepalanya kepadaku!”[10]
Setelah mendapat masukkan dari Marwan bin al-Hakam[11], Walid mengutus Abdullah bin Amr bin Usman untuk memanggil Imam Hasan bin Ali dan Sayidina Abdullah bin Zubair. Pada saat itu, keduanya sedang duduk-duduk di masjid. Sayidina Abdullah bin Umar tidak turut dipanggil, karena berdasarkan saran dari Marwan, beliau tidak akan menyulut peperangan dan tidak akan menghendaki provokasi di antara umat. Sekali pun Marwan yakin bahwa Sayidina Ibnu Umar akan menolak baiat, tetapi penolakannya—yang tidak disertai provokasi—dapat diampuni.
Ketika utusan tersebut datang menghampiri Imam Husain dan Sayidina Ibnu Zubair, ia berkata, “Kalian berdua dipanggil oleh Amir!” yang langsung disanggupi oleh keduanya.
Setelah utusan tersebut pergi, Sayidina Ibnu Zubair bertanya kepada Imam Husain, apa kiranya tujuan gubernur memanggil mereka. Imam Husain kemudian menjawab, “Aku mengira bahwa pemimpin mereka yang zalim telah tewas. Kemudian, mereka mengirim utusan kepada kita untuk mengambil baiat sebelum kabar tersebut didengar orang-orang.” Lalu, Sayidina Ibnu Zubair pun membenarkan hal itu dengan berkata, “Aku tidak punya perkiraan selain daripada hal itu. Lalu, apa yang akan engkau perbuat?”
“Aku akan mengumpulkan pengikutku dan mendatangi gubernur. Setelah sampai di depan pintu istana, aku akan mempertimbangkan baik dan buruknya, kemudian masuk ke dalamnya.” Jawab Imam Husain. Namun, rencana Imam Husain ternyata membuat Sayidina Ibnu Zubair khawatir, hingga akhirnya Imam Husain menenangkannya dengan berkata, “Aku tidak akan mendatanginya kecuali aku merasa sanggup menemuinya.”
Setelah itu, Imam Husain mengumpulkan pengikut dan keluarganya dan berjalan mendatangi pintu istana gubernur. Sebelum masuk ke dalam, Imam Husain berpidato di hadapan pasukannya, “Sungguh aku akan masuk. Maka, apabila aku memanggil kalian, atau bila kalian mendengar suara gubernur meninggi, maka dobraklah pintu dan datangi aku! Namun, bila hal itu tidak terjadi, janganlah bergerak hingga aku keluar mendatangi kalian!”
Kemudian Imam Husain masuk ke dalam istana seorang diri, sementara pasukannya menunggu di luar. Ketika masuk, ternyata Marwan sudah duduk di samping gubernur, lalu Imam Husain memberikan salam. Setelah isi surat Yazid dibacakan oleh Walid yang disusul dengan permintaan baiat, Imam Husain berkata, “Innā lillāh, wa innā ilaihi rāji`ūn. Semoga Allah memberikan rahmat kepada Muawiyah dan memuliakan Anda (maksudnya Walid bin Utbah) dengan sejumlah pahala. Adapun apa yang Anda minta dari saya terkait baiat, maka sungguh orang seperti saya tidak memberikan baiat dalam kesunyian. Saya juga tidak melihat bahwa Anda akan mengambil baiat dari saya secara sembunyi-sembunyi tanpa mengungkapkannya kepada orang-orang secara terbuka.[12] Jadi, apabila Anda mengumpulkan orang-orang dan meminta mereka untuk berbaiat, kemudian Anda memanggil saya bersama mereka, hal itu lebih efisien.”
Pada saat itu, Walid bin Utbah sebenarnya membenarkan apa yang dikatakan oleh Imam Husain. Hal itu karena Walid sendiri lebih menyukai perdamaian daripada peperangan dan perdebatan. Bahkan, Walid sempat berkata, “Pergilah kau (maksudnya Imam Husain) atas nama Allah hingga nanti kaudatang kepada kami bersama orang-orang!” Namun, Marwan bin Hakam yang berada di samping Walid berbisik:
“Demi Allah, jika saat ini dia meninggalkanmu, dia tidak akan memberikan baiatnya. Engkau tidak akan mendapatkan kesempatan seperti sekarang selamanya, hinga akhirnya pembunuhan semakin merebak antara dirimu dan dirinya. Belenggu kakinya! Jangan biarkan dia keluar dari sini sebelum memberikan baiatnya, atau sekalian pancung lehernya!”
Ternyata, apa yang dikatakan oleh Marwan itu terdengar oleh Imam Husain. Dengan bergejolak, Imam berseru, “Hai anak dari perempuan bermata biru! Engkau kah yang akan membunuhku atau dia (maksudnya Walid bin Utbah)? Demi Allah, engkau telah berdusta dan berdosa.” Kemudian, Imam Husain keluar dari istana dan menemui keluarganya. Mereka pergi dari halaman istana dan pulang ke rumahnya.
Setelah Imam Husain pergi, Marwan berseru kepada Walid, “Engkau telah menentangku! Tidak! Demi Allah, engkau tidak akan menemukan kesempatan seperti tadi selamanya.” Menanggapi hal itu, Walid berkata, “Marahlah sesukamu, Marwan. Sungguh saranmu kepadaku itu akan menghancurkan penghayatan agamaku. Demi Allah, aku tidak mau sekali pun mendapatkan harta dan kekuasaan dunia, sementara diriku membunuh Husain. Mahasuci Allah! Aku membunuh Husain, kemudian berkata, ‘Dia tidak mau berbaiat.’ Demi Allah, sungguh aku tidak menganggap bahwa perhitungan darah Husain dinilai ringan dalam timbangan amal bagi Allah di hari kiamat kelak.”
Setelah pertemuan dengan Imam Husain, giliran Sayidina Ibnu Zubar yang menemui gubernur. Dalam pertemuannya itu, Sayidina Ibnu Zubair juga menolak untuk membaiat Yazid bin Muawiyah. Karena merasa tidak aman berada di Madinah, maka Sayidina Ibnu Zubair dan Imam Husain pergi dari Madinah menuju ke Mekah. Imam Husain pergi keluar dari Madinah pada Sabtu malam, dua hari terakhir bulan Rajab tahun 60 H. Sementara Sayidina Ibnu Zubair berangkat sebelumnya, yakni pada Jumat malam.
Dalam perjalanan tersebut, Sayidina Ibnu Zubair ditemani oleh saudaranya, yaitu Jakfar. Sementara Imam Husain membawa serta anak cucunya, saudara-saudaranya, anak cucu Imam Hasan, serta sejumlah ahlulbait yang mulia, kecuali Imam Muhammad bin Hanafiah[13]. Sebelum berpisah, Imam Muhammad sempat memberikan nasihat kepada Imam Husain agar mengirim surat kepada orang-orang untuk membaiatnya. Hal itu dilakukan, karena menurut Imam Muhammad, Imam Husain lebih dicintai dan dimuliakan oleh orang-orang. Imam Muhammad juga mengkhawatirkan, ketika Imam Husain pergi akan datang orang-orang untuk membaiat Imam Husain, namun beliau tidak ada. Hal itu pasti akan memicu perpecahan. Namun, Imam Husain tetap teguh untuk melanjutkan perjalanan menuju Mekah. Ketika dalam perjalanan, Imam Husain membaca ayat 21 surah al-Qaṣaṣ, ketika tiba di Mekah ia membaca ayat ke-22 dari surat tersebut.
Imam Ibnu Asir mengungkapkan[14], ketika Imam Husain keluar dari Madinah menuju Mekah, beliau bertemu dengan Sayidina Abdullah bin Muti[15]. Dia berkata kepada Imam Husain, “Saya dijadikan tebusan untuk Anda[16]. Hendak ke mana Anda?” Imam Husain menjawab, “Sekarang, aku hendak ke Mekah. Adapun setelah ini, aku menyerahkannya kepada Allah.
Mendengar jawaban tersebut, Sayidina Ibnu Muti berkata, “Allah telah melamahkan Anda dan menjadikan kami sebagai tebusan untuk Anda. Apabila Anda sudah sampai di Mekah, maka bagi Anda lebih dekat[17] ke Kufah. Sungguh itu adalah kota yang ditimpa kemalangan. Di sana ayah Anda dibunuh, saudara Anda ditelantarkan. Ambruk dengan sekali tikaman yang nyaris merenggut nyawanya. Tetaplah tinggal di Tanah Haram! Sungguh Anda adalah pemimpin orang Arab. Orang Hijaz tidak ada satu pun yang berbuat adil terhadap Anda, dan tertatih-tatih pun orang-orang akan merongrong Anda dari segala arah. Jangan meninggalkan Tanah Haram, di sana ada paman-pamanku. Demi Allah, bila Anda tewas, sungguh kami akan direnggut juga setelah Anda.”
Adapun terkait Sayidina Ibnu Umar, terdapat perbedaan apakah beliau tengah ada di Madinah atau justru tengah ada di Mekah. Menurut riwayat yang masyhur, Sayidina Ibnu Umar berada di Madinah dan Walid mengirim utusan agar beliau menghadapnya. Ketika Sayidina Ibnu Umar menghadap, Walid memerintahkannya untuk berbaiat.
“Apabila orang-orang berbaiat, maka aku akan berbaiat,” jawab Sayidina Ibnu Umar tegas. Kemudian seorang pemuda berkata, “Apa yang mencegahmu untuk berbaiat? Tentu kauingin orang-orang berselisih, maka mereka saling berperang dan berjuang sambil berseru, ‘Yang lebih berhak dibaiat adalah Abdullah bin Umar, tidak ada yang lain selain dia. Baiatlah dia!’”
Mendengar asumsi tak berdasar seperti itu, Sayidina Ibnu Umar menyahut, “Aku tidak menyukai peperangan, tidak pula menyukai perselisihan dan perpecahan. Namun, bila orang-orang berbaiat hingga tidak ada lagi yang tersisa selain diriku, maka aku akan berbaiat.” Mendengar jawaban tersebut, Walid bin Utbah berkata, “Tinggalkan dia (maksudnya Sayidina Ibnu Umar) dan jangan mengkhawatirknnya!”
Adapun menurut riwayat lain yang diungkapkan oleh Imam Waqidi, sebenarnya Sayidina Ibnu Umar tidak berada di Madinah, melainkan berada di Mekah bersama Sayidina Ibnu Abbas. Ketika Imam Husain dan Sayidina Ibnu Zubair sampai di Mekah, mereka bertemu dengan Sayidina Ibnu Umar dan Sayidina Ibnu Abbas. Kemudian, keduanya bertanya alasan mereka berada di Mekah. Setelah dikatakan bahwa Sayidina Muawiyah wafat dan Yazid dibaiat, Sayidina Ibnu Umar berkata,
“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan jangan memisahkan diri dari jemaah umat Islam!” kemudian Sayidina Ibnu Umar memberikan baiat, diikuti oleh Sayidina Ibnu Abbas. Namun, menurut pendapat Imam Ibnu Asir, Sayidina Ibnu Umar juga tidak memberikan baiat, dengan mengikuti pendapat yang masyhur.[18]
Setelah kejadian tersebut, pada bulan Ramadan di tahun yang sama, Yazid mencopot Walid bin Utbah dari jabatannya sebagai gubernur Madinah, kemudian menggantinya dengan Amr bin Said bin al-As. Pencopotan Walid tentu saja karena dia tidak bisa memenuhi perintah Yazid untuk mengambil baiat dari tiga sahabat yang disebutkan dalam surat. Amr bin Said bin al-As tiba di Madinah pada bulan yang sama, datang dengan penuh kesombongan. Ada yang mengatakan bahwa dia tiba di Madinah pada bulan Zulkaidah. Sejak saat itu, dia menjabat sebagai gubernur Hijaz, termasuk Mekah dan Madinah.
Kemudian, ia memberikan kuasa kepada Amr bin Zubair—saudara Sayidina Ibnu Zubair, namun berada di pihak yang berseberangan—untuk memerangi dan membinasakan saudaranya. Amr juga mengutus sejumlah rombongan pergi ke Mekah untuk turut memerangi Sayidina Ibnu Zubair. Imam Waqidi—sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Kasir—dan Imam Tabari menceritakan pembantaian pasukan Amr bin Said dan Amr bin Zubair terhadap anak cucu Sayidina Zubair bin Awwam. Pembantaian tersebut didasari karena mereka mencari Sayidina Ibnu Zubair di Mekah, namun tidak menemukannya. Pertempuran pun tidak terhindarkan, Sayidina Ibnu Zubair pun turut membentuk pasukan untuk mengimbangi tentara musuh.
***
3. ANGIN SEGAR DARI KUFAH
Di lain pihak, ketika kabar kematian Sayidina Muawiyah sampai di telinga orang-orang Kufah, demikian pula kabar penolakan baiat ketiga sahabat, maka para pendukung Imam Ali (yang disebut Syiah) berkumpul di rumah Sulaiman bin Surad al-Khuzai dan membahas perjalanan Imam Husain ke Mekah. Di antara yang hadir di sana adalah Sulaiman bin Surad, Musayyab bin Nujbah, Rifaah bin Syaddad, dan Habib bin Muzahir. Mereka juga menulis surat yang nantinya akan disampaikan kepada Imam Husain. Surat tersebut berbunyi:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Salam semoga dilimpahkan kepada Anda. Sungguh kami memuji Anda karena Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Amabakdu, segala puji bagi Allah yang menghancurkan musuh Anda yang otoriter dan diktator. Dia telah merampas kebutuhan atas umat ini, merampoknya, memerintahnya, serta memaksanya. Dia juga telah memerintah umat ini tanpa rida dari mereka, kemudian membunuh kehendak mereka dan memelihara perpecahan di antara mereka. Sungguh dia bukanlah imam atas kami. Maka, datanglah kemari! Semoga Allah menghimpun kami di atas kebenaran dengan kedatangan Anda. Adapun Nukman bin Basyir yang memegang kursi pemerintahan telah kami tumpas. Kami akan bertemu bersama dia di hari Jumat, bukan di hari raya. Apabila persetujuan Anda telah sampai kepada kami, maka kami akan mengusirnya sehingga kami memastikannya sampai di Syam, insyaallah. Dan keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan Allah semoga dilimpahan atas diri Anda.”
Kemudian, mereka mengutus Abdullah bin Saba al-Hamdani dan Abdullah bin Wail untuk mengirimkan surat tersebut kepada Imam Husain, hingga diterima pada sepuluh hari pertama bulan Ramadan. Tidak hanya itu, dua hari kemudian, Qais bin Mushir al-Saidawi, Abdurrahman bin Abdullah bin al-Kadn al-Arhabi, dan Umarah bin Ubaid al-Saluli juga mengirimkan surat dengan disertai 150 lembar[19] surat lainnya dari orang-orang Kufah. Setelah itu, surat ketiga kembali dikirimkan oleh Syabt bin Rab`i, Hajar bin Abar, Yazid bin Haris, Yazid bin Ruwaim, Urwah bin Qais, Amr bin Hajjaj al-Zabidi, dan Muhammad bin Umair al-Tamimi. Imam Tabari bahkan mencatat, sebelum Syabt bin Rab`i dan kawan-kawan mengirim surat tersebut, Hani bin Hani al-Sabii dan Said bin Abdullah al-Hanafi juga telah mengirimkan surat sebelumnya.
Kemudian, setelah surat-surat tersebut diterima oleh Imam Husain, beliau menuliskan balasannya, “Amabakdu, aku telah memahami semua yang kalian tulis dalam surat. Aku juga telah mengutus saudara sekaligus sepupuku kepada kalian. Dia adalah orang kepercayaanku di antara ahlulbaitku, Muslim bin Aqil. Aku memintanya untuk senantiasa berkabar kepadaku dan menceritakan keadaan dan kondisi kalian yang sebenarnya, serta pendapat kalian terhadapku. Apabila ia memberi keterangan yang meyakinkan kepadaku dan memeperkuat apa yang kalian sampaikan kepadaku melalui surat-surat, maka aku akan datang kepada kalian dalam waktu dekat, insyaallah. Sungguh hidupku bukan sebagai seorang imam, melainkan hanya pelayan dalam tulisan, penegak dalam keadilan, dan pemberi pinjaman dalam kebenaran. Wasalam.”
Setelah itu, Imam Husain mengirim Sayidina Muslim bin Aqil untuk berangkat dari Mekah ke Kufah. Dalam perjalanannya, Sayidina Muslim bin Aqil menyempatkan diri mengunjungi Madinah untuk salat di Masjid Nabawi dan berpamitan kepada penduduk Madinah. Di sana, dia juga mendapatkan dua orang pemandu yang sengaja berangkat dari Kufah. Saat keberangkatan dari Madinah ke Kufah, mereka melewati padang pasir. Terik matahari membuat haus melanda kerongkongan mereka, sementara persediaan air mulai menipis. Akhirnya, satu di antara dua pemandu tersebut meninggal dunia.[20]
Sayidina Muslim sempat mengirimkan surat kepada Imam Husain, apakah perjalanan tersebut harus dilanjutkan atau tidak. Mengingat, perjalanan masih panjang sementara hambatan sudah malang melintang. Namun, Imam Husain tetap memerintahkan Sayidina Muslim untuk melanjutkan perjalanannya. Akhirnya, Sayidina Muslim menurut dan melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di Kufah, beliau disambut hangat oleh penduduknya dan ditempatkan di rumah Mukhtar al-Saqafi. Mereka berbaiat kepada Imam Husain melalui Sayidina Muslim. Disebutkan bahwa jumlah orang yang berbaiat mencapai 12 ribu orang. Sontak kabar tersebut terdengar oleh Nukman bin Basyir yang langsung mengumpulkan massa dan naik ke atas mimbar.
“Amabakdu, janganlah kalian tergesa-gesa dalam memicu fitnah dan perpecahan! Sungguh keduanya akan membinasakan para pemuda, menumpahkan banyak darah, dan merampas harta benda.” Sahutnya di atas mimbar. Ucapannya itu tentu menunjukkan bahwa ia seorang yang rendah hati, zuhud, dan mencintai perdamaian. Namun, walau bagaimana pun ia telah terikat baiat terhadap Yazid yang karenanya tidak boleh dilanggar. Ia juga menyeru kepada penduduk Kufah yang telah berbaiat kepada Yazid untuk tidak berbelok dan malah membaiat Imam Husain. Namun, imannya masih teguh sehingga tidak mau berbuat maksiat kepada Allah dengan menyulut api di antara penduduk Kufah.
Setelah mendengar pidato Nukman, salah seorang sekutu Bani Umayah berdiri. Dia adalah Abdullah bin Muslim bin Said al-Hadrami. Ia menilai bahwa pidato Nukman hanya retorika. Ia juga menganggap bahwa Nukman tak lebih daripada pemimpin yang lebih zalim dari yang zalim, karena nyatanya ia tidak mampu membendung baiat penduduk Kufah kepada Imam Husain, namun berbicara seolah-olah setia kepada Yazid bin Muawiyah.
Atas dasar hal itu, Abdullah bin Muslim mengirim surat kepada Yazid yang mengabarkan kehadiran Sayidina Muslim bin Aqil di Kufah, serta baiat penduduk Kufah kepadanya. Ia juga meminta Yazid untuk mengirim orang yang kuat dan bisa menumpas musuh-musuhnya, karena ia beranggapan bahwa Nukman bin Basyir adalah orang yang lemah. Tak ketinggalan, Umarah bin Walid bin Utbah dan Umar bin Saad bin Abi Waqas juga mengirim surat senada kepada Yazid bin Muawiyah.
Setelah menerima surat-surat tersebut, Yazid bin Muawiyah murka. Ia kemudian mencopot jabatan Nukman bin Basyir sebagai gubernur Kufah dan menggantinya dengan Ubaidillah bin Ziyad, yang juga menjabat di Basrah. Yazid meyakini bahwa tidak ada yang lebih pantas untuk mengendalikan penduduk Kufah selain daripada Ubaidillah bin Ziyad. Yazid memberikan wewenang kepada Ibnu Ziyad untuk memerintah dua kota besar tersebut. Adapun hakim Kufah pada saat itu adalah Syarih bin Haris, sementara hakim Basrah adalah Hisyam bin Hubairah.
Yazid mengutus Muslim bin Amr al-Bahili untuk menyampaikan suratnya kepada Ibnu Ziyad agar memburu Sayidina Muslim bin Aqil dan membunuhnya apabila bertemu[21]. Dia menuliskan di dalam suratnya, “Amabakdu, syiah-ku (pengikut setia)[22] dari kalangan penduduk Kufah telah menulis surat kepadaku bahwa Ibnu Aqil berada di sana dan mengumpulkan baiat separuh umat Islam yang memberontak. Ketika kauterima suratku ini, pergi dan datangi penduduk Kufah, kemudian buru Ibnu Aqil seperti memburu hewan buruan hingga dapat. Setelah itu, belenggu dia, bunuh, atau sangkal dia. Wasalam.”
***
4. PENGKHIANATAN
Di saat yang bersamaan, Imam Husain juga ternyata mengirim surat kepada lima kepala suku di Basrah dan pembesarnya, yaitu Malik bin Mismak al-Bakri, Ahnaf bin Qais, Munzir bin Jarud, Masud bin Amr, Qais bin Haisam, dan Umar bin Ubaidillah bin Makmar. Surat tersebut semuanya sama dan berisi ajakan untuk bergabung di barisan Imam Husain. Setelah membaca surat, semuanya merahasiakan hal tersebut kecuali Munzir bin Jarud. Ia ketakutan. Akhirnya, dengan bukti surat tersebut, ia mengutus seseorang untuk datang kepada Ubaidillah bin Ziyad dan membacakan isi surat tersebut. Betapa murka Ibnu Ziyad, sehingga ia naik ke atas mimbar dan berpidato dengan menggebu-gebu. Ia juga menyerahkan kepemimpinan Basrah kepada saudaranya, Usman bin Ziyad.
Setelah itu, Ibnu Ziyad dan rombongan berangkat dari Basrah menuju Kufah bersama Muslim bin Amr, Syarik bin Akwar al-Harisi, para pelayan, dan keluarganya. Ketika Ibnu Ziad sampai di Kufah pada malam hari, ia menutup wajahnya mengunakan serban hitam yang dikenakannya. Karena orang-orang Kufah sedang menanti kedatangan Imam Husain, mereka mengira bahwa Ibnu Ziyad adalah Imam Husain. Maka, tidak selangkah pun Ibnu Ziad memasuki Kufah, kecuali orang-orang berbondong-bondong menyambut dan memberinya salam.
Melihat betapa Imam Husain begitu dimuliakan, Muslim bin Amr berteriak dan mengatakan bahwa orang tersebut adalah Ubaidillah bin Ziyad, gubernur baru Kufah. Mengetahui bahwa dia bukan Imam Husain, penduduk Kufah pun berduka cita dan bersedih hati dengan kesedihan yang sangat dalam.
Kedatangan Ibnu Ziyad ke Kufah menjadi kabar buruk bagi Sayidina Muslim bin Aqil. Apalagi, kedatangan Ibnu Ziyad diiringi oleh berbagai intimidasi kepada para penduduk Kufah. Maka, Sayidina Muslim keluar dari rumah Mukhtar menuju rumah Hani bin Urwah al-Muradi. Ketika rumahnya didatangi oleh Sayidina Muslim, Hani merasa kurang senang. Melihat gelagat Hani, Sayidina Muslim menenangkan, “Aku mendatangimu agar engkau bisa melindungi dan mendampingiku.” Mendengar hal itu, akhirnya Hani mengizinkan Sayidina Muslim masuk ke dalam rumahnya dan tinggal di dalamnya.
Ternyata, sikap Sayidina Muslim yang tinggal di rumah Hani mendapat penolakan dari sejumlah pendukung Imam Husain. Hal itu dimanfaatkan oleh Ibnu Ziad dengan memanggil mata-matanya yang bernama Makqil. “Ambillah tiga ribu dirham ini, kemudian buru Muslim bin Aqil. Temukkan juga para pengikutnya untukku dan berikan tiga ribu dirham ini kepada mereka!” titah Ibnu Ziyad kepada mata-matanya.
Mata-mata tersebut pun pergi dan melakukan apa yang diperintahkan majikannya. ia mencari sasarannya di masjid. Saat itu, Muslim bin Ausajah al-Asadi dari klan Saad bin Saklabah sedang berada di masjid dan tengah menunaikan salat. Terdengar olehnya orang-orang berkata, “Sungguh dia telah berbaiat kepada Husain!”
Setelah selesai salat, mata-mata tersebut berkata kepada Muslim, “Hai, Hamba Allah. Sungguh aku adalah orang Syam. Allah telah memberikan nikmat kepadaku dengan cinta dari penduduk kota ini. Ini tiga ribu dirham, dengannya aku ingin bertemu dengan seseorang. Aku dengar bahwa dia telah datang ke Kufah dengan mengambil baiat untuk anak dari putri Rasulullah. Aku juga mendengar orang-orang berkata bahwa engkau tahu terkait rumah yang ditinggalinya. Aku datang kepadamu agar engkau mendapatkan uang ini dan mengajakku untuk menemui kawanmu, kemudian aku akan berbaiat kepadanya. Bila engkau berkenan, kaubisa mengambil baiatku sebelum bertemu dengannya.” Mendengar penjelasan tersebut, Muslim sangat senang dan menerima baiat dari Makqal. Dia juga menunjukkan bahwa Sayidina Muslim bin Aqil berada di rumah Hani bin Urwah.
Mendengar kabar gembira tersebut, Makqil segera melapor kepada Ibnu Ziyad. Ibnu Ziyad dengan ditemani oleh Ibnu Asyas pergi menuju rumah Hani. Namun, di sana mereka hanya menemukan Hani yang sedang meringkuk sakit. Ternyata, Sayidina Muslim telah tahu siasat Ibnu Ziyad hingga menyusun strategi untuk melawannya.
Namun, betapa pun awalnya penduduk Kufah berada di barisan Sayidina Muslim, ketika melihat pasukan Ibnu Ziyad yang begitu banyak, belum lagi kabar ancaman bahwa akan ada tambahan pasukan dari Basrah, nyali orang-orang Kufah menjadi menciut. Padahal sebelumnya, penduduk Kufah telah telah berbondong-bondong membaiat Imam Husain. Tercatat ketika Sayidina Muslim berada di rumah Hani bin Urwah, jumlah penduduk yang telah berbaiat mencapai 18 ribu orang. Bahkan, Sayidina Muslim sempat mengirimkan surat untuk Imam Husain yang berisi kabar gembira, sehingga Imam Husain bisa pergi ke Kufah.
“Amabakdu, maka sungguh orang yang mengirim surat kepada Anda tidak berdusta soal penduduk Kufah. Penduduk Kufah telah memberikan baiat kepada saya, hingga jumlahnya mencapai 18 ribu orang. Untuk itu, segeralah datang ketika Anda menerima suratku. Sungguh semua orang di sini berada di barisan Anda, bukan di barisan keluarga Muawiyah, baik soal pandangan mereka mau pun kecintaannya.” Demikian isi surat yang dikirimkan oleh Sayidina Muslim kepada Imam Husain. Surat tersebut disampaikan oleh Abis bin Abu Syabib al-Syakiri, tujuh belas hari sebelum Sayidina Muslim dieksekusi.
Namun, ancaman Ibnu Ziyad rupanya melemahkan iman mereka. Penduduk Kufah berkhianat dan tidak mampu menolong Sayidina Muslim, tatkala Muhammad bin Asyas menyeret Sayidina Muslim ke istana Ibnu Ziyad. Melihat sikap penduduk Kufah, tahulah dia bagaimana karakter mereka. Seandainya ia memiliki waktu yang cukup, tentu akan kembali atau sekadar mengabarkan kepada Imam Husain untuk tidak pergi ke Kufah. Hal itu karena apa yang dialaminya, boleh jadi juga akan menimpa Imam Husain. Namun, Sayidina Muslim sama sekali tidak diberikan kesempatan. Hani bin Urwah juga telah ditangkap dan dipenjara, sementara dirinya dihadapkan kepada Ibnu Ziyad untuk disidang.
Saat dihadapkan kepada Ibnu Ziyad, Sayidina Muslim tidak memberikan salam. Sikapnya itu membuat geram para pejabat istana. “Bila dia hendak membunuhku, maka tak ada salam dariku untuknya. Bila dia tidak akan membunuhku, maka sungguh umurku masih panjang hingga bisa memberinya salam.” Demikian jawaban tegas dari Sayidina Muslim.
Jawaban itu semakin membuat Ibnu Ziyad murka. Ia meminta prajuritnya untuk mengumpulkan masyarakat Kufah dan menyaksikan eksekusi terhadap Sayidina Muslim. Algojo yang ditugaskan sudah hadir. Dia bernama Bukair bin Humran al-Ahmari. Tidak ada satu pun penduduk Kufah yang berani melawan.
Dikisahkan bahwa ketika al-Ahmari mengangkat pedang, Sayidina Muslim membaca takbir, tasbih, dan istigfar. Ketika pedang tersebut semakin dekat, Sayidina Muslim berkata, “Ya Allah, tetapkanlah hukum antara kami dan kaum yang mendustakan kami, menipu kami, menelantarkan kami, dan membunuh kami!” mendengar rintih doa Sayidina Muslim, sang algojo bertanya, “Dekatkan dirimu dariku! Segala puji bagi Allah yang telah memilihku untuk membunuhmu.” Kemudian, sang algojo memenggal lehernya tanpa menyisakan apa pun. Namun, ternyata Sayidina Muslim belum meninggal, maka algojo kembali memenggal untuk kedua kali sehingga Sayidina Muslim wafat. Innā lillāh wa innā ilaihi rāji`ūn.
Tidak sampai di sana, orang-orang yang dianggap bersekongkol dengan Sayidina Muslim pun turut dibantai, termasuk Hani bin Urwah. Ia diarak ke pasar menuju tempat penyembelihan sementara kaki dan tangannya dibelenggu sebagaimana Sayidina Muslim. Disebutkan bahwa algojo yang membunuh Hani adalah pria berkebangsaan Turki yang disebut Rasyid. Awalnya, pedang yang diayunkan ke leher Hani tidak mampu menebasnya. Lalu, Hani berkata, “Kepada Allah lah tempat kembali. Ya Allah, aku mengharap rahmat dan rida-Mu.” Kemudian algojo kembali mengayunkan pedangnya hingga akhirnya Hani terbunuh.
Setelah peristiwa memilukan itu, sejumlah penyair menuangkan kepiluan dalam bait syair-syairnya. Salah satunya adalah al-Farazdaq (w. 114 H) sebagaimana dikutip oleh Imam Tabari dalam kitab tarikhnya.[23] Atau penyair lain yang tidak dikenal, sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Kasir dalam kitab tarikhnya.[24] Dikisahkan pula bahwa tubuh syuhada disalib selama beberapa hari dan kepala mereka dikirim kepada Yazid bin Muawiyah. Bersamaan dengan kepala syuhada, dilampirkan pula surat yang dibawa oleh Hani bin Abi Hayyah al-Wadii dan Zubair bin Arwah al-Tamimi.
Isi surat yang dikirimkan oleh Ibnu Ziyad adalah kronoliogis bagaimana ia bisa menangkap dan membunuh Sayidina Muslim beserta pengikut setianya. Mendapat kabar menggembirakan itu, sontak Yazid mengirimkan surat yang berisi pujian dan sanjungan kepada Ibnu Ziyad. Ia juga memerintahkan agar bersiap-siap menghadapi pasukan Imam Husain. Dalam surat tersebut juga disebutkan, bahwa Yazid memerintahkan agar Ibnu Ziyad untuk senantiasa mengirimkan kabar kepadanya.
***
5. KEBERANGKATAN IMAM HUSAIN
Peristiwa yang dialami oleh Sayidina Muslim bin Aqil belum sampai kepada Imam Husain di Mekah. Maka, Imam Husain mengira bahwa Sayidina Muslim baik-baik saja, berdasarkan informasi yang diterimanya terakhir kali. Oleh sebab itu, Imam Husain berencana untuk berangkat menuju Kufah dan menyusul Sayidina Muslim bin Aqil.
Ketika sedang mempersiapkan perjalanannya, Sayidina Abu Bakar bin Abdurrahman al-Makhzumi mendatangi Imam Husain untuk memberikan nasihat. Dalam nasihatnya, Sayidina Abu Bakar al-Makhzumi memberikan saran agar Imam Husain mengurungkan niatnya. Hal itu tak lebih karena orang-orang Kufah dinilainya sebagai hamba dinar dan dirham, sehingga beliau khawatir bahwa Imam Husain akan dikhianati dan dibunuhnya demi mendapatkan harta dan kekuasaan. Namun, nasihat Sayidina Abu Bakar al-Makhzumi ditolak dengan lembut oleh Imam Husain. Apa mau dikata, Sayidina Abu Bakar al-Makhzumi tidak dapat mengubah keputusan Imam Husain yang telah bulat.
Sehari sebelum keberangkatan ke Kufah, ketika Imam Husain mempersiapkan kebutuhan perjalanannya, Sayidina Ibnu Abbas mendatanginya dan berkata, “Katakan kepadaku! Apakah engkau akan mendatangi suatu kaum yang telah membunuh gubernurnya, menawan negerinya, dan mengingkari musuhnya? Bila mereka juga melakukan hal demikian kepadamu, apakah engkau akan tetap pergi? Tentu mereka mengundangmu ke sana, sementara mereka memiliki gubernur yang kuat. Kemudian mengumpulkan para pekerja di negeri itu dan mengundangmu ke sana untuk berperang dan bertempur. Aku tidak tenang atas dirimu. Mereka akan memperdaya, menipu, menentang, dan menelantarkanmu. Mereka juga akan mengerahkan pasukan mereka untuk menghangmu, hingga berbuat beringas terhadapmu.”
Mendengar kekhawatiran Sayidina Ibnu Zubair, Imam Hasan hanya berkata, “Aku berserah diri kepada Allah dan menanti apa yang akan terjadi.” Sayidina Ibnu Abbas pun pergi dengan tangan kosong. Tidak lama, Sayidina Ibnu Zubair mendatangi Imam Husain.
“Aku tidak tahu, apa yang membuatmu meninggalkan kami dan menerima tawaran mereka? Padahal, kami adalah anak-anak muhajirin dan orang-orang yang setia terhadap perkara ini dibanding mereka. Katakanakepadaku, apa yang akan engkau perbuat?!” Sayidina Ibnu Zubair bertanya. “Demi Allah, aku telah berkata pada diri sendiri untuk pergi ke Kufah. Para pendukungku pun telah menulis surat kepadaku, demikian para pembesar dan keluarga mereka. Dan aku akan berserah diri kepada Allah.” Jawab Imam Husain.
Kemudian perbincangan mereka berlanjut. Sayidina Ibnu Zubair mencoba membujuk Imam Husain dengan beberapa kemungkinan dan tawaran. Hal itu dilakukan agar Imam Husain mengurungkan niatnya untuk keluar dari Hijaz menuju Irak. Namun, sikap teguh Imam Husain tidak dapat diganggu gugat hingga Sayidina Ibnu Zubair pun pulang dengan tangan kosong.
Keesokan harinya, ketika Imam Husain siap untuk berangkat, Sayidina Ibnu Abbas kembali membujuk Imam Husain untuk mengurungkan niatnya. Berbagai pertimbangan diutarakan, namun Imam Husain tetap teguh pendirian. Bahkan, Sayidina Ibnu Abbas sampai mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku khawatir bahwa engkau akan dibunuh seperti dibunuhnya Usman, sementara anak dan istrinya melihat kejadian tersebut.” Sayidina Ibnu Abbas juga mengungkapkan bahwa keputusannya itu telah membuat senang Sayidina Ibnu Zubair.
Mau bagaimana pun, keputusan Imam Husain sudah bulat. Hingga Sayidina Ibnu Abbas tidak dapat mencegahnya, ia pun menangis tersedu. Ketika bertemu dengan Sayidina Ibnu Zubair, ia berkata, “Telah terwujud apa yang kamu senangi, Ibnu Zubair.” Kemudian melanjutkan dengan dua bait syair duka[25]. Setelah bersyair, Sayidina Ibnu Abbas berkata, “Dialah Husain yang telah pergi menuju Irak dan meninggalkanmu dan Hijaz.”
Mengapa Sayidina Ibnu Abbas mengatakan bahwa Sayidina Zubair senang bila Imam Husain pergi ke Kufah? Hal itu karena, sekali pun Sayidina Zubair membujuk Imam Husain untuk mengurungkan niatnya ke Kufah, beliau sepakat bahwa hak baiat kekhalifahan berada di tangan Imam Husain. Sayidina Ibnu Zubair tahu bahwa dia tidak akan mampu mencegah Imam Husain yang memiliki tekad sangat kuat. Alhasil, dia memberikan dukungan penuh keberangkatan tersebut dengan harapan bahwa penduduk Kufah berlaku baik kepada Imam Husain.[26]
Imam Husain berangkat dari Mekah menuju Kufah pada tanggal 8 Hijriah. Ketika sampai di perbatasan kota Mekah, rombongan Imam Husain dihadang oleh utusan Amr bin Said, di antaranya Yahya bin Said. Mereka bekata, “Putar arah! Hendak ke mana kalian?” Namun, rombongan mengabaikannya dan terus berjalan melewati perbatasan. Imam Husain juga menguti ayat Al-Qur’an surah Yunus ayat 41 yang menyebutkan bahwa, “Bagiku amalanku dan bagimu amalanmu…,” hingga seterusnya.
Kabar tersebut sampai hingga ke Madinah, sehingga membuat Sayidina Abdullah bin Jakfar bin Abi Talib mengirimkan surat serta mengutus kedua anaknya kepada Imam Husain. Surat tersebut berbunyi, “Amabakdu, dengan nama Allah aku memohon kepada Anda agar berbalik arah ketika menerima suratku. Sungguh aku khawatir bila niat Anda akan membinasakan diri sendiri dan keluarga. Bila hal itu terjadi, padamlah cahaya di permukaan bumi. Sesungguhnya Anda adalah simbol bagi orang-orang yang diberi petunjuk dan harapan bagi orang-orang beriman. Janganlah tergesa-gesa untuk melakukan perjalanan, aku akan menyusul suratku. Wasalam.”
Bahkan, dalam usaha mencegah keberangkatan Imam Husain, Sayidina Ibnu Jakfar menghadap Amr bin Said dan berbicara kepadanya. Beliau meminta Amr untuk menulis surat yang isinya menjamin keselamatan Imam Husain dan mencegah keberangkatannya untuk menghunus pedang. Amr pun menyetujuinya. Namun, pada akhirnya permintaan dari Amr bin Said pun tidak diacuhkan oleh Imam Husain. Beliau tetap teguh untuk berangkat ke Kufah dan melanjutkan perjalanan.
Sayidina Ibnu Umar yang kala itu berada di Mekah baru mengetahui bahwa Imam Husain melakukan perjalanan menuju Irak. Tanpa berpikir panjang, beliau langsung menyusulnya dan menempuh perjalanan selama tiga malam. “Engkau akan ke mana?” tanya Sayidina Ibnu Umar, ketika berjumpa dengan Imam Husain. “Irak,” jawabnya. “Ini adalah surat-surat dan baiat dari mereka,” lanjut Imam Husain sambil memperlihatkan gulungan perkamen dan surat.
“Jangan datangi mereka!” pinta Sayidina Ibnu Umar, namun diabaikan oleh Imam Husain. “Aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadis. Sungguh Jibril telah datang kepada Nabi saw. dan memintanya untuk memilih antara dunia dan akhirat, kemudian beliau memilih akhirat dan tidak mengacuhkan dunia. Adapun engkau adalah titisan Rasulullah. Demi Allah, tidak akan ada satu pun di antara kalian yang mendapatkan dunia, selamanya. Allah tidak memalingkan dunia dari kalian kecuali menurut-Nya itu lebih baik untuk kalian.” Demikianlah saran Sayidina Ibnu Umar. Namun, Imam Husain tetap tidak mengacuhkannya.
Tak bisa mencegah kepergian Imam Husain, Sayidina Ibnu Umar merangkulnya dan menangis. “Aku memasrahkan dirimu kepada Allah dari pembunuhan. Husain telah mengalahkan kita dengan kepergiannya. Berdasarkan pengalamanku, telah terdapat pelajaran dari peristiwa yang menimpa ayah dan saudaranya.” Rintihnya tersedu. Setelah itu, Imam Husain melanjutkan perjalanan menuju Kufah.
***
6. KETIKA MUSUH MENGADANG
Ketika kabar perjalanan Imam Husain menuju Kufah terdengar oleh Ibnu Ziyad, ia mengutus kepala pasukannya yang bernama Husain bin Numair al-Tamimi[27]. Ibnu Numair membuat perkemahan di daerah Qadisiyah[28]. Kemudian ia mengatur strategi dan barikade di antara Qadisiyah dan Khaffan[29], Qadisiyah dan Qutqutanah[30], serta Qadisiyah dan Laklak[31]. Saat itu, Imam Husain sedang dalam perjalanan menuju Irak dan telah sampai di daerah yang disebut Hajir[32] di tepi sungai Rummah[33]. Di sana, Imam Husain mengirimkan surat kepada penduduk Kufah dan mengutus Qais bin Musahir al-Saidawi. Surat tersebut sebagai balasan surat dari Sayidina Muslim yang dikirmkan tujuh belas hari sebelum eksekusinya.
Ketika Qais melakukan perjalanan ke Kufah, ia dicegat oleh pasukan Ibnu Numair di Qadisiyah. Surat Imam Husain diambilnya. Setelah dibaca, Qais dipersilakan untuk menghadap Ibnu Ziyad. Menerima surat dari Qais, Ibnu Ziad murka dan berkata kepadanya, “Naiklah ke atas benteng, lalu kutuk si pendusta anak dari pendusta!” perintah Ibnu Ziyad. Maksud pendusta anak dari pendusta menurut Ibnu Ziyad adalah Imam Husain bin Imam Ali (semoga Allah memuliakan wajah keduanya serta menghinakan Ibnu Ziyad sehina-hinanya).
Kemudian, Qais bangkit dan mulai berorasi, “Hai, Penduduk Kufah! Sungguh Husain bin Ali ini adalah sebaik-baiknya makhluk Allah. Dia adalah putra Fatimah putri Rasulullah. Aku adalah utusannya kepada kalian dan telah meninggalkannya di Hajir. Penuhilah panggilan dia, berilah dia pertolongan!” Setelah itu, Qais melaknat Ibnu Ziyad dan ayahnya, serta memintakan ampun untuk Imam Ali bin Abi Talib dan Imam Husain[34]. Tak menunggu lama, Ibnu Ziyad menyuruh orang-orang untuk menjatuhkannya dari atas benteng. Dijatuhkannya Qais dari benteng dan dipenggallah ia hingga meninggal dunia.
Imam Husain yang sama sekali tidak mengetahui hal itu, melanjutkan perjalanan menuju Kufah hingga sampai di sebuah mata air bangsa Arab. Di sana, ia bertemu dengan Sayidina Ibnu Muti. Melihat kedatangan Imam Husain, Sayidina Ibnu Muti berdiri dan menyambut. “Demi ayah dan ibuku, Putra Rasulullah. Apa yang Anda lakukan?” tanyanya sambil membopong dan menurunkan Imam Husain dari kuda.
Imam Husain pun menjelaskan maksudnya, bahwa beliau dan rombongan hendak pergi ke Kufah. Mendengar hal itu, Sayidina Ibnu Muti menasihati agar Imam Husain mengurungkan niatnya. Namun, bukan Imam Husain namanya kalau menurut begitu saja. Setelah kebutuhan air dianggap sudah cukup, Imam Husain pun melanjutkan perjalanan.
Di tengah perjalanan pun, ketika sampai di daerah yang bernama Saklabiah[35] pada sore hari, Imam Husain bertemu dengan dua orang dari klan al-Asadi yang selesai menunaikan haji. Rupanya, kedua orang tersebut memang berharap bisa bertemu dengan Imam Husain agar bisa mencegahnya pergi ke Kufah. Hal itu karena, mereka berdua telah mengetahui tragedi yang menimpa Sayidina Muslim dan para pengikutnya.
“Semoga Allah memberikan rahmat kepada Anda.” Kata mereka. “Sungguh kami mempunyai sebuah kabar. Bila Anda berkenan, kami akan mengabarkannya secara terbuka dan terang-teranan, atau justru Anda berkenan agar kami mengabarkannya secara diam-diam?” setelah mendapat pertanyaan seperti itu, Imam Husain paham bahwa kabar yang dibawa oleh kedua orang tersebut sangat penting. Ia melihat kepada rombongan sejenak, kemudian Imam Husain menghendaki agar kabar tersebut disampaikan dengan suara pelan.
“Apakah Anda ada seorang pengembara yang berpapasan dengan Anda kemarin malam?” mereka bertanya yang langsung dibenarkan oleh Imam Husain. “Kami akan membocorkan kepada Anda apa yang dikatakannya, juga mencukupkan kepada Anda terkait permasalahan ini. Dia adalah salah satu orang dari klan kami, yaitu al-Asadi. Memiliki pendapat yang tajam dan jujur. Pemikirannya juga bagus. Dia mengatakan kepada kami bahwa dia tidak keluar dari Kufah sebelum Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah dibunuh. Keduanya diarak ke pasar dengan kaki dibelenggu.”[36] Mendengar hal itu, Imam Husain terkejut dan mengulang pembacaan istirja berulang kali. “Semoga Allah memberikan rahmat kepada keduanya,” sambung Imam Husain.
“Sungguh tidak ada pendukung dan pengikut Anda di Kufah. Karenanya, kami khawatir terhadap Anda bila tetap melanjutkan perjalanan.” Ungkap kedua pemuda al-Asadi. Saat itu, anak cucu Sayidina Aqil yang tampaknya mendengar obrolan tersebut datang sambil berkata, “Tidak, demi Allah! Kami tidak akan kembali sebelum melakukan balas dendam, atau merasakan apa yang telah menimpa saudara kami.”
Mendengar ucapan dari keluarganya, Imam Husain memandang kedua pemuda al-Asadi sambil berkata, “Hidup tidak lagi indah setelah kejadian itu.” Setelah itu, kedua pemuda al-Asadi tak lagi sanggup menahan Imam Husain untuk melanjutkan perjalanan.
Ketika sampai di sebuah tempat bernama Zubalah[37], Imam Husain melihat jasad Abdullah bin Buqtur tersungkur. Dia adalah saudara sesusuan Imam Husain yang diperbolehkan untuk menyusul Sayidina Muslim. Jasadnya tersungkur tanda dibunuh. Melihat hal itu, Imam Husain berkata kepada keluarganya, “Pengikutku telah menelantarkanku. Barang siapa yang ingin berbalik ke Mekah, maka pergilah! Sebab, kami tidak memikul tanggung jawab atas apa yang mungkin akan menimpa kalian.”
Atas dasar hal itu, sejumlah orang pergi dan meninggalkan rombongan, hingga yang tersisa adalah orang-orang yang turut serta bersama Imam Husain sejak dari Mekah[38]. Imam Husain tahu, bahwa orang-orang yang meninggalkan rombongan adalah orang Arab yang ditemuinya selama perjalanan. Mereka mengira bahwa kedatangan Imam Husain ke Kufah akan disambut oleh penduduk yang taat. Namun, mengetahui risiko yang akan dihadapi, mereka berpikir lebih baik mundur.
Imam Husain dan rombongan melanjutkan perjalanan hingga berhenti di daerah bernama Syaraf[39]. Ketika pagi hari menjelang, Imam Husain menyuruh dua orang pemuda untuk mencari air, yang disusul oleh sejumlah orang yang lebih banyak. Kemudian, mereka berjalan untuk mencari air hingga tengah hari dan panas matahari semakin terik. Di tengah pencariannya itu, seorang pemuda bertakbir dengan lantang. Hal itu sontak membuat rombongan kaget.
“Allahu akbar! Apa yang membuatmu bertakbir?” Imam Husain bertanya.
Pemuda tersebut kemudian mengatakan bahwa dia melihat pepohonan kurma. Padahal, berdasarkan informasi dari kedua pemuda al-Asadi (yang juga ikut dengan rombongan), mereka tidak pernah melihat pepohonan kurma sama sekali di daerah tersebut. “Latas, apa yang engkau lihat itu?” Tanya Imam Husain, meminta pendapat kepada dua pemuda al-Asadi.
“Kami melihat bahwa itu sekawanan prajurit yang membentuk barikade,” jawab mereka. Setelah memperhatikannya dengan lebih teliti, Imam Husain pun membenarkan pendapat kedua pemuda al-Asadi tersebut. Imam Husain segera memberikan komando agar rombongannya mempercepat minum dan mempersiapkan alat perang. Ternyata, pasukan yang mendatangi mereka dipimpin oleh al-Hurr bin Yazid al-Tamimi. Mereka dikirim oleh Ibnu Numair dari Qadisiyah dengan membawa seribu pasukan berkuda.
Karena waktu Zuhur sudah hampir habis, Imam Husain tidak langsung menyambut pasukan al-Hurr. Ia justru memerintahkan kepada Hajjaj bin Masruq al-Jukfi untuk melantunkan azan. Ketika iqamah dikumandangkan, Imam Husain berkhotbah di hadapan rombongannya, sementara rombongan al-Huss mendekat. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak akan datang ke Kufah bila tidak diminta oleh penduduknya, lewat-surat-surat yang dikirimkan. Selesai berkhotbah, semua orang diam hingga akhirnya berdiri untuk bersiap melaksanakan salat.
“Apakah Anda akan salat bersama pasukan Anda?” tanya Imam Husain kepada al-Hurr dengan lembut. Namun, al-Hurr menjawab, “Tidak. Justru salatlah Anda di depan, kemudian kami akan mengikuti di belakang Anda.” Hal itu kemudian dilanjutkan dengan salat Asar. Selesai salat Asar, Imam Husain kembali berkhotbah dan menyinggung surat-surat yang dikirimkan oleh penduduk Kufah kepadanya.
Selesai berkhotbah, al-Hurr berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu terkait surat-surat yang Anda sebut tadi.” Mendengar hal itu, Imam Husain memerintahkan Uqbah bin Siman untuk mengeluarkan surat-surat yang dikirimkan oleh utusan penduduk Kufah. Setelah memperhatikan surat-surat tersebut, al-Hurr berkata, “Aku tidak termasuk ke dalam orang-orang yang menulis surat tersebut. Aku hanya diperintahkan agar jangan berpisah dengan Anda ketika bertemu, hingga Anda digiring ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad.”
Sontak Imam Husain murka mendengar jawaban al-Hur. Ia segera memerintahkan rombongannya untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan. Sebisa mungkin al-Hurr membujuk agar Imam Husain mendengarkan penjelasannya, namun tidak bisa. “Semoga ibumu membunuhmu. Apa yang kau mau?” tanya Imam Husain kepada al-Hurr.
“Demi Allah, kalau bukan Anda yang mengatakan begitu, aku akan membalas dengan umpatan serupa. Namun, apa aku akan mengumpat seperti itu, sementara kutahu bahwa ibumu adalah sebaik-baiknya perempuan. Sungguh, aku tidak diperintahkan untuk memerangi Anda. Aku hanya diperintahkan agar mengawal Anda menuju Kufah. Bila Anda tidak mau, silakan ambil jalan lain dan jangan masuk ke Kufah, jangan pula kembali ke Madinah. Ketika jarak Anda dan kami sudah lumayan jauh, aku akan mengirimkan surat kepada Ibnu Ziyad. Bila berkenan, Anda bisa mengirimkan surat kepada Yazid bin Muawiyah atau Ubaidillah bin Ziyad, terkait keinginan Anda. Pergilah dari sini, ambil jalan menuju Uzaib[40] dan Qadisiyah!” jelas al-Hurr. Dari tempat Imam Husain menuju Uzaib berjarak 38 mil, atau setara dengan 61 kilometer[41].
Mendengar jawaban dari al-Hurr, Imam Husain berkhotbah lagi dengan panjang. Ia mengingatkan sabda Rasul tentang mengingatkan penguasa yang zalim, baik dengan lisan mau pun dengan perbuatan. Khotbahnya yang lebih banyak menyinggung kekuasaan Bani Umayah, membuat geram al-Hurr. “Aku akan memperingatkan dirimu, Husain! Sungguh, aku bersaksi bila engkau memerangi kami, maka engkau benar-benar akan terbunuh.” Kata al-Hurr mengancam.
“Apakah kausedang menakut-nakutiku dengan ancaman kematian? Ataukah khotbahku kepada kalian membuat kalian akan membunuhku? Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Namun, aku akan mengatakan seperti apa yang dikatakan Aus kepada pamannya, ketika ia diancam dengan kematian karena membela Rasulullah.” Kemudian, Imam Husain menyenandungkan dua sampai tiga bait syair.[42]
Rombongan Imam Husain melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan kafilah unta di Uzaib. Setelah menanyakan tentang kondisi Kufah dan penduduknya, salah seorang dari kafilah tersebut yang bernama Mujammik bin Abdullah al-Aizi mengabarkan bahwa para pemuka Kufah telah terbuai oleh sogokan. Sejumlah orang yang masih setia kepada Imam Husain pun tidak bisa berbuat apa-apa karena patuh terhadap para pemuka tersebut.
Ketika Imam Husain menanyakan perihal Qais bin Mushir, diceritakan pula apa yang menimpanya hingga tewas. Kabar tersebut membuat Imam Husain menangis, namun tidak lagi mengeluarkan air mata. Imam Husain juga membaca ayat ke-23 dalam surah al-Ahzab yang dilanjutkannya dengan doa.
Rombongan Imam Husain melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah perkemahan Bani Muqatil. Di sana, menanyakan pemimpin klan tersebut. Setelah pemimpin klan yang bernama Ubaidillah bin al-Hurr al-Jukfi datang dan mengetahui bahwa tamunya adalah Imam Husain, ia langsung beristirja. Dalam kesempatan itu, Ubaidillah juga mengabarkan kondisi Kufah dan memberikan saran agar Imam Husain tidak memasuki kota itu.
Setelah mendengar penjelasan dan saran dari Ubaidillah, Imam Husain kembali ke tendanya untuk beristirahat. Namun, di akhir malam ia meminta orang-orang untuk mengambil air, kemudian melanjutkan perjalanan. Baru beberapa saat rombongan meninggalkan perkemahan Bani Muqatil, kepala Imam Husain tiba-tiba berdenyut hebat. Lantas, Imam Husain beristirja dan bertahmid dan mengulangnya dua hingga tiga kali.
Mendengar ayahnya merintih, Sayidina Ali Akbar bin Husain mendatangi ayahnya sambil beristirja dan bertahmid, kemudian berkata, “Ayah, Jadikan aku tebusan untukmu! Dari apa engkau bertahmid dan beristirja?” Imam Husain kemudian menjawab, “Sungguh kepalaku berdenyut sangat hebat, anakku.” Kemudian Imam Husain menumpahkan segala firasatnya tentang kematian.
Mendengar keluhan ayahnya, Sayidina Ali Akbar berkata, “Jangan memandang buruk kepada Allah, Ayah. Bukankah kita berada dalam pihak yang benar?” pertanyaan Sayidina Ali Akbar dibenarkan oleh Imam Husain. “Bila begitu, kita tidak perlu memedulikan hal itu, Ayah. Kematian kita adalah sebuah keniscayaan.” Mendengar jawaban anaknya, Imam Husain bersyukur kepada Allah karena diberikan anak yang baik serta mengingatkannya kepada Allah.
***
7. SAAT-SAAT YANG GENTING
Ketika waktu Subuh tiba, rombongan Imam Husain berhenti untuk melaksanakan salat. Setelahnya, Imam Husain memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju Kufah. Namun, pasukan al-Hurr mendatangi mereka dan memaksanya untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju Kufah. Rombongan Imam Husain menolaknya, walau digiring dengan paksa untuk tetap berada di jalur Kufah. Ketika sampai di tempat yang bernama Ninawa[43], datang seorang utusan yang membawa surat dari Ibnu Ziyad. Ia memberikan salam kepada al-Hurr dan pasukannya, tetapi tidak memberikan salam kepada Imam Husain dan pengikutnya. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut:
“Amabakdu, maka desaklah Husain ketika engkau menerima dan membaca suratku ini. Jangan beri dia waktu untuk beristirahat, kecuali di tempat terbuka, tanpa penghalang dan tanpa air! Aku juga telah memerintahkan utusanku yang membawa surat ini, agar mengawasi dan tidak meninggalkanmu hingga engkau mendatangiku dan menyelesaikan tugas dariku. Wasalam.”
Setelah membaca surat tersebut, al-Hurr menjelaskan kepada Imam Husain terkait posisinya yang sedang diawasi. Ia juga mengenalkan utusan Ibnu Ziyad yang akan menyertai perjalanan tersebut. Rombongan akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Kufah di bawah terik matahari.
Sesekali, mereka meminta istirahat di suatu tempat, namun tidak dikabulkan oleh al-Hurr dengan alasan bahwa dirinya sedang diawasi. Hingga akhirnya, mereka melewati tempat yang bernama Aqr[44] dan berhenti di sebuah tempat yang dekat dengan sungai Efrat. Tempat tersebut bernama Karbala[45], adaa yang mengatakan bahwa namanya adalah al-Tiff. Kata “aqr” sendiri dalam bahasa Arab berarti “pembantaian”, sehingga Imam Husain lantas berdoa agar Allah menjauhkannya dari pembantaian. Sementara kata “karbala” berasal dari dua kata, yaitu “karb” yang berarti duka cita, dan “bala” yang berarti bencana. Mengetahui bahwa tempatnya berdiam memiliki nama yang begitu mencekam, Imam Husain meminta kepada al-Hurr untuk pindah tempat. Namun usul itu ditolak. Saat itu, hari Kamis tanggal 2 Muharam tahun 61 Hijriah. Delapan hari menuju tragedi pembantaian.
Keesokan harinya, Ibnu Ziyad mengirim Umar bin Saad bin Abi Waqas dengan empat ribu prajurit untuk menghadang Imam Husain. Dalam surat perintahnya, Ibnu Ziyad mengatakan bahwa Imam Husain dan rombongannya tidak boleh diberi air hingga mereka berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Karena Karbala berada di dekat sungai Efrat, Umar bin Saad mengutus Amr bin Hajjaj al-Zubaidi dengan membawa 500 pasukan berkuda untuk membuat barikade di antara rombongan Imam Husain dan sungai. Hal itu dilakukan agar tidak ada satu pun rombongan Imam Husain yang bisa mengambil air dari sungai tersebut. Blokade tersebut terjadi tiga hari sebelum Asyura, yakni pada tanggal 7 Muharam tahun 61 Hijriah.
Abdullah bin Abu Husain[46] al-Azdi, salah satu prajurit Amr bin Hajjaj berteriak dengan angkuh, “Ingat, Husain! Engkau tidak akan melihat air, seolah-olah air itu hanya berada di langit. Demi Allah, engkau tidak akan mencicipi setetes air pun, hingga mati kehausan.” Mendengar hal itu, Imam Husain berdoa, “Ya Allah, buatlah dia mati dalam keadaan haus, dan jangan mengampuninya selamanya.” Setelah kembali ke pasukan, Abdullah al-Azdi jatuh sakit, kemudian ia minum. Namun, rasa haus justru melandanya. Ia kembali minum, rasa haus semakin mencekiknya. Ia mengulanginya berulang kali hingga tewas.
Pada malam hari, rombongan Imam Husain didera oleh rasa haus yang mencekam. Tak ada pilihan lain, Imam Husain mengutus saudara tirinya, Sayidina Abbas bin Ali bin Abi Talib untuk mencari air. Dengan didampingi oleh 30 orang yang menaiki kuda, 20 orang yang jalan kaki, serta 20 tambahan kirbat[47]. Mereka berjalan menuju tepi sungai Efrat, dengan dipandu oleh Nafik bin Hilal al-Jamali yang membawa panji. Ketika rombongan kecil tersebut hampir tiba ke tepi sungai, Amr bin Hajjaj memegokinya yang kemudian bertanya, “Siapa itu?”
Mendengar pertanyaan itu, rombongan datang menghadap. Ketika ditanya tentang keperluan rombongan, mereka menjawab, “Kami datang untuk minum dari air sungai ini yang telah diblokade dari kami.” Mendengar hal itu, dengan penuh siasat Amr bin Hajjaj mempersilakan mereka minum.
“Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminumnya walau setetes, sementara Husain kehausan.” Namun, dengan segala bujuk rayu dan siasat, Amr dan Hajjaj akhirnya memperbolehkan untuk mengisi kurbat mereka. Melihat begitu banyak rombongan yang turun ke tepi sungai untuk mengambil air, Amr bin Hajjaj semakin bergairah. Ketika Sayidina Abbas bin Ali dan Nafik bin Hilal menerima sejumlah kurbat berisi air, mereka bersiap kembali ke perkemahan.
Namun, ketika seruan untuk kembali ke perkemahan berderu, Amr bin Hajjaj menikam sejumlah orang yang ada di depannya. Sejumlah orang tumbang, hanya sisa sedikit yang bertahan. Melihat hal itu, Nafik bin Hilal menikam Amr bin Hajjaj hingga tumbang. Setelah itu, rombongan pun kembali dengan kurbat sisa-sisa pertempuran.
Pada malam selanjutnya, 8 Muharam tahun 61 Hijriah, setelah Imam Husain beserta pasukannya bertemu dengan Umar bin Saad yang juga beserta pasukannya. Pertemuan tersebut terjadi setelah Imam Husain mengutus Amr bin Qarazah bin Kaab al-Ansari kepada Umar bin Saad untuk berdiskusi. Ada banyak hal yang didiskusikan dalam pertemuan tersebut, hingga akhirnya menghasilkan tiga usulan yang akan diajukan oleh Ibnu Saad kepada Ibnu Ziyad.
Usulan tersebut disertakan oleh Ibnu Saad dalam suratnya kepada Ibnu Ziyad. Ketiga usulan tersebut adalah, pertama, rombongan Imam Husain diizinkan kembali ke tempat datangnya (yakni Mekah atau Madinah). Kedua, rombongan Imam Husain diizinkan untuk menghadap Yazid bin Muawiyah agar bisa berdiskusi terkait solusi dari konflik tersebut. Ketiga, rombongan Imam Husain dikirim ke medan pertahanan mana pun yang tengah berperang melawan musuh Islam, sehingga dapat dilihat komitmen mereka membela agama.
Namun, ketika usulan itu diajukan kepada Ibnu Ziyad, dengan murka dia mengirimkan surat kepada Ibnu Saad, “Amabakdu, maka sungguh aku tidak mengutusmu kepada Husain untuk membela dia, menjadi perpanjangan tangannya, memberikannya rasa aman dan keselamatan, bukan pula agar dia bisa berbincang santai denganku. Camkan! Bila Husain dan rombongannya patuh dan pasrah akan hukumku, maka bawa mereka ke hadapanku dalam keadaan selamat! Bila mereka menolak, bereskan mereka hingga kau membunuhnya atau yang serupa dengan hal itu. Sungguh mereka pantas mendapat perlakuan seperti itu. Bila Husain telah dibunuh, habisi pula rombongan yang menyertainya karena mereka adalah pengahalang dan pemberontak yang zalim. Bila engkau melaksanakan perintahku, maka akan kuberi engkau penghargaan sebagai prajurit yang militan dan loyal. Namun, bila engkau mengabaikan perintahku, akan kupecat engkau dan menggantimu dengan Syamir. Wasalam.”
Setelah menerima surat tersebut, Ibnu Saad berjalan ke perkemahan Imam Husain, setelah salat Asar, 9 Muharam tahun 61 Hijriah. Ketika sampai di sana, ia menemukan Imam Husain tengah duduk di depan tendanya dengan muka lesu dan penuh pikiran. Saat itu, kepala Imam Husain kembali berdenyut. Belum sempat Ibnu Saad mengampiri, Sayidah Zainab binti Ali (adik kandung Imam Husain) datang tergopoh-gopoh menuju Imam Husain.
“Akang, apakah engkau mendengar gemuruh suara yang kian mendekat?” Sayidah Zainab bertanya dengan napas yang tidak teratur. Mendengar pertanyaan tersebut, Imam Husain mengangkat kepalanya sambil berkata, “Semalam aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw.. Beliau berkata kepadaku, ‘Sungguh engkau akan menyusul kami,’ katanya.” Ungkap Imam Husain.”
Mendengar ungkapan kakaknya, Sayidah Zainab menampar wajahnya, “Oh, betapa malangnya diriku!” raung Sayidah Zainab menumpahkan kekhawatirannya. Melihat hal itu, Imam Husain menenangkan, “Diamlah, Dik! Engkau bukanlah orang yang malang. Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”
Saat itu, Sayidina Abbas bin Ali datang dan mengabarkan bahwa ada suara gemuruh terdengar, terlihat pula segerombolan orang mendatangi perkemahan. Imam Husain segera bangkit. Namun, karena Zainab sedang berada di hadapannya dalam keadaan tidak baik, Imam Husain meminta Sayidina Abbas menemui mereka dan menanyakan keperluannya.
Ternyata, dua puluh penunggang kuda yang dipimpin oleh Zuhair bin Qain dan Habib bin Muzahir datang. Mereka membawa mandat dan perintah dari Ibnu Ziyad untuk memberikan Imam Husain dua pilihan: berbaiat atau perang. Tentu saja Imam Husain memilih untuk perang daripada harus berbaiat. Namun, ia meminta kelonggaran waktu untuk salat dan bermunajat di malam tersebut. Mengingat, hari sudah semakin sore dan sangat tidak memungkinkan berperang dalam kegelapan. Usul tersebut pun diterima.
Setelah usul tersebut diterima dan malam menyapa, Imam Husain mengumpulkan rombongannya untuk berkhotbah. Sayidina Ali Zainal Abidin berada di dekatnya, ia sedang sakit pada saat itu. Dikisahkan bahwa setelah memuji Allah dan berdoa, Imam Husain berkata, “Amabakdu, maka sungguh aku tidak mengetahui ada sekumpulan orang yang lebih utama dan lebih baik daripada kalian. Aku juga tidak tahu ada suatu keluarga yang keikhlasan dan kemurnian hatinya melebihi keluargaku. Semoga Allah membalas kebaikan kalian kepadaku dengan balasan yang baik. Ketahuilah, aku mengira bahwa besok adalah hari yang ditentukan. Aku telah melihat kesetiaan kalian, maka aku membebaskan kalian untuk pergi. Aku tidak akan mencela. Mumpung malam ini diselimuti oleh kabut, pergilah, ambil unta kalian! Aku juga meminta agar setiap orang dari kalian membawa serta satu orang dari keluargaku. Pergilah, berpencarlah kalian ke seluruh penjuru bumi hingga Allah memberikan jalan keluarnya. Sungguh orang-orang itu hanya memburuku. Bila telah menangkapku, mereka pasti tidak akan memedulikan orang lain.”
Ucapan Imam Husain tersebut disambut oleh gulitanya malam yang mencekam. Semua orang berada dalam ketakutan, kekalutan, dan kesedihan. Namun, mereka tidak akan membiarkan Imam Husain berjuang sendiri. Imam Husain kemudian mempersilakan anak-anak Sayidina Muslim bin Aqil untuk pergi. Hal itu karena ia tidak mau nasib Sayidina Muslim juga menimpa anak-anaknya. Namun, keteguhan para pengikut Imam Husain telah bulat, tak ada satu pun yang pergi menyelamatkan diri malam itu.
Setelah pertemuan pada malam itu bubar, Imam Husain duduk di tenda, sementara Huwai, mantan budak Sayidina Abu Zar al-Gifari tengah mengasah dan memperbaiki pedang di sampingnya. Sayidina Ali Zainal Abidin yang sedang sakit juga berada di sana dalam pangkuan Sayidah Zainab yang merawatnya. Tiba-tiba, Imam Husain menyenandungkan tiga buah bait syair yang mengiris-iris ulu hati. Imam Husain mengulangnya hingga dua sampai tiga kali.[48]
Mendengar syair tersebut, Sayidina Ali Zainal paham maksud ayahnya. Segera saja kesedihan mencekik hatinya, air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tetap bergeming. Sayidina Ali Zainal juga tahu bahwa bencana akan segera menimpa mereka. Berbeda dengan keponakannya, Sayidah Zainab yang juga mendengar syair Imam Husain tidak mampu menahan kesedihan dan keresahannya. Ia kemudian merapal dalam rintihan.
“Betapa malang hidupku ini. Alangkah baik bila aku mati sebelum memikul beban kepedihan ini. Kini, ibuku Fatimah telah pergi. Ayahku Ali pun tak ada lagi. Bahkan, Hasan saudaraku meninggal jauh-jauh hari. Oh Husain. Ya Allah !” mendengar rintihan itu, Imam Husain memandang Sayidah Zainab sambil berkata, “Dik, jangan menggiring dirimu ke pangkuan setan!” akhirnya, malam itu pun diisi oleh keheningan dalam doa dan munaat kepada Allah.
***
8. PERTEMPURAN YANG DITENTUKAN
Hari Sabtu—ada yang mengatakan hari Jumat—tanggal 10 Muharam atau hari Asyura, ketika Ibnu Saad selesai melaksanakan salat Subuh, ia keluar besama pasukannya menuju perkemahan Imam Husain. Saat itu, Imam Husain tengah mengerahkan rombongannya untuk melaksanakan salat Subuh juga. Dalam rombongan tersebut, hanya ada 32 penunggang kuda dan 40 pejalan kaki yang siap bertempur. Sisanya adalah perempuan, anak-anak, dan orang sakit.
Ketika Imam Husain salat, Zuhair bin Qain dengan bala tentaranya mengepung dari arah kanan, sementara Habib bin Muzahir beserta bala tentaranya mengepung dari arah kiri. Setelah selesai salat, Imam Husain menyerahkan panji kepada saudaranya, Sayidina Abbas bin Ali. Saat itu, pasukan yang mengepungnya mengumpulkan rotan dan kayu bakar, hingga mengelilingi rombongan Imam Husain.
Di lain sisi, Umar juga membagi pasukannya menjadi empat bagian. Kelompok penduduk Madinah dipimpin oleh Abdullah bin Zuhair bin Sulaim al-Azdi, klan Mazhij dan Asad dipimpin oleh Abdurrahman bin Abu Sabrah al-Jakfi, klan Rabiah dan Kandah dipimpin oleh Qais bin Asyas, serta klan Tamim dan Hamdan dipimpin oleh al-Hurr bin Yazid al-Ruyahi.
Di luar daripada itu, Ibnu Saad yang memimpin komando berada di barisan terdepan, dengan Amr bin Hajjaj al-Zubaidi di samping kanannya dan Syamir bin Ziljausyan bin Syurahbil di samping kirinya. Yang memimpin penunggang kuda adalah Azrah bin Qais al-Ahmasi, sementara yang memimpin pejalan kaki adalah Syabas bin Ribi al-Yarbui. Adapun panji pasukan Ibnu Saad diserahkan kepada Zuwaidan[49], mantan budaknya.
Pertempuran pun pecah. Sangat tidak seimbang. Imam Husain kemudian mengendarai kudanya sambil mendekap mushaf di depan dadanya. Ia melihat pasukannya juga tengah bergelut dalam peperangan, kemudian menengadahkan tangan sambil berdoa, “Ya Allah, Engkau adalah tempatku berlindung dalam keadaan sukar. Engkau juga tumpuan harapanku dalam segala penderitaan.”
Di tengah berkecamuknya perang, pasukan Ibnu Saad membakar rotan dan kayu bakar, hingga api menyala mengelilingi rombongan Imam Husain. Di tengah gejolak perang dan api yang bersamaan, Syamir berteriak kepada Imam Husain, “Engkau menyegerakan dilahap api neraka di dunia sebelum hari kiamat, Husain!”
Mendengar teriakan itu, Imam Husain mengenali Syamir kemudian mengecamnya. Lalu, Imam Husain memacu kudanya ke hadapan orang-orang dan berkhotbah. “Saudara-saudara, camkan baik-baik ucapanku ini. Jangan terburu-buru menyerang hingga aku selesai memberi nasihat dan pembelaan yang harus kusampaikan kepada kalian. Bila kalian bersikap adil hingga bisa menerima dan membenarkan pembelaanku, maka kalian akan lebih beruntung. Bila tidak, silakan kalian mengerahkan kekuatan hingga menghancurkan kami. Sungguh penjagaku adalah Allah yang menurunkan Al-Qur’an. Dia adalah penjaga orang-orang saleh.”
Di tengah khotbahnya, Imam Husain mendengar jerit tangis para perempuan dalam rombongannya. Tangisan itu membuatnya tidak tenang dan tidak fokus. Maka, ia mengutus Sayidina Abbas dan Sayidina Ali Akbar untuk menenangkan dan meminta para perempuan diam. Setelah memastikan bahwa para perempuan diam dan tenang, Imam Husain melanjutkan,
“Amabakdu, maka lihat dan kenalilah siapa diriku, kemudian tanyakan kepada hati nurani kalian, lalu ikutilah! Renungkanlah: apakah patut dan halal bila kalian membunuhku, kemudian menumpas kehormatanku? Bukankah aku cucu dari nabi kalian, anak dari pengawal nabi kalian? Sementara ayahku adalah sepupu nabi kalian, orang yang pertama kali beriman kepada Allah dan membenarkan utusan-Nya. Bukankah Hamzah sang pemimpin syuhada itu adalah paman dari ayahku? Bukankah Jakfar sang burung surga itu adalah pamanku? Apakah belum sampai kepada kalian sabda jelas Nabi saw. yang berkata kepadaku dan saudaraku, ‘Kalian berdua adalah pemimpin pemuda ahli surga dan pelipur lara ahli sunah.’? Apabila kalian membenarkan apa yang aku sampaikan, dan itu memang benar adanya. Demi Allah, aku tidak berniat untuk berbohong setelah aku tahu bahwa Allah akan murka atasnya. Bila kalian mendustaiku, siapa pun yang kalian tanya terkait hal itu, pasti akan mengatakan hal yang serupa. Tanyakan kepada Jabir bin Abdillah, Abu Said al-Khudri[50], Sahal bin Saad, Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, atau siapa saja yang akan mengabarkan kepada kalian bahwa mereka mendengar langsung hadis Rasulullah saw.. Adapun dalam pengepungan ini, apakah kalian akan menangkap dan menumpahkan darahku?”
Mendengar khotbah Imam Husain dan sejumlah dialog yang lumayan panjang bersama Amr bin al-Hajjaj, tidak ada satu pun pasukan Ibnu Saad yang terketuk hatinya, kecuali al-Hurr. “Semoga Allah mengembalikanmu ke jalan yang benar. Apakah engkau akan memerangi orang itu?” tanya al-Hurr kepada Ibnu Saad. “Tentu saja! Demi Allah, aku akan memerangi mereka dengan mudah, hingga kepalanya terpenggal dan tangannya terputus.” Jawab Ibnu Saad tegas.
“Apakah engkau tidak dapat menyetujui salah satu dari tiga usul yang diajukan olehnya?” al-Hurr bertanya lagi, memastikan. “Demi Allah, bila wewenang ada di tanganku, aku pasti akan menyetujui usulannya. Tetapi, gubernurmu telah menolak dengan tegas.” Jawab Ibnu Saad.
Mendenar jawaban Ibnu Saad, al-Hurr berjalan mendekati Imam Husain dengan perlahan. Muhajir bin Aus, salah seorang prajuritnya yang melihat tingkah al-Hurr berkata, “Demi Allah, sungguh komandanmu sedang ragu-ragu.” Padahal, selama ini al-Hurr dikenal sebagai prajurit yang paling gagah berani di antara para penduduk Kufah. Tingkahnya yang ragu-ragu tersebut membuat aneh pasukannya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya al-Hurr insaf dan beralih haluan membela Imam Husain. Ia menyatakan taubat dan meminta agar Imam Husain memintakan ampun kepada Allah untuknya.
Pertempuran tidak terelakkan lagi. Korban dari kedua belah pihak mulai jatuh berguguran. Di sela pertempuran, seorang pemuda dari Bani Tamim menghampiri Imam Husain dan berkata, “Husain, Husain, bergembiralah di dalam neraka!” sahutnya angkuh. Mendengar hal itu, Imam Husain berkata, “Sekali-kali tidak. Sungguh aku akan menghadap Tuhan yang Maha Penyayang.”
Setelah itu, Imam Husain bertanya tentang orang tersebut. Dikatakan bahwa orang tersebut adalah Abdullah bin Hauzah. Mendengar namanya, Imam Husain berdoa, “Ya Allah, lemparkanlah[51] dia ke dalam neraka!” Kemudian, Imam Husain memukul kuda yang ditumpangi Ibnu Hauzah hingga jatuh ke anak sungai. Kaki Ibnu Hauzah menjuntai di atas pijakaan kaki yang masih terpasang pada pelana kuda, semetara kepalanya tersungkur ke tanah. Kuda tersebut lari dengan menyeret tubuh Ibnu Hauzah. Kepalanya yang berada di tanah terserok-serok hingga menerabas bebatuan dan pepohonan sampai akhirnya ia tewas.
Al-Hurr akhirnya turut berperang bersama Imam Husain. Ia merangsek maju dan menumpas para musuh. Pertempuran semakin gencar. Tak ada satu pun pengikut Imam Husain yang syahid, kecuali ia telah menumpas musuh lebih banyak. Ketika tiba waktu Zuhur, sementara tak ada sedikit pun jeda untuk melaksanakan salat, Imam Husain memerintahkan pasukannya untuk melaskanakan salat Khauf.
Orang pertama yang syahid dari kalangan ahlulbait adalah Sayidina Ali Akbar bin Husain. Ibunya adalah Laila binti Abu Murrah bin Urwah bin Masud al-Saqafi. Ia maju ke medan pertempuran sambil menyenandungkan tiga satar syair: “Akulah Ali putra Husain bin Ali, kami ahlulbait paling utama di sisi Nabi, Demi Allah! Diperintah Ibnu Ziyad kami tak sudi.” Sayidina Ali Akbar mengulangi syairnya berulang kali, hingga dilihat oleh Murrah bin Munqiz bin Nukman al-Abdi al-Laisi. Ia menunggu Sayidina Ali mendatanginya, kemudian menangkis todongan darinya. Tak lama, ia menusuk Sayidina Ali dan menjatuhkannya. Mengerumunlah sejumlah orang dan turut menghabisi Sayidina Ali dengan pedang mereka. Semoga Allah memberikan tempat paling buruk di akhirat untuk orang-orang yang mengeroyok Sayidina Ali.
Imam Husain kemudian membopong Sayidina Ali Akbar dan meminta orang-orang yang besamanya untuk membawa Sayidina Ali Akbar ke perkemahan. Melihat ada peluang, Amr bin Sabih al-Sadai melempar anak panah kepada Sayidina Abdullah bin Muslim bin Aqil hingga mengenai keningnya hingga tidak bisa bergerak. Tanpa ampun, Ibnu Sabih kembali melancarkan anak panah hingga membunuh Sayidina Ibnu Muslim.
Orang-orang mulai mengerumuni keluarga Nabi yang tadi membawa Sayidina Ali Akbar. Dari sana, Abdullah bin Qutbah al-Ta`i membunuh Aun bin Abdullah bin Jakfar. Sementara itu, Sayidina Abdurrahman bin Aqil bin Abi Talib dibunuh oleh dua orang sekaligus, yakni Usman bin Khalid bin Asir al-Jahni dan Basyar bin Saut al-Hamdani. Saudaranya, yakni Sayidina Jakfar bin Aqil dibunuh oleh Abdullah bin Urwah al-Khasami menggunakan anak panah.
Melihat jasad Sayidina Jakfar bin Aqil tersungkur, Sayidina Qasim bin Hasan bin Ali bin Abi Talib membopongnya, sementara pedang masih berada di tangannya. Amr bin Saad bin Nufail al-Azdi melihat ada peluang, ia menghampiri Sayidina asim dan memenggal kepalanya dengan pedang. Ambruklah Sayidina Qasim ke bumi sambil berteriak memanggil Imam Husain, “Pamaaan!”
Mendengar jeritan keponakannya, Imam Husain meraung dan menyambar seperti elang yang murka. Ia menghabisi Amr dengan pedangnya. Amr mencoba menangkis dengan tangannya yan langsung dipenggal oleh Imam Husain hingga terputus. Dikisahkan pula bahwa putra Imam Husain yang masih bayi, yaitu Sayidina Ali Asgar menangis karena kehausan. Imam Husain yang tidak tega berinterupsi untuk mendapatkan air. Namun, bukan air yang didapat justru anak panah yang dilemparkan oleh Harmalah bin Kahil al-Asadi hingga mengenai leher Sayidina Ali Asgar. Seketika bayi itu meninggal dunia.
Menyaksikan putra bungsuya dibunuh di depan mata, Imam Husain meraung. Telapak tangan yang dipenuhi dengan darah Imam Ali Asgar, dihadapkan ke atas langit sambil berdoa, “Ya Allah, bila Engkau menghendaki penolong untuk kami, jadikanlah dia (yakni Sayidina Ali Asgar) sebagai kebaikan bagi kami.”[52]
Peperangan terus berlanjut. Imam Husain yang kehausan segera mendekati sungai Efrat. Namun, belum sempat beliau ke tepi sungai, Ibnu Numair melemparkan anak panah kepada Imam Husain sambil menyunggingkan senyuman. Menurut riwayat lain, yang melempar panah bukan Ibnu Numair, melainkan salah seorang lelaki dari bani Uban bin Darim.
Ketika melihat Imam Husain tersungkur, Syamir bin Zuljausyan menghampiri Imam Husain dengan didampingi oleh sepuluh prajurit. Mereka mengelilingi Imam Husain dan berencana akan mengeroyoknya. Mengetahui posisinya sangat tidak menguntungkan, Imam Husain berkata, “Celakalah kalian!! Kalian memang sudah tidak mengenal agama dan tidak lagi takut atas perhitungan di hari kiamat. Jadilah orang yang merdeka di hari perhitungan dengan memelihara keluargaku dari pemimpin kalian yang zalim lagi dungu!” Perkataan Imam Husain tersebut ternyata mendapat simpati dari orang-orang tersebut.
Memahami situasi seperti itu, Syamir merangsek masuk mendekati Imam Husain. Ia segera menghasut prajuritnya agar turut merangsek dan mengeroyok Imam Husain. Mereka adalah Abdurrahman al-Jakfi, Qusyam bin Nazir al-Jakfi, Saleh bin Wahab al-Yazuni, Sinan bin Anas al-Nakhai, dan Khawali bin Yazid al-Asbahani. Dalam kondisi genting itu, salah satu keponakan Imam Husain turut merangsek masuk dan berdiri di samping Imam Husain. Ia berkata dengan lantang, “Hai anak pelacur, apakah engkau akan membunuh pamanku?”
Segera saja tubuh anak tersebut ditebas hingga tangannya terputus. Anak tersebut ambruk sambil berteriak kesakitan. Menyaksikan keponakannya ambruk, Imam Husain merintih, “Sabarlah atas apa yang menimpamu, Keponakanku! Allah akan mengumpulkanmu bersama ayah-ayahmu yang suci dan saleh, yakni Rasulullah, Ali, Hamzah, Jakfar, dan Hasan.” Kemudian, Imam Husain berdoa, “Ya Allah, usir mereka dari kemegahan langit dan halangi mereka dari keberkahan bumi. Ya Allah, jangan ridai mereka dalam hal kekuasaan selamanya. Mereka telah mengundang kami, menolong kami, kemudian berbalik menjadi musuh atas kami hingga akhirnya membunuh kami.”
Setelah itu, mereka merangsek masuk dan mengeroyok Imam Husain dari segala arah. Dari kiri, Zurah bin Syarik al-Tamimi menebas tangan kiri dan bahu Imam Husain. Saat itu, mereka berbalik sementara Imam Husain masih bisa berdiri dan bertakbir. Mengetahui lawannya belum tumbang, Sinan bin Anas mendorong Imam Husain dan menikamnya dengan tombak hingga terjatuh. Setelah itu, ia berseru kepada Khawali bin Yazid, “Penggal lehernya!” mendengar instruksi dari Sinan, Imam Husain masih berkata, “Semoga Allah menebas tanganmu!”
Tanpa berpikir panjang, Sinan menodong ke arah Imam Husain, serta menyembelih dan memenggal kepala yang mulia. Kemudian, kepala yang mulia ditendang ke arah Khawali, sementara apa yang tersisa dari tubuhnya dicabik-cabik. Melihat sebuah peluang, Bahr bin Kaab merampas celana yang dikenakan Imam Husain, sementara Qais bin Asyas mengambil baju berbahan sutra yang dikenakan Imam Husain. Sepasang sepatu Imam Husain dijarah oleh al-Aswad al-Audi, sementara pedang Imam Husain diambil oleh seorang lelaki dari klan Darim. Adapun kuda Imam Husain menjadi rebutan orang-orang. Setelah tidak ada lagi barang berharga yang tersisa dari Imam Husain, ia ditinggalkan dengan menyisakan 33 tusukan dan 34 cabikan. Itu belum termasuk luka-luka yang diakibatkan karena lemparan anak panah. Imam Husain syahid pada usia 65 tahun, ada yang mengatakan 66 tahun.
Adapun yang membunuh Imam Husain adalah Sinan bin Anas. Dialah yang memenggal kepala yang mulia hingga terputus dari tubuhnya. Innālillāh wa innā ilaihi rāji`ūn. Ada yang mengatakan bahwa pembunuhnya adalah seseorang dari klan Muzjah. Yang lain mengatakan bahwa pembunuhnya Syamir bin Zuljausyan. Setelah itu, Khawali bin Yazid menikam dan mencabik-cabik tubuh Imam Husain, kemudian kepala yang mulia dipenggalnya hingga terputus. Kepala Imam Husain kemudian dibawa oleh Khawali ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad. Melihat kepala Imam Husain, Ibnu Ziyad pun berbahagia hingga menyenandungkan dua bait syair.
Menurut riwayat lain, dari Imam Yahya bin Main[53], bahwa orang-orang menyebutkan bahwa pembunuh Imam Husain adalah Umar bin Saad bin Abi Waqas. Namun, menurut Imam Ibnu Main, sebuah riwayat dari Imam Ibrahim bin Saad menyebutkan, bahwa Ibnu Saad bukanlah pembunuh Imam Husain. Adapun menisbatkan Ibnu Saad sebagai pembunuh Imam Husain, tak lain karena dialah pemimpin pasukan yang saat itu menyerang dan membantai Imam Husain. Ia melakukan pembantaian berdasarkan instruksi dari Ibnu Ziyad.[54] Siapa pun pembunuhnya, dan orang-orang yang mendalangi peristiwa itu, semoga mereka disiksa oleh Allah dengan siksaan yang tidak berkesudahan.
Imam Suyuti menuliskan, tatkala Imam Husain dibunuh, dunia seakan terhenti selama tujuh hari, sedangkan matahari merapat ke dinding laksana kain yang menguning. Bintang-bintang saling bertabrakan, gerhana matahari terjadi. Ufuk langit memerah selama enam bulan secara terus menerus, padahal sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi.
Imam Suyuti juga menambahkan bahwa, tidak ada satu pun batu yang berada di Baitulmaqdis, kecuali di bawahnya akan ditemukan darah kental. Tetumbuhan hijau yang berada di markas tentara berubah menjadi seperti bara api. Ketika ada orang yang menyembelih unta, mereka akan mendapatkan sesuatu yang menyerupai api pada daging-dagingnya. Ketika daging tersebut dimasak dan dimakan, rasanya menjadi pahit seperti peria. Bila ada seseorang yang mencaci Imam Husain, maka Allah melemparkan dua benda langit kepadanya hingga menjadi buta.[55] Benar, bahwa apa yang dituliskan Imam Suyuti dalam kitab tarikhnya terdengar berlebihan dan mengada-ada. Sejumlah ulama pun meragukan kebenarannya. Namun, karena yang menulis adalah ulama tepercaya, tidak ada salahnya untuk mempercayainya.
Segera saja kematian Imam Husain menyebar ke seantero arena pertempuran. Suwaid bin Amr bin Abu Matak yang kala itu terjatuh dan terpojokkan oleh musuh langsung bangkit ketika mendengar Imam Husain terbunuh. Ia mengambil belati dan pedang, kemudian menyerang musuh dengan ganas hingga mereka terbunuh. Melihat hal itu, Urwah bin Batar al-Taglabi dan Zaid bin Ruqad al-Janbi menyerang dan membunuhnya. Jadilah Suwaid sebagai orang terakhir yang mati syahid di Karbala pada saat itu.
Peperangan belum usai, barisan musuh mulai menerobos ke perkemahan perempuan, hingga akhirnya mereka menemukan Sayidina Ali Zainal sedang tertidur di atas tikar, saat itu ia sedang sakit dan tidak ikut berperang. Syamir yang haus darah segera bersiap untuk membunuhnya, namun segera dicegah oleh Humaid bin Muslim.
“Mahasuci Allah. Apakah engkau akan membunuh seorang bocah? Sungguh, dia masih anak-anak!” Kemudian, datanglah Ibnu Saad dan berkata, “Jangan ada satu orang pun yang memasuki perkemahan perempuan, jangan pula menumpas bocah yang sedang sakit ini. Barang siapa yang merampas harta mereka, segera kembalikan dan jangan mengambil barang sebiji pun!” Atas instruksi tersebut, akhirnya para perempuan dan ahlulbait Nabi yang berada dalam kemah tersebut selamat, termasuk Sayidina Ali Zainal yang keturunannya hadir di tengah-tengah kita hingga saat ini.
Saat itu, orang-orang segera menyambut Sinan bin Anas dan berkata, “Engkau telah membunuh Husain bin Ali! Dia purta Fatimah binti Rasulullah saw. engkau telah membunuh orang paling agung sejagat Arab!” teriakan itu disambut dengan hiruk pikuk.
Adapun orang-orang yang turut syahid bersama Imam Husain mencapai 72 orang dari kalangan ahlulbait, pengikut, dan penolongnya. Sementara pasukan Ibnu Saad yang tewas mencapai 88 orang, belum termasuk sejumlah orang yang terluka berat. Imam Tabari menuliskan nama-nama syuhada yang menyertai Imam Husain, berikut pembunuhnya yang berhasil diidentifikasi. Tubuh para syuhada dikuburkan di Karbala, sementara kepala mereka dipersembahkan kepada Ibnu Ziyad.
***
9. IBNU ZIYAD DAN KEPALA IMAM HUSAIN
Ibnu Saad kemudian mengutus Khawali bin Yazid dan Humaid bin Muslim untuk membawa kepala Imam Husain kepada Ibnu Ziyad.[56] Ketika sampai di depan istana Ibnu Ziyad di Kufah, ternyata pintunya dikunci. Maka, Khawali membawa kepala Imam Husain ke rumahnya dan meletakannya di sebuah bejana tempat mencuci pakaian.
Ketika ia masuk, istrinya yang bernama Nawwar binti Malik bin Arab bertanya soal apa yang dibawa oleh Khawali. “Aku membawakanmu kekayaan selama setahun penuh. Ini adalah kepala Husain yang akan menjadikan kita kaya raya!” mendengar hal itu, istrinya murka, “Celakalah dirimu! Orang lain datang dengan membawa emas dan perak, sementara engkau membawa kepala anaknya Rasulullah saw.. Tidak, demi Allah! Jangan pernah memperlihatkan kepalamu ke hadapanku selamanya!” kemudian ia pergi menuju rumahnya. Diceritakan bahwa Nawwar tidak meninggalkan suaminya, hingga ia melihat cahaya yang bersinar tegak lurus dari langit menuju bejana tempat kepala Imam Husain berada. Kemudian ia melihat burung-burung putih mengepakkan sayap di sekitar bejana tersebut.
Keesokan harinya, Khawali membawakan kepala Imam Husain ke hadapan Ibnu Ziyad. Ketika Khawali menghadap, pasukan Ibnu Saad diizinkan untuk berangkat ke Kufah dengan membawa seluruh keluarga Imam Husain yang masih tersisa. Akhirnya, Ibnu Saad berangkat dari dari Karbala menuju Kufah. Riwayat yang lain menyebutkan bahwa Ibnu Saad sudah berada di Kufah dan menyuruh Humaid bin Bakir al-Ahmari untuk menjemput ahlulbait Nabi. Riwayat yang lain lagi menyebutkan bahwa yang memimpin penggiringan ahlulbait menuju Kufah adalah Humaid bin Muslim. Dibawa serta pula tujuh puluh dua kepala syuhada untuk menghadap Ibnu Ziyad.
Ketika rombongan ahlulbait tiba, mereka masuk ke dalam istana Ibnu Ziyad dan melihatnya duduk di singgasananya di hadapan orang-orang. Adapun kepala Imam Husain diletakan di hadapannya. Kemudian, ia menusuk-nusukkan tongkatnya ke dalam celah gigi Imam Husain. Sayidina Malik bin Anas yang sedang berada di tempat tersebut menangis melihat hal itu. Ia berkata, “Di antara ahlulbait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw.” Ketika itu, rambut Imam Husain disemir dengan pacar.
Tidak seperti Sayidina Anas, Sayidina Zaid bin Arqam menumpahkan kemurkaannya kepada Ibnu Ziyad dengan berkata, “Singkirkan tongkat itu dari gigi-gigi Husain! Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, aku pernah melihat bibir Rasulullah mencium bibir yang tengah engkau permainkan.” Kemudian, Sayidina Zaid yang sudah renta itu pun menangis.
Mendengar ucapan Sayidina Zaid, Ibnu Ziyad murka, “Semoga Allah membuat matamu terus menangis! Demi Allah, bila bukan karena dirimu sudah tua bangka, pikun, dan gila, aku pasti akan memenggal lehermu!” Ketika diancam dan diumpat, Sayidina Zaid bangkit dan keluar dari ruangan itu sambil berkata, “Seorang budak telah mengambil alih kepemilikan seorang hamba, ia mengambil mereka bahkan sejak dilahirkan. Kalian, hai orang-orang Arab, setelah ini, kalian adalah seorang budak! Kalian telah membunuh putra Fatimah dan mengikuti perintah anak Marjanah (maksudnya Ibnu Ziyad). Dia telah membunuh kebebasan kalian dalam memilih serta memperbudak kebahagian kalian. Anehnya kalian rela melakukannya dengan hina, sungguh terhina orang yang rela dalam kehinaan!”
Sementara itu, melihat ahlulbait Nabi berada di hadapannya, Ibnu Ziyad dengan angkuh berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membuka kebusukan kalian, membunuh kalian, serta mendustakan dongeng bualan kalian!” Ucapan Ibnu Ziyad itu membuat geram ahlulbait, hingga akhirnya Sayidah Zainab membalas, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan kami dengan Nabi Muhamad saw., kemudian menyucikan kami dari dosa dengan kesucian yang murni. Tidaklah seperti yang engkau kata, justru kami telah membuka kedok orang-orang fasik dan mendustakan orang-orang zindik.”
“Lantas, apa tanggapanmu mengenai apa yang telah diperbuat oleh Allah terhadap keluargamu?” Ibnu Ziyad menantang. Sayidah Zainab kembali menantang, “Mereka telah ditakdirkan untuk terbunuh, kemudian mereka menjemput takdirnya. Kelak, Allah akan mengumpulkanmu dengan mereka, lalu mereka akan menggugat dan mendakwamu di hadapan Allah yang Mahaadil.” Karena tidak bisa menjawab apa yang dikatakan oleh Sayidah Zainab, Ibnu Ziyad naik pitam dan hendak memukulnya, tetapi akhirnya tidak jadi karena dicegah oleh Amr bin Haris.
Sayidina Ali Zainal, sebagai satu-satunya lelaki cukup umur yang hidup dari kalangan ahlulbait pun tak luput dari perhatian Ibnu Ziyad. Tidak kalah dengan bibinya, Sayidina Ali Zainal pun menjawab sejumlah pertanyaan dan pernyataan Ibnu Ziyad. Hingga pada akhirnya Ibnu Ziyad tidak lagi bisa bekutik dan mengancam akan membunuhnya. Namun, hal itu diurungkan setelah Sayidah Zainab menentangnya dengan keras. “Cukup, Ibnu Ziyad!” seru Sayidah Zainab lantang.
“Apakah engkau belum puas menumpahkan darah keluarga kami? Apakah engkau tidak bisa menyisakan satu orang anak untuk kami? Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu bila engkau seorang yang beriman: Bila engkau membunuhnya, bunuh aku juga bersamanya!” Akhirnya, Sayidina Ali Zainal selamat dari maut.
***
10. YAZID BIN MUAWIYAH DAN KEPALA IMAM HUSAIN
Pertemuan antara ahlulbait dengan Ibnu Ziyad telah usai. Mereka akhirnya dikirim ke Damaskus untuk menghadap Yazid bin Muawiyah. Dalam perjalanannya, kepala Imam Husain diangkat dan dipamerkan tinggi-tinggi agar seluruh penduduk Kufah menyaksikannya. Sementara itu, ahlulbait yang menyertainya dibelenggu.
Ada dua pendapat terkait nasib kepala Imam Husain, apakah dikirim ke Damaskus (ibu kota Syam) untuk dihadapkan kepada Yazid, ataukah tidak. Imam Ibnu Kasir menyebutkan bahwa Ibnu Ziyad mengirimkannya ke pangkuan Yazid adalah pendapat yang masyhur bagi ahli sejarah dan riwayat hidup. Sebagian orang mengingkari hal itu, tetapi bagi Imam Ibnu Kasir[57], pendapat pertama lebih masyhur dan dapat diterima. Mengingat, sejumlah sejarawan dan ahli hadis juga meriwayatkan sejumlah peristiwa terkait pengiriman kepala Imam Husain.
Selama perjalanan, Ibnu Ziyad memendam dendam dan benci kepada Sayidina Ali Zainal. Ia terus mengutuki dirinya mengapa tidak membunuh satu-satunya pemuda yang tersisa dari ahlulbait. Sayidina Ali sendiri tidak berbicara sama sekali hingga tiba di Damaskus. Di sana, Zahr bin Qais langsung masuk ke dalam istana Yazid dan mengabarkan bahwa mereka telah memenangkan peperangan. Bersamaan dengan itu, Ibnu Ziyad membawa serta 18 orang dari ahlulbait dan 60 orang dari pendukung Imam Husain.
Ketika rombongan dari Kufah tersebut tiba di Damaskus dan memasuki area masjid dan penduduk Damaskus berbondong-bondong melihat arak-arakan tersebut, Marwan bin al-Hakam bertanya kepada orang-orang, “Apa yang kalian lakukan?” kemudian, mereka menjawab, “Telah sampai kepada kita delapan belas orang dari kalangan ahlulbait. Maka aku datang, dan demi Allah, ternyata masih banyak orang yang berdatangan. Lihat, itu adalah kepala-kepala orang!” setelah melihat apa yang terjadi, Marwan berbalik.
Setelah itu, datang saudara Marwan, yakni Yahya bin al-Hakam. Ia menanyakan hal yang serupa. Setelah tahu apa yang terjadi, ia berkata, “Kalian akan dipisahkan dari Nabi Muhamad pada hari kiamat. Aku tidak akan membersamai kalian dalam setiap urusan selamanya!” kemudian Yahya bangkit dan berbalik.
Ketika sampai di pintu istana, rombongan masuk dan menghadap Yazid bin Muawiyah. Ketika kepala Imam Husain dan rombongannya dihadapkan di depan Yazid, segera saja ia melantunkan dua bait syair, kemudian berkata, “Demi Allah, Husain. Bila aku adalah rekanmu, aku tidak akan membunuhmu!” mendengar hal itu, Yahya bin al-Hakam yang juga hadir di majelis itu membalas syair Yazid dengan dua bait syair tandingan yang berisi ratapan. Mendengar syair tesebut, Yazid memukul dada Yahya hingga terjatuh sambil berkata, “Diam!”[58]
Cucu Imam Ibnu Jauzi, lebih dikenal dengan Imam Sibat Ibnu Jauzi (w. 654 H) menuliskan riwayat masyhur atas perilaku Yazid bin Muawiyah terhadap kepala Imam Husain. Dikisahkan bahwa ketika kepala Imam Husain berada di hadapannya, ia mengundang penduduk Syam untuk menghadiri pertemuan. Kemudian ia mencongkel kepalanya menggunakan rotan sambil mendendangkan dua bait syair Ibnu Zabari.[59]
Imam Tabari[60] juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa ketika kepala syuhada diletakan di hadapannya, ia berkata ini dan itu. Ketika Hindun binti Abdillah bin Amir bin Kuraiz, sementara ia berada di bawah Yazid, ia berkata, “Ya Amirulmukminin, apakah ini adalah kepala Husain bin Fatimah putri Rasulullah?” ketika mendengar jawaban Yazid yang mengiyakan, Hindun meraung dan meratap.
Lalu, Yazid mengizinkan orang-orang untuk masuk dan menyaksikan kepala Imam Husain dipermainkan di hadapannya. Dengan menggunakan sebuah rotan, ia menusukkannya ke dalam mulut Imam Husain sambil mendendangkan satu bait syair. Melihat perlakuan Yazid, Sayidina Abu Barzah al-Aslami yang merupakan salah seorang sahabat Nabi berkata, “Apakah engkau menusuk mulut Imam Husain dengan tongkatmu? Ketahuilah, engkau telah menusuk mulut dengan tongkatmu, sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw. mengecup mulutnya. Adapun engkau, Yazid, akan datang pada hari kiamat dan Ibnu Ziyad sebagai penolongmu. Sementara lelaki ini akan datang pada hari kiamat dengan Muhammad saw. sebagai penolongnya.” Kemudian, Sayidina Abu Barzah berdiri dan pergi.
Setelah itu, Yazid memanggil Sayidina Ali Zainal dan seluruh ahlulbait ke hadapannya. Ketika mereka menghadap, Yazid berkata kepada Sayidina Ali, “Ali, ayahmulah yang telah memutus tali silaturahmi. Ia dungu terhadap hakku dan menggugat kekuasaanku. Maka Allah menimpakan kepadanya sebagaimana engkau lihat.” Mendengar ucapan Yazid yang tidak bertanggung jawab, Sayidina Ali membacakan surah al-Ḥadīd ayat 22. Tidak mau kalah, Yazid menyuruh anaknya yang bernama Khalid untuk membalas ucapan Sayidina Ali. Namun, Khalid tidak tahu apa yang harus ia jawab atas ucapan Sayidina Ali. Yazid pun kemudian menyuruhnya agar mengulang pembacaan ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Sayidina Ali sebelumnya. Namun, Khald diam dan tak mampu mengulanginya.
Kemudian, Yazid memanggil para perempuan dan anak-anak ke hadapannya. Melihat keadaan mereka yang buruk, Yazid berkata, “Semoga Allah menjadikan Ibnu Marjanah busuk. Bila di antara kalian dan dia terdapat hubungan kekerabatan, dia tidak akan melakukan ini kepada kalian, tidak juga mengirim kalian dalam keadaan seperti ini.”
Imam Suyuti menyebutkan bahwa pada awalnya Yazid bergembira atas kematian Imam Husain dan mendapatkan kiriman kepalanya dari Ibnu Ziyad. Namun, kemudian ia menyesalkan tindakan tersebut karena orang-orang sangat membenci terkait apa yang telah dilakukannya. Perbuatan tersebut memang sangat layak untuk dibenci oleh mereka. Imam Suyuti juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdulaziz mendera seseorang dengan dua puluh kali cambukan karena dia menyebut Yazid sebagai amirulmukminin.[61]
Setelah peristiwa itu, kepala Imam Husain dikirim kepada Amr bin Said bin al-As—gubernur Madinah—untuk dikuburkan di pemakaman Baqi bersama ibunya, Sayidah Fatimah. Ada juga yang mengatakan bahwa kepala Imam Husain tidak diturunkan dari lemari Yazid hingga ia tewas. Kemudian, orang-orang mengambil kepala Imam Husain dari lemari tersebut, mengafaninya, serta menguburkannya di pintu masuk Farades yang ada di Damaskus. Sekarang, tempat tersebut dikenal dengan Masjid al-Ra`si yang terletak di pintu masuk Farades II.[62]
Imam Ibnu Asakir juga meriwayatkan bahwa, kepala Imam Husain disalib di Damaskus selama tiga hari, kemudian disimpan di lemari pedang hingga masa pemerintahan Sulaiman bin Abdulmalik (tahun 96 Hijriah). Dikisahkan, ketika kepala Imam Husain dibawa ke hadapan Sulaiman bin Abdulmalik, bentuknya masih mulus dan putih. Kemudian, kepala Imam Husain diperlakukan dengan baik, dikafani, disalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. Ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdulaziz, ia mengutus pengawal kepada penjaga gudang peralatan perang dan meminta agar dibawakan kepala Imam Husain. Namun, penjaga gudang menulis surat bahwa kepala Sulaiman bin Abdulmalik telah mengambilnya, mengurus, menyalati, dan menguburkannya. Namun, ketika kekuasaan jatuh ke tangan Bani Abbas, mereka bertanya tentang kuburan kepala Imam Husain, kemudian menggali dan mengambilnya.[63]
Sementara itu, kelompok Fatimiyah yang memerintah Mesir sebelum tahun 400 Hijriah hingga 606 Hijriah mengklaim bahwa kepala Imam Husain dibawa ke kawasan Mesir, kemudian mereka menguburkannya dan mendirikan bangunan di atasnya. Hal itu sebagaimana dikenal sekarang sebagai Taj al-Husain sejak tahun 500 Hijriah. Namun, sejumlah nas dari para imam di zamannya mengatakan bahwa hal itu tidak berdasar, sehingga klaim Fatimiyah termasuk kubah yang dibangunnya adalah batil. Namun, Imam Ibnu Kasir sendiri menyatakan bahwa klaim Fatimiyah lebih poppuler dan masyhur di kalangan masyarakat.[64]
***
11. HUKUM MELAKNAT YAZID
Hal selanjutnya yang sering menjadi kontroversi di antara umat adalah, apakah diperbolehkan melaknat Yazid bin Muawiyah? Sejatinya itu adalah pertanyaan yang sangat berat dan membutuhkan artikel khusus untuk membahasnya. Namun, intinya bahwa ulama berbeda pendapat terkait masalah tersebut.
Sejumlah ulama—di luar daripada kelompok Syiah—mengatakan boleh melaknat Yazid bin Muawiyah. Hal itu karena peristiwa pembantaian terjadi di masa ia memerintah, perintah mengambil baiat secara paksa pun sangat jelas diriwayatkan oleh sejumlah sejarawan. Belum lagi sikapnya yang terkesan membiarkan—untuk tidak disebut memuliakan—Ibnu Ziyad setelah tragedi. Bila Yazid tidak merestui pembunuhan terhadap Imam Husain dan rombongannya, sudah pasti ia akan menindak Ibnu Ziyad sebagaimana ia mencopot Walid bin Utbah karena tidak becus menjalankan perintah. Ia juga kemudian memecat Amr bin Said bin al-As dari jabatannya sebagai gubernur Madinah.
Pendapat yang menyatakan boleh melaknat Yazid tersebut termasuk di dalamnya Imam Ibnu Jauzi dan Imam Suyuti. Bahkan, Imam Ibnu Hajar Haitami meriwayatkan bahwa Imam Ahmad telah menyebut Yazid kafir. Imam Ibnu Hajar juga menyebut Yazid sebagai seburuk-buruknya orang fasik. [65]
Adapun sejumlah ulama yang melarang untuk melaknatnya adalah Imam Gazali, yang diikuti oleh Syekh al-Murtada al-Zabidi. Imam Ramli, yang notabene rival yang sezaman dengan Imam Ibnu Hajar Haitami, pun turut melarang untuk melaknat Yazid. Hal itu karena tidak ada riwayat yang jelas soal keterlibatan Yazid terkait pembunuhan dan pembantaian rombongan Imam Husain.
Yang jelas, kedua belah pihak memiliki dalilnya masing-masing. Setelah mengetahui kronologis tragedi tersebut, pilihan ada di tangan kita. Tentu dengan bimbingan ulama muktabar. Namun, tentu saja Yazid bukan orang yang layak untuk dicintai.
***
12. PENUTUPAN
Demikianlah kisah pembantaian Imam Husain pada hari Asyura di Karbala. Saya mencoba mencocokkan antara satu sumber dengan sumber lainnya. Tentu saja tidak semua riwayat dan perbedaan pendapat dicantumkan, karena akan sangat panjang pembahasannya. Dalam menulis kisah ini, saya paling banyak mengambil dari al-Tārīkh milik Imam Tabari, al-Kāmil milik Imam Ibnu Asir, dan al-Bidāyah milik Imam Ibnu Kasir. Hal itu karena ketiga kitab tersebut menerangkan kisah secara runut dan detail, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami kronologis peristiwa. Tentu saja juga disertai sanad cerita yang tidak main-main. Walau, pada kenyataannya dari kitab-kitab tersebut terdapat perawi yang disinyalir dari kalangan Syiah, seperti Imam Abu Mikhnaf al-Azdi (w. 157 H) dan Imam Hisyam bin al-Kalbi (w. 204 H). Namun, kedua sejarawan itu adalah ahli sejarah terkemuka dan tepercaya. Riwayat yang berasal dari keduanya boleh jadi benar dan bisa diterima.
Saya sangat sedikit mengambil cerita dari al-Tārīkh milik Imam Ibnu Asakir. Hal itu, karena dalam kitab tersebut lebih banyak riwayat dengan perawi dan redaksi yang berbeda-beda. Narasi yang dibangun juga kurang sistematis dan kronologis hingga membuat pembaca sedikit kebingungan untuk mengumpulkan informasi dalam suatu peristiwa. Maka, kitab tersebut biasanya hanya dijadikan sebagai pembanding riwayat, bukan kronologis peristiwa.
Untuk menjelaskan identitas sejumlah tokoh dan tempat, saya menggunakan al-Isti`āb milik Imam Ibnu Abdilbarr, al-Tahżīb milik Imam Nawawi, al-Siyar milik Imam Zahabi, serta al-Mu`jam milik Imam al-Hamawi. Saya juga menggunakan sejumlah kitab untuk membandingkan dan melengkapi cerita yang tidak disebutkan secara jelas dari tiga kitab utama. Misalnya, al-Murūj milik Imam Masudi, al-Ihyā` milik Imam Gazali berikut al-Ithāf milik Syekh Zabidi, Maqtal al-Ḥusain milik Imam Akhtab al-Khawarizmi, al-Muntaẓam milik Imam Ibnu Jauzi, al-Tażkirah milik Imam Sibat Ibnu Jauzi, al-Tārīkh milik Imam Suyuti, Syarh al-Hamziyah milik Imam Ibnu Hajar, serta al-Fatāwā milik Imam Ramli.
Sebagai penyeimbang, saya juga membandingkan literatur ahlusunah dengan Syiah. Untuk itu, kitab-kitab seperti al-Tārīkh milik Imam Yaqubi, al-Futūḥ milik Imam Ibnu Aksam, serta Maqātil al-Ṭālibiyyīn milik Abu Faraj al-Asbahani, dijadikan sebagai referensi. Untuk buku berbahasa Indonesia, saya menggunakan buku Alhusain bin Ali r.a. karangan Habib Alhamid Alhusaini. Namun, dalam kitab tersebut terdapat sejumlah celaan kepada sahabat Nabi, khususnya Sayidina Muawiyah, sehingga membuat saya tidak menggunakannya sebagai referensi utama.
Sebagai tambahan, saya juga menonton film Al-Hasan wa al-Husain yang diproduksi oleh Liga Arab pada tahun 2012. Namun, dalam film tersebut terdapat sejumlah peristiwa yang tidak sesuai dengan referensi tertulis yang saya temukan. Misalnya, pertemuan Walid bin Utbah dan Marwan bin al-Hakam bersama Imam Husain yang terkesan santai, tanpa ketegangan. Sikap Marwan yang menjadi lebih “lembut” dan “cinta damai” juga seolah ingin melepaskannya dari dugaan keterlibatannya terhadap tragedi. Benar, bahwa Marwan sempat mengirimkan surat kepada Ibnu Ziyad untuk tidak membantai rombongan Imam Husain—sebagaimana disebutkan di dalam tiga sumber utama kitab yang digunakan. Namun, provokasinya terhadap Walid bin Utbah dan latar belakang pemecatan Walid sebagai gubernur Madinah tidak bisa dilupakan begitu saja. Apalagi sebelumnya ia menjadi sebab pecahnya fitnah akbar pascawafatnya Amirulmukminin Usman bin Affan. Bahkan setelahnya memimpin pasukan dan mewariskan kebencian kepada anaknya untuk membantai para sahabat Nabi—khususnya Sayidina Ibnu Zubair—dan membakar kota Mekah.
Alhasil, begitulah tulisan ini dibuat semata-mata karena kecintaan saya terhadap ahlulbait Nabi dan kebencian saya terhadap kezaliman penguasa di muka bumi. Namun, sezalim apa pun seorang penguasa, bagi saya tetap tidak boleh memberontak terhadapnya. Bahkan kepada Yazid pun para sahabat diam dan tidak memberontak untuk melengserkannya, apakah saya pantas mencaci dan berdemo kepada penguasa negara sementara ia seorang ahli kiblat? Tidak, demi Allah. Tentu saya membenci kezaliman yang hadir di negeri ini, namun tidak sampai berani mencaci hingga berpikir menurunkannya dari jabatan seorang pemimpin.
Apa yang benar dalam tulisan ini, semata-mata karena karunia dari Allah. Sementara kesalahan di dalamnya disebabkan karena keteledoran dan kebodohan saya yang masih harus banyak belajar. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk mencintai ahlulbait, membenci kezaliman, menjaga sejarah dan periwayatan, serta membuang jauh-jauh kebohongan.
كــــــلّ يـــــــوم وكـــــــلّ أرض لـــــــكربـــــــى ۞ مـــنهـــم كـــــربـــلاء وعـــــاشـــــوراء[66]
Wallahualam bissawab.
Pondok Pesantren Al-Khudriyah, Lebak Banten:
Sabtu, 29 Agustus 2020 Masehi / 10 Muharam 1442 Hijriah, Pukul 16.00 WIB
[1] Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥajar al-Haitamī, ed. Bassam Muhammad Barud, al-Minaḥ al-Makiyyah fī Syarh al-Hamziyah, Juz III (Beirut: Dar al-Hawi, 1998), hal. 1125.
[2] `Abd al-Raḥmān bin Abū Bakr al-Suyūṭī (Jalāl al-Dīn), ed. Muhammad Muhyiddin Abdulhamid, Tārīkh al-Khulafā` (Beirut: Dar al-Jail, 1988), hal. 208.
[3] Dengan tambahan redaksi, “Ambillah baiat dengan paksa tanpa keringanan…,” Lihat: Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), ed. Muhammad Abulfadl Ibrahim, Tārīkh al-Ṭabarī:Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, Juz V (Beirut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, 2008), hal. 228.
[4] `Alī bin `Abd al-Kiram Muḥammad bin Muḥammad bin `Abd al-Karīm bin `Abd al-Wāḥid al-Syaibānī bin al-Aṡīr al-Jazarī (`Izz al-Dīn Abū al-Ḥasan), ed. Abdullah al-Qadi, al-Kāmil fī al-Tārīkh, Jilid III (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1987), hal. 377.
[5] Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Juz VIII (Beirut: Maktabah al-Maarif, 1992), hal. 146. Untuk selanjutnya, disebut Tarikh Ibnu Kasir.
[6] Aḥmad bin Abū Ya`qūb bin Ja`far bin Wahb al-Kātib bin Wāḍiḥ al-Akhbārī, ed. Muhammad Sadiq Bahrululum, Tārīkh al-Ya`qūbī, Juz II (Najaf, Maktabah al-Haidariyah, 1963), hal. 229.
[7] Ungkapan “mentazkiahnya di hadapan Allah” atau dalam bahasa Arab “wa lā uzakkīhī `ala Allāh” biasa diungkapkan ketika seseorang memuji orang lain secara berlebihan, namun tetap menjaga adab bahwa Allahlah sebaik-baik penerima pujian dan kesucian. Arti secara harfiah adalah “aku tidak menyucikannya di atas Allah.”
[8] Secara harfiah berarti “Bapak Tanah”, salah satu julukan untuk Imam Ali bin Abi Talib.
[9] Penyebutan Sayidina Abdurrahman bin Abu Bakar di sini terkesan ganjil dan berbeda dari sumber lain. Hal itu karena Sayidina Ibnu Abu Bakar wafat tahun 53 H menurut pendapat paling kuat dan sahih. Ada yang mengatakan bahwa beliau wafat tahun 54 atau 55 Hijriah, tetapi tetap tidak sampai pada masa pembaiatan Yazid sebagai khalifah yang berlangsung di tahun 60 H. Boleh jadi memang namanya ada dalam surat, dan Yazid tidak mengetahui bahwa beliau sudah wafat. Namun, ini juga pendapat yang lemah karena kematian Sayidina Abdurrahman terjadi setelah menolak membaiat Yazid pada masa Sayidina Muawiyah. Kabar tersebut tentu akan sampai kepada Sayidina Muawiyah dan Yazid. Benar bahwa penolakannya berbaiat kepada Yazid terjadi pada masa Sayidina Muawiyah, ketika Yazid diangkat sebagai putra mahkota. Imam Ibnu Abdilbar (juga Imam Nawawi) menuliskan bahwa ketika Sayidina Abdurrahman berada di Madinah dan menolak berbaiat, Sayidina Muawiyah mengirimkan seratus ribu dirham sebagai sogokan. Namun, Sayidina Abdurrahman menolak sambil berkata, “Aku tidak menjual agamaku dengan dunia.” Kemudian, beliau keluar dari Madinah menuju Mekah dan wafat di sana. Bahkan, orang-orang menyebutkan bahwa kematian Sayidina Abdurrahman terjadi tiba-tiba, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Umar. Lihat:
- Yūsuf bin `Abdillāh bin Muḥammad bin `Abd al-Barr bin `Āṣim al-Numarī al-Qurṭubī al-Mālikī, al-Isti`āb fī Asmā´I al-Aṣḥāb, Juz II (Kairo: Maktabah Misr, Tanpa Tahun), hal. 197-198.
- Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī al-Dimasyqī (Muḥy al-Dīn Abū Zakariyyā), ed. Abduh Ali Kausyak, Tahżīb al-Asmā` wa al-Lugāt, Jilid I (Damaskus: Dar al-Faiha dan Dar al-Manhad, 2006), hal. 679.
[10] Aḥmad bin A`ṡam al-Kūfī (Abū Muḥammad), ed. Ali Siyiri, Kitāb al-Futūḥ, Juz V (Beirut: Dar al-Adwa, 1991), hal. 9-10.
[11] Marwān bin al-Ḥakam bin Abū al-`Aṣ bin Umayyah bin `Abd Syams bin `Abd Manāf, sepupu Amirulmukminin Usman bin Affan. Dia lahir di Mekah (ada yang mengatakan di Taif) pada masa Rasulullah masih hidup, tahun 12 Hijriah. Imam Malik mengatakan bahwa Marwan lahir pada hari Perang Uhud, yang lain mengatakan lahir pada hari Perang Khandaq. Sekali pun lahir pada masa Rasul, Marwan tidak termasuk ke dalam jajaran sahabat Nabi, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Nawawi. Hal itu karena sejak kecil ia dibawa ke Taif oleh ayahnya, sehingga tidak mendengar sabda Nabi, tidak pula berjumpa dengan beliau. Dia berada di Taif hingga masa kekhalifahan Amirulmukminin Usman. Imam Ibnu Abdilbarr membenarkan hal tersebut sekali pun memuat nama Marwan dalam kitab al-Isti`āb, diikuti oleh Imam Zahabi yang memasukkannya ke dalam jajaran pembesar tabiin. Imam Zahabi juga menuliskan bahwa ada yang mengatakan Marwan pernah bertemu Nabi, dan itu sebatas spekulasi. Marwan bin al-Hakam adalah seorang pemberontak ketika Sayidina Abdullah bin Zubair dibaiat sebagai khalifah. Untuk itu, Imam Suyuti dengan mengutip pendapat Imam Zahabi menuliskan bahwa Marwan tidak sah menduduki jabatan khalifah. Marwan juga salah seorang yang paling bertanggungjawab atas fitnah yang terjadi ketika pembunuhan Amirulmukminin Usman bin Affan. Lihat:
- Yūsuf bin `Abdillāh bin Muḥammad bin `Abd al-Barr bin `Āṣim al-Numarī al-Qurṭubī al-Mālikī, , Juz III, hal. 190.
- Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī al-Dimasyqī (Muḥy al-Dīn Abū Zakariyyā), , Jilid II, hal. 185.
- Muḥammad bin Aḥmad bin `Uṡmān al-Żahabī (Syams al-Dīn), Syuaib al-Arnaut d.k.k., Siyar A`lām al-Nubalā`, Juz III (Beirut: al-Resalah, 1982), hal. 476.
- `Abd al-Raḥmān bin Abū Bakr al-Suyūṭī (Jalāl al-Dīn), , hal. 253.
[12] Setelah Imam Husain berbicara seperti ini, Walid bin Utbah mengiyakan dengan mengatakan “Benar!” seperti yang tertuang dalam Tārīkh al-Ṭabarī halaman 228.
[13] Muhammad bin Ali bin Abi Talib, saudara tiri Imam Hasan dan Imam Husain. Untuk mempersingkat, ke depannya Imam Muhammad bin Hanafiah akan ditulis Imam Muhammad.
[14] `Alī bin `Abd al-Kiram Muḥammad bin Muḥammad bin `Abd al-Karīm bin `Abd al-Wāḥid al-Syaibānī bin al-Aṡīr al-Jazarī (`Izz al-Dīn Abū al-Ḥasan), Ibid., hal. 381.
[15] Abdullah bun Muti bin Aswad, seorang tabiin dan salah satu pembesar di barisan pembela Sayidina Abdullah bin Zubair.
[16] Ungkapan ini dalam naskah aslinya berbunyi “ju`iltu fidā´aka” yang secara harfiah bermakna “Aku dijadikan sebagai tebusanmu”. Ungkapan tersebut biasa digunakan oleh seseorang untuk menunjukkan kesetiaan terhadap orang lain. Ungkapan lain yang sejenis adalah “fidā´uka nafsī”.
[17] Saya tidak memahami maksud Sayidina Ibnu Muti terkait Mekah yang lebih dekat dengan Kufah daripada Madinah. Padahal, letak Madinah lebih dekat ke Kufah dan orang Mekah yang hendak melakukan perjalanan menuju Madinah hampir sering melewati Madinah.
[18] Maksud pendapat yang masyhur adalah pendapat yang pertama, yakni Sayidina Ibnu Umar berada di Madinah dan Walid bin Utbah menyuruh para pengawalnya untuk meninggalkan Sayidina Ibnu Umar. Sikap Sayidina Umar ini dibiarkan, karena beliau dianggap bukan ancaman rezim Yazid seperti halnya Imam Husain dan Sayidina Ibnu Zubair.
[19] Ini adalah pendapat Imam Ibnu Asir. Menurut Imam Tabari berdasarkan riwayat dari Imam Abu Mikhnaf, surat tersebut berjumlah 53 lembar dari kalangan laki-laki, dan 42 lembar dari kalangan perempuan. Jadi, totalnya adalah 95 lembar.
[20] Imam Tabari menyebutkan bahwa hanya satu orang pemandu yang meninggal karena kehausan. Tetapi, Imam Tabari juga menyebutkan menurut riwayat Imam Abu Mikhnaf, kedua pemandu tewas. Hal ini senada dengan Imam Ibnu Asir yang menyebutkan kedua pemandu tersebut meninggal semuanya.
[21] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid., hal. 234.
[22] Dari ungkapan ini, dapat dipahami bahwa sebutan “syiah” tidak hanya dipakai oleh orang-orang yang setia kepada Imam Husain, melainkan juga orang-orang yang setia kepada Yazid bin Muawiyah.
[23] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid., hal. 256.
[24] Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), Ibid., hal. 157.
[25] Hal ini sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Aksam dalam al-Futūḥ dan Imam Ibnu Kasir dalam tarikhnya. Sementara itu, Imam Tabari, Imam Ibnu Asir, dan Imam Suyuti hanya menyebutkan satu setengah bait (satu bait, satu satar; tiga satar karena satu bait terdiri dari dua satar). Lihat:
- Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid., 259.
- Aḥmad bin A`ṡam al-Kūfī (Abū Muḥammad), , hal. 66.
- `Alī bin `Abd al-Kiram Muḥammad bin Muḥammad bin `Abd al-Karīm bin `Abd al-Wāḥid al-Syaibānī bin al-Aṡīr al-Jazarī (`Izz al-Dīn Abū al-Ḥasan), , hal. 401.
- Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), , hal. 160.
- `Abd al-Raḥmān bin Abū Bakr al-Suyūṭī (Jalāl al-Dīn), , hal. 246.
[26] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid.
[27] Ḥuṣain menggunakan huruf sad, bukan sin seperti nama Imam Ḥusain. Menurut Imam Tabari, ayah Husain bernama Tamaim. Untuk selanjutnya, Husain bin Numair disebut Ibnu Numair.
[28] Qadisiyah adalah sebuah tempat di Irak. Letaknya berada sekitar 2 marhalah atau 15 farsakh dari Kufah. Hal itu setara dengan 80-90 kilometer. Bila menghitung dari Bagdad, jaraknya sekitar 5 marhalah. Di sana, pada tahun 16 Hijriah terjadi pertempuran antara Sayidina Saad bin Abi Waqas beserta tentara muslim dengan tentara Persia, pada masa pemerintahan Amirulmukminin Umar bin Khattab. Lihat:
- Yāqūt bin `Abdillāh al-Ḥamawī al-Rūmī al-Bagdādī (Syihāb al-Dīn Abū `Abdiilāh), Mu`jam al-Buldān, Juz IV (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Tanpa Tahun), hal. 331.
- Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī al-Dimasyqī (Muḥy al-Dīn Abū Zakariyyā), , Jilid III, hal. 534.
[29] Khaffan adalah sebuah tempat di Irak dekat dengan Kufah dan berada di atas Qadisiyah. Jalur kota ini terkadang dilalui orang-orang Kufah yang hendak berhaji. Lihat: Yāqūt bin `Abdillāh al-Ḥamawī al-Rūmī al-Bagdādī, Ibid., Juz II, hal. 434.
[30] Qutqutanah atau Qitqitanah adalah sebuah tempat dekat Kufah dari arah gurun. Lihat: Ibid., Juz IV, hal. 425.
[31] Laklak adalah sebuah gunung yang berada di antara Kufah dan Basrah. Lihat: Ibid., Juz V, hal. 21.
[32] Hajir adalah sebuah tempat yang subur karena dekat dengan bibir sungai. Lihat: Ibid., Juz II, hal. 236.
[33] Rummah adalah nama salah satu aliran sungai yang mengalir dari Madinah menuju lembah Rummah yang berada di Nejd. Dikatakan bahwa, bila orang Basrah dan Kufah hendak ke Madinah, mereka akan berkumpul di Rummah untuk mendirikan perkemahan. Lihat: Ibid., Juz III, hal. 81-82.
[34] Dalam Tarikh Tabari dan al-Kamil Ibnu Asir, hanya disebutkan bahwa Qais memintakan ampun untuk Imam Ali. Namun, dalam Tarikh Ibnu Kasir, disebutkan bahwa Qais juga memintakan ampun untuk Imam Husain.
[35] Saklabiah adalah nama tempat yang berada dalam jalur Mekah menuju Kufah setelah Syuquq sebelum Huzaimah. Bila berjalan dari Mekah menuju Kufah, Saklabiah adalah sepertiga perjalanannya. Di tempat tersebut, terdapat mata air yang dinamakan Duwaijah yang berukuran satu mil membentang ke arah perbukitan. Lihat: Ibid., Juz II, hal. 91.
[36] Dalam Tarikh Ibnu Kasir, yang mengatakan ini secara langsung adalah orang lain yang baru keluar dari Kufah, bukan al-Asadi bersaudara. Dikatakan bahwa ketika Imam Husain berbincang dengan kedua orang al-Asadi, datang seorang lelaki yang baru keluar dari Kufah. Kemudian, mereka menanyainya dan mengalirlah cerita dia sebagaimana yang telah disebutkan.
[37] Zubalah adalah salah satu jalur yang dilalui dari Mekah menuju Kufah. Di dalamnya terdapat pemukiman yang dihuni oleh sederet pasar antara Waqisah dan Saklabiah. Lihat: Ibid., Juz III, hal. 145.
[38] Imam Tabari menyebutkan “dari Madinah”.
[39] Tempat yang berada di atas Nejd. Disebutkan bahwa di sana terdapat mata air yang mengalir dari Nejd. Lihat: Ibid., Juz III, hal. 375.
[40] Uzaib atau al-Atheeb adalah sebuah lembah yang di dalamnya terdapat mata air baik. Letaknya berada di antara Qadisiyah dan Mugisah. Adapun Mugisah adalah tempat perkemahan orang-orang yang sedang berhaji. Biasa digunakan oleh orang Iraq yang berasal dari Kufah. Jarak antara Uzaib dengan Qadisiyah adalah 4 mil (6,5 km), sementara jaraknya ke Mugisah adalah 32 mil (51,5 km). Lihat: Yāqūt bin `Abdillāh al-Ḥamawī al-Rūmī al-Bagdādī, Ibid., Juz IV, hal. 103.
[41] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid., hal. 272.
[42] Imam Tabari hanya mencantumkan dua bait syair, sementara Imam Ibnu Asir mencantumkan satu bait tambahan. Adapun jalan tengah yang diambil oleh Imam Ibnu Kasir, beliau mencantumkan dua bait syair yang ditulis oleh Imam Tabari. Kemudian, dilanjutkan dengan satu bait dari syair sebelumnya dan diakhiri dengan bait terakhir senada yang dituliskan Imam Ibnu Asir. Lihat:
- Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), , hal. 272.
- `Alī bin `Abd al-Kiram Muḥammad bin Muḥammad bin `Abd al-Karīm bin `Abd al-Wāḥid al-Syaibānī bin al-Aṡīr al-Jazarī (`Izz al-Dīn Abū al-Ḥasan), Ibid., hal. 409
- Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), Ibid., hal. 173.
[43] Ninawa adalah desa di mana Nabi Yunus bin Mata hidup. Disebutkan bahwa Ninawa adalah desa yang menghubungkan antara Kufah dengan Karbala. Ada uga yang menyebutkan bahwa nama tempat tersebut adalah Gadiriyah, yang lain menyebutnya Syuayah. Lihat: Yāqūt bin `Abdillāh al-Ḥamawī al-Rūmī al-Bagdādī, Ibid., Juz V, hal. 391.
[44] Aqr adalah tempat yang sangat luas hingga memasuki wilayah dekat Karbala. Lihat: Ibid., hal. 153.
[45] Karbala adalah nama tempat yang berada di tepi padang pasir dekat wilayah Kufah. Lihat: Ibid., hal. 505.
[46] Penulisan Husain sama seperti Ibnu Numair, yakni memakai huruf sad, bukan sin.
[47] Kirbat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bentuk nomina (kata benda), yang berarti pundi-pundi kulit yang biasa digunakan untuk tempat air, susu, dan sebagainya. Berasal dari bahasa Arab, yaitu “qirbah”.
[48] Teks syair lengkap bisa dilihat dalam Tārīkh al-Ṭabarī halaman 284 dan al-Kāmil Imam Ibnu Asir halaman 416. Adapun juz dan lainnya, sama seperti sebelumnya.
[49] Zuwaidan menggunakan huruf zal. Ini adalah pendapat Imam Tabari. Adapun menurut Imam Ibnu Asir, namanya adalah Duwaidan dengan menggunakan huruf dal.
[50] Semoga Allah merahmati ayah saya, yang juga menyandang nama Said al-Khudri.
[51] Dalam bahasa Arab, ungkapan tersebut adalah “ḥuzzhu ilā al-nār”. Kata “ḥuzz” merupakan kata perintah dari verba “ḥāza–yaḥūzu”. Kata “ḥauzah” masih turunan dari kata tersebut, merupakan bentuk masdar.
[52] Al-Muwaffiq bin Aḥmad al-Makkī Akhṭab Khawārizm, ed. Muhammad al-Samawi, al-Maqtal al-Ḥusain li al-Khawārizmī, Juz II (Iran: Anwar al-Huda, 1418 H), hal. 37.
[53] Imam Yahya bin Main adalah ahli hadis sekaligus sahabat Imam Ahmad bin Hambal. Beliau menimba hadis dari guru-guru terkemuka pada masanya, termasuk Imam Sufyan bin Uyainah dan Imam Syafei.
[54] Yūsuf bin `Abdillāh bin Muḥammad bin `Abd al-Barr bin `Āṣim al-Numarī al-Qurṭubī al-Mālikī, Ibid., Juz I, hal. 194.
[55] `Abd al-Raḥmān bin Abū Bakr al-Suyūṭī (Jalāl al-Dīn), Ibid., hal. 247.
[56] Ini adalah redaksi dari Imam Tabari dalam satu riwayat. Adapun dalam riwayat lain, juga diaminkan oleh Imam Ibnu Asir, keduanya tidak hanya membawa kepala Imam Husain, melainkan semua kepala syuhada. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa sejumlah orang turut serta membawa kepala syuhada. Disebutkan bahwa Kandah membawa 13 kepala syuhada yang berhasil dikumpulkan oleh Qais bin Asyas, Hawazin membawa 20 kepala yang dihimpun oleh Syamir bin Zuljausyan, Tamim membawa 17 kepala, Bani Asad membawa 6 kepala, Mazhij membawa 7 kepala, serta pasukan lain membawa 7 kepala. Lihat:
- Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), , hal. 307-308 dan hal. 315-316.
- `Alī bin `Abd al-Kiram Muḥammad bin Muḥammad bin `Abd al-Karīm bin `Abd al-Wāḥid al-Syaibānī bin al-Aṡīr al-Jazarī (`Izz al-Dīn Abū al-Ḥasan), Ibid., hal. 432
[57] Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), Ibid., hal. 240
[58] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid., hal. 311.
[59] Yūsuf bin Fargalī bin `Abdillāh al-Bagdādī (Sibṭ ibn al-Jauzī), ed. Kabir Muhammad Sadiq Bahrululum, Tażkirah al-Khawā´iṣ (Ninawa: Maktabah Ninawa al-Hadisah, Tanpa Tahun), hal. 261.
[60] Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī (Abū Ja`far), Ibid.
[61] `Abd al-Raḥmān bin Abū Bakr al-Suyūṭī (Jalāl al-Dīn), Ibid., hal. 248.
[62] Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), Ibid., hal. 204.
[63] `Alī bin al-Ḥasan bin Hibatullāh bin `Abdillāh bin `Asākir al-Syāfi`ī al-Dimasyqī, ed. Muhibbuddin Abu Said al-Amrawi, Tārīkh Madīnah Dimasyq, Juz 69 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal. 160-161.
[64] Ismā`īl bin `Umar bin Kaṡīr al-Dimasyqī (Abū al-Fidā`), Ibid..
[65] Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥajar al-Haitamī, Ibid., hal. 1131.
[66] Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥajar al-Haitamī, Ibid., hal. 1150.
1. Menurut anda
Dari mana Yazid bisa tau syair ibn zabari???
Siapa yg ngajarin????
Siapa yg paling sakit hatinya atas kekalahan dan kematian yg menimpa kafr Quraisy yg ada di perang Badr??
Siapa aktor champion dlm perang badrdr muslimin???
Yg sukses dan paling banyak menghabisi org Quraisy di badr??
Baik ketika duel atau perang terbuka
Dendam yg terbalaskan di uhud dgn syahid nya sayidina hamza
Bgm Sayidina hamza di mutilasi krn dendam yg membara….
Dan ucapan syair itu di dendangkan utk mengenang pahitnya kekalahan di badr!!
Syair ibn zabari adalah bukti kebencian dan kedengkian dan dendam atas kehilangan keluarga di badr
2. Zaman itu belum di temukan pijakan kaki utk kuda…
3. Sy tidak yakin Sayidina Husain itu org yg keras kepala…
Spt yg anda gambarkan di cerita ini atau sejarawan ceritakan…
Makasih
SukaSuka
Yg lain…
Anda tidak menyukai kezaliman…
Org baik tidak ada yg suka kezaliman
Dan tidak akan memberontak sbgm sahabat tidak mau memberontak kpd yazid
Yg notabene…
Apakah anda
Menganggap Sayidina Husain memberontak????
Dan menyelisihi ijtihad para sahabat???
Apakah anda lupa???
Kita di wajibkan bersholawat kpd nabi dan Ahlul bayt nya ketika sholat!!!
Dan
Alloh mengirimkan Sayidina musa as utk membebaskan kaum nya dr kezaliman firaun…
Dan jika referensi anda bhw dia pemimpin yg muslim…
Quran tidak pernah membahas ada seorang muslim yg bersikap zalim…
Obyektive itu kpd tindakan nya
Bukan subyektive kpd siapa pelaku itu…
Hukum itu buta!!!
Memberontak itu konteks situasional
Bukan doktrinal
Dan itu pilihan
Tapi saya menghargai ijtihad anda…
Yg terakhir…
Quran mencatat
Alloh memberikan dakwaaan
Kpd kaum Yahudi di zaman nabi saww
Atas kejahatan membunuhi para nabi2 terdahulu…
Dakwaan kpd org yg tidak mgkn sbg pelaku nyata pembunuhan tsb
Pertanyaannya kenapa????
Org Yahudi
SMP sekarang
Mencintai nabi2 nya (kecuali Sayidina al masih yg tidak mereka anggap sbg nabi)
Tapi juga mencintai pelaku kriminal dr leluhur mereka
Dan memuji2 nya
Sbgm mereka memuji2 nabi nya…
Apa bua
kita mencintai Sayidina umar
Dan bersikap mencintai abu lukuah al firauz yg sudah membunuh nya
Atau Sayidina ali dan ibn muljam bersamaan…
Diam
Itu tidak membahas
Kalau membahas
Pakai bahasa yg jelas
Itulah pilihan
Makasih
Maaf jika ada salah2 kata
SukaSuka