Baru-baru ini, saya melihat sebuah gambar yang cukup membuat berang. Pasalnya, di gambar tersebut terdapat tulisan yang dicetak dengan huruf kapital berbunyi, “Pendapat yang kuat adalah mengangkat jari telunjuk sejak awal tasyahud/tahiyat bukan menunggu sampai mengucapkan syahadat”. Bukan soal perbedaan pendapat yang membuat berang karena tata cara isyarat jari telunjuk dalam tasyahud memang masalah khilafiah. Namun, klaim ungkapan “pendapat yang kuat” lah yang membuat geram. Seolah-olah, praktik dan pendapat mayoritas muslim Indonesia yang menganut mazhab Syafei dicampakkan begitu saja.
Saya sudah membaca penjelasan singkat dari K.H. Ma’ruf Khozin di status Facebooknya dalam menjawab gambar tersebut. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau, agaknya penjelasan tersebut belum cukup untuk membuka mata dan telinga orang-orang penganut “mazhab Rasulullah”. Ya, sekali pun memang mau dijelaskan panjang lebar mereka sering kali masih menutup mata hatinya. Akan tetapi, usaha saya dalam menulis penjelasan tambahan terkait hal itu semoga bisa memperkuat fondasi peribadatan masyarakat Indonesia dan tidak terpengaruh paham-paham campur aduk di luar pemahaman empat mazhab.
Bila boleh jujur, sebenarnya klaim si pembuat gambar tersebut mengaco dan mengasal. Pemahaman mereka dangkal dan sebatas pada teks zahir dari satu hadis. Terlebih, mereka mengabaikan penjelasan sejumlah ulama pakar hadis dalam memberikan syarah (penjelas) terhadap hadis-hadis serupa tentang isyarat dalam tahiyat. Imam Baihaqi seolah tidak pernah terlahir ke dunia, pendapatnya dibuang mentah-mentah. Belum lagi, minimnya pemahaman fikih dan usul fikih membuat mereka bersikap gegabah dalam beristinbat. Lebih parah, mereka menganggap istinbatnya lebih kuat daripada jajaran ulama kenamaan sekaliber Imam Nawawi dan Imam Ibnu Qudamah.
Ketahuilah, bahwa sungguh di antara keempat mazhab yang masih eksis hingga sekarang, hanya mazhab Maliki yang berpendapat bahwa isyarat telunjuk dimulai sejak awal tasyahud hingga akhir. Itu pun, pemahaman mazhab Maliki boleh jadi berbeda dengan pemahaman si pembuat gambar. Sekali pun pemahaman mereka sama, pendapatnya bertentangan dengan mayoritas ulama. Bahkan, sebenarnya di kalangan ulama Maliki sendiri pun masih terdapat perbedaan pendapat yang beragam.
Dalil yang dijadikan sandaran oleh mereka (dalam gambar tersebut) terkait isyarat telunjuk dalam tasyahud adalah hadis yang dimuat oleh Imam Muslim dari Sayidina Abdullah bin Umar.[1] Bila hanya menggunakan dalil tersebut, ada beberapa kekurangan, salah satunya karena Imam Muslim menyendiri dalam meriwayatkan hadis tersebut. Artinya, tidak ada ulama lain yang meriwayatkan hadis dengan sanad dan matan seperti itu selain Imam Muslim. Bukan berarti hadis ini tidak sahih, tetapi ada hadis lain yang lebih sahih, jelas, dan lengkap. Bahkan, Imam Muslim sendiri mencantumkan hadis tersebut di urutan keempat dari hadis-hadis lain dalam bab “Sifat Duduk dalam Salat dan Tata Cara Meletakkan Kedua Tangan di Atas Kedua Paha”. Sementara telah mafhum bahwa Imam Muslim mengurutkan hadis yang diriwayatkan dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya dari mulai yang paling sahih hingga yang berada di bawahnya.
Dengan mengabaikan hadis-hadis lain, secara zahir matan hadis tersebut memang menggunakan preposisi (huruf ataf) wau sehingga setiap jenis pekerjaan bermakna setara dan dalam waktu yang bersamaan. Artinya, bila hanya melihat zahir matan satu hadis tersebut, Nabi berisyarat dengan telunjuk dalam waktu yang bersamaan ketika beliau meletakkan tangan kiri di atas lutut kirinya dan tangan kanan di atas lutut kanannya dengan membentuk angka ٥٣.
Akan tetapi, dalam ilmu nahu, sebenarnya huruf wau ataf tidak selalu bermakna sesuatu yang bersamaan. Imam Ibnu Malik dalam nazam Alfiyah-nya bait 541 menyebutkan, “Ataf-kan lafaz yang akan menyusul dan yang mendahului dengan huruf wau dalam hal hukum, atau lafaz yang memiliki makna bersamaan lagi bersesuaian.” Dalam menjelaskan bait tersebut, Imam Ibnu Aqil menyebutkan bahwa menurut ulama nahu Kufah, huruf wau ataf dipakai untuk menunjukkan makna tertib, sekali pun terbantahkan dengan ayat 37 surah al-Mu`minūn. Sementara menurut ulama Basrah, adakalanya huruf wau dapat dipakai sebagai huruf ataf untuk lafaz yang mempunyai pengertian akan menyusul, yang mendahului, dan yang bersamaan bila terdapat qarīnah (penghubung) yang menunjukkan pada hal-hal tersebut.[2]
Dalam hadis dari Sayidina Ibnu Umar memang tidak terdapat qarīnah yang jelas. Makanya kurang pas dijadikan dalil utama. Namun, hadis dari Sayidina Abdullah bin Zubair—dituliskan pertama kali oleh Imam Muslim dalam bab terkait—bisa dijadikan sebagai salah satu dalil adanya qarīnah. Disebutkan bahwa, “Apabila Rasulullah saw. duduk dalam salat, maka beliau meletakkan kakinya di antara paha dan lutut, memanjangkan kaki kanannya, meletakkan tangan kiri di atas lutut kirinya, meletakkan tangan kanan di atas paha kanannya, serta memberi isyarat dengan telunjuknya.”[3]
Dari hadis tersebut, terdapat qarīnah yang menunjukkan urutan. Pertama, Nabi duduk tasyahud[4], kemudian meletakkan kedua tangan di tempatnya masing-masing, kemudian baru memberi isyarat. Hal itu dapat dipahami bahwa Nabi telah menyempurnakan duduknya sebelum akhirnya menyimpan kedua tangannya, dan Nabi telah menyimpan kedua tangannya sebelum akhirnya memberi isyarat. Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi telah menyempurnakan duduknya sebelum menyimpan kedua tangannya adalah hadis Sayidina Ibnu Umar yang tidak menyebutkan duduknya Nabi terlebih dahulu.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa isyarat Nabi menggunakan jari telunjuk terjadi tidak bersamaan dengan meletakan kedua tangannya adalah hadis dari Sayidina Abdullah bin Zubair yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam Sunan. Disebutkan bahwa, “Ketika Rasulullah duduk dalam rakaat kedua atau rakaat keempat, beliau meletakkan kedua tangan di atas lututnya, kemudian memberi isyarat dengan jarinya.”[5]
Benar, Imam Nasai menyendiri dalam meriwayatkan hadis tersebut. Namun, riwayat tersebut dikuatkan oleh dua riwayat Imam Tabrani dalam al-Mu`jam al-Kabīr dari Sayidina Wail bin Hujr. Disebutkan bahwa setelah Nabi duduk tasyahud, “Maka beliau meletakkan telapak tangan kiri di atas paha kirinya dan meletakan siku kanan di atas paha kanannya. Kemudian, beliau menggenggam jari-jarinya dan membuat lingkaran dengan jari jempol dan tengahnya, kemudian berdoa dengan jari yang lain (telunjuk).” Dalam riwayat lain disebutkan, “Kemudian beliau memberi isyarat dengan telunjuknya dan meletakkan jempol dan jari tengahnya membentuk lingkaran.”[6]
Kata penghubung “kemudian” pada hadis tersebut tentu tidak diragukan lagi bermakna berurutan. Sehingga, bila hadis-hadis tersebut digabungkan, akan terlihat jelas urutannya. Pertama, setelah sujud kedua di rakaat kedua atau terakhir, Nabi duduk tasyahud dengan melipat dan memanjangkan kaki kanan ke belakang serta menyilangkan kaki kiri di antara paha dan lutut ke arah kanan, kemudian meletakkan siku kanan di atas paha kanan, meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri, meletakkan tangan kanan di atas paha kanan dengan jari manis dan kelingking digenggam, jari tengah dan jempol membuat lingkaran, kemudian jari telunjuk diangkat untuk memberi isyarat dengannya.
Selain itu, dalam memahami suatu hadis, kita tidak bisa langsung mengambil kesimpulan begitu saja. Apalagi derajat kita yang sangat jauh dari seorang mujtahid. Maka, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk melihat sejumlah pendapat pakar di bidangnya. Hal ini juga mengikuti perintah Allah dalam ayat 43 surah al-Naḥl dan ayat 7 surah al-Anbiyā` untuk bertanya kepada ahli ilmu bila tidak tahu. Sementara sejauh ini, hampir tidak ada yang mampu menandingi kepakaran Imam Nawawi dalam menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim. Dalam al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj, Imam Nawawi sama sekali tidak menyebutkan ada satu pendapat pun yang memaknai hadis isyarat dengan telunjuk dari awal tasyahud.[7]
Lebih lanjut dan perinci, dalam kitab al-Majmū` Syarḥ al-Muhażżab, Imam Nawawi menjelaskan dengan lengkap sejumlah perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab Syafei terkait tata cara menggenggam jari tangan kanan saat duduk tasyahud. Namun, pendapat “paling sahih” adalah seperti yang telah saya tulis sebelumnya. Adapun pendapat Imam Syafei bahwa jari jempol diluruskan seperti telunjuk, itu adalah pendapat lama (kaul kadim) yang terdapat dalam kitab al-Imlā`.[8]
Kalangan mazhab Maliki menyebutkan bahwa posisi jari tengah, manis, dan kelingking digenggam, jempol dibentangkan di bawah ketiga jari tersebut, serta telunjuk diluruskan membuat isyarat sehingga membentuk angka ٢٩. Syekh Sawi menyebutkan bahwa ketiga jari yang digenggam itu juga bisa dibuka sehingga membentuk angka ٢٣. Namun, yang pertama lebih diutamakan. Adapun tata cara menggenggam membentuk angka ٥٣ seperti pendapat jumhur ulama tidak disunahkan menurut pendapat mazhab Maliki.[9]
Terkait memberi isyarat dengan jari telunjuk, Syekh Ahmad Dardir menyebutkan dalam al-Syarh al-Sagīr, “Dan disunahkan senantiasa menggerakkan telunjuk dari awal hingga akhir tasyahud dari arah kanan dan kiri, bukan dari atas dan bawah dengan pergerakan yang sedang.”[10] Artinya, gerakan telunjuknya tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.
Dalil yang digunakan oleh kalangan Maliki terkait menggerakkan telunjuk adalah riwayat Imam Malik dalam kitab al-`Utbiyyah. Disebutkan bahwa Imam Malik ditanya tentang seorang lelaki yang bertasyahud, sementara ia menyelimuti diri dengan sāj[11], maka lelaki itu berisyarat dengan telunjuknya di balik sāj. Lantas, Imam Malik menjawab bahwa hal itu tidak mengapa. Disebutkan pula riwayat dari Abi Zaid yang berkata, “Aku melihat Malik ketika salat Subuh ia berdoa dan menggerakkan jarinya dengan cara ditekan (dilengkungkan atau condong ke bawah).” Disebutkan pula bahwa menggerakkan telunjuk bisa membinasakan setan.[12]
Akan tetapi, Imam Ibnu Arabi dalam `Āriḍah al-Aḥważī menyebut bahwa semestinya kalangan Maliki jangan melihat riwayat aneh dalam kitab al-`Utbiyyah yang menuturkan bahwa menggerakkan telunjuk bisa membinasakan setan. Imam Ibnu Arabi menyebutkan, “Ketahuilah bahwa apabila kalian menggerakkan jari untuk menghancurkan setan, maka ia bergerak untukmu sepuluh langkah. Sungguh menghancurkan setan itu dengan ikhlas, khusyuk, zikir, dan berlindung. Adapun menggerakkan telunjuk, maka itu tidak akan menghancurkannya. Yang pasti, hendaknya cukup berisyarat dengan telunjuk.”[13]
Sebagai pembelaan, Imam Hattab al-Ruaini dalam Mawāhib al-Jalīl menyebutkan bahwa selain riwayat Imam Malik tersebut, mengerakkan telunjuk juga telah diterangkan oleh Imam Ibnu Hajib dan Imam Syas. Bahkan, Imam Ibnu Rusyd menghukumi gerakan telunjuk dalam salat itu sunah.[14] Akan tetapi, di dalam Bidāyah al-Mujtahid, Imam Ibnu Rusyd justru menulis, “Dan ulama berbeda pendapat terkait pergerakan jari-jari karena adanya perbedaan riwayat di dalamnya. Yang pasti bahwa hal itu cukup memberi isyarat saja.”[15]
Kalangan Maliki juga memakai hadis dari Sayidina Wail bin Hujr yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagai salah satu dalil menggerakkan telunjuk. Setelah menuturkan tentang tata cara salat Nabi dari mulai takbir hingga duduk tasyahud, Sayidina Wail berkata, “Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (tiga jari dalam riwayat Imam Baihaqi) dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya yang lain, maka kulihat beliau menggerakkannya dan berdoa dengannya.”[16] Hadis itu juga diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam al-Sunan[17] Imam Tabrani dalam al-Mu’jam[18], dan Imam Baihaqi dalam al-Sunan.[19]
Maksud dua (atau tiga) jari yang digenggam adalah jari manis dan kelingking, jari yang dibuat lingkaran adalah jari tengah dan jempol, serta jari yang diangkat untuk memberi isyarat adalah jari telunjuk. Syekh Sawi[20] juga menyebutkan bahwa menggerakkan telunjuk dalam salat itu untuk menakut-nakuti setan sebagaimana hadis dari Sayidina Ibnu Umar dari Nabi saw.[21]
Terkait hadis Sayidina Wail, Imam Baihaqi menyebutkan bahwa derajatnya sahih. Akan tetapi, maksud dari isyarat dengan menggerakkan telunjuk adalah menggerakkan tanpa pengulangan.[22] Artinya, pergerakan jari telunjuk dalam tasyahud cukup sekali. Dengan demikian, hadis tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan hadis dari Sayidina Ibnu Zubair yang berstatus hasan. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud bahwa, “Nabi saw. berisyarat dengan telunjuknya ketika berdoa dan tidak menggerakkannya.”[23]
Syekh Muhammad Syamsulhaq Abadi menjelaskan makna “tidak menggerakkannya” dengan mengutip pendapat Ibnu al-Muluk, bahwa hadis tersebut menjadi dalil tidak digerakkannya telunjuk ketika diangkat sebagai isyarat. Itulah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syekh Salamullah dalam al-Muḥalala Syarḥ al-Muwaṭṭa` yang menyebutkan hadis dari Sayidina Wail sebelumnya. Dari kedua pendapat tersebut, Syekh Abadi menyimpulkan bahwa maksud menggerakkan di sana adalah mengangkat telunjuk, tidak lebih. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Baihaqi. Adapun pembelaan kalangan mazhab Maliki terkait dua hadis yang bertentangan tersebut (dari Sayidina Ibnu Zubair dan Sayidina Wail), mereka mengatakan bahwa menggerakkan telunjuk atau tidak bukan hal yang wajib sehingga kedua riwayat tersebut bisa digunakan, tanpa menyelisihi satu sama lain.[24]
Ketika menjelaskan hadis riwayat Imam Ahmad, Syekh Syuaib al-Arnaut menuturkan bahwa hadis tersebut sahih kecuali kalimat “maka kulihat beliau menggerakkannya dan berdoa dengannya”. Menurutnya, kalimat tersebut ganjil karena hanya ada dalam riwayat Zaidah bin Qudamah dari Asim bin Kulaib. Adapun sebelas periwayat lain dari Ibnu Kulaib, seluruhnya tidak ada yang menambahkan kalimat tersebut. Syekh Arnaut menyebutkan sebelas orang yang meriwayatkan dari Ibnu Kulaib, yaitu Abdulwahid bin Ziyad, Syukbah bin al-Hajjaj, Imam Sufyan Sauri, Zuhair bin Muawiyah, Imam Sufyan bin Uyainah, Abu al-Ahwas Salam bin Salim, Basyar bin al-Mufaddal, Abdullah bin Idris al-Audi, Qais bin al-Rabi, Abu Awwanah Wadah bin Abdullah, dan Khalid bin Abdullah al-Wasiti.[25]
Dari kesebelas orang itu ditambah Zaidah, semuanya dimasukkan ke dalam tabaqah ketujuh oleh Imam Zahabi, kecuali Basyar dan al-Audi yang masuk tabaqah kesembilan, serta Syukbah yang masuk tabaqah keenam. Menurut Imam Ibnu Hajar Asqalani, Imam Ibnu Uyainah masuk ke dalam tabaqah kedelapan. Menurutnya, tabaqah keenam adalah generasi yang hidup di masa akhir sahabat, tetapi tidak ada catatan pertemuannya dengan sahabat, seperti Ibnu Juraij. Tabaqah ketujuh adalah tempat bagi para pembesar tabiut tabiin, seperti Imam Sufyan Sauri. Tabaqah kedelapan adalah tempat bagi tabiut tabiin generasi pertengahan, seperti Imam Ibnu Uyainah dan Ibnu Ulayyah. Tabaqah kesembilan adalah tempat bagi tabiut tabiin generasi akhir, seperti Yazid bin Harun, Imam Syafei, Imam Daud al-Tayalusi, dan Abdulrazaq.[26]
Adapun hadis dari Sayidina Ibnu Umar terkait menggerakkan telunjuk dalam salat dapat menakuti setan, Imam Nawawi menyebut hadis tersebut tidak sahih.[27] Imam Baihaqi juga menyebutkan bahwa Muhammad bin Umar al-Waqidi menyendiri dalam meriwayatkan hadis tersebut, dan ia adalah seorang yang tidak kuat dalam meriwayatkan hadis. Imam Baihaqi mengatakan bahwa justru Imam Mujahid lah yang mengatakan, “Seorang lelaki yang menggerakkan tangannya ketika duduk dalam salat itu dapat menghancurkan setan.” Jadi, ungkapan itu bukan berasal dari Nabi, tetapi dari Imam Mujahid.[28]
Lebih lanjut, Imam Zakaria al-Ansari dalam Asnā al-Maṭālib menyebutkan bahwa menggerakkan telunjuk ketika tasyahud adalah makruh karena dapat menghilangkan kekhusyukan.[29] Bagaimana akan khusyuk bila jari telunjuk “menari” di depan mata? Sekali pun orang bersangkutan khusyuk, bagaimana dengan orang di sampingnya saat salah berjemaah? Akan tetapi, Imam Nawawi mengatakan bahwa hukum makruh tersebut tidak lantas membatalkan salat karena hal itu hanya gerakan kecil dan ringan.[30]
Lantas kapan seharusnya seseorang mengangkat telunjuknya untuk memberi isyarat dalam tasyahud? Yang jelas, jumhur ulama menyebutkan bahwa isyarat tersebut tidak dilakukan sejak awal tasyahud. Hal itu berpedoman pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Disebutkan bahwa seorang lelaki ahli Madinah salat di samping Sayidina Khafaf bin Ima al-Gifari. Saat duduk tasyahud, ia memberi isyarat dengan (dalam satu riwayat memanjangkan) telunjuknya dan hal itu dilihat oleh Sayidina Khafaf. Selesai salat, Sayidina Khafaf bertanya mengapa lelaki tersebut tidak melakukan seperti yang dilakukannya (yakni tidak memberi isyarat). Lelaki tersebut menjawab bahwa ketika orang-orang musyrik melihat Nabi memberi isyarat dengan telunjuknya dalam salat, mereka berkata bahwa Nabi hendak menyihir mereka. Padahal, Nabi berisyarat dengan telunjuk dengan tujuan tauhid atau untuk mengesakan Allah.[31]
Benar, hadis tersebut diriwayatkan oleh orang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi, riwayatnya diterima dengan tiga sebab. Sebab pertama, derajat lelaki tersebut boleh jadi sahabat Nabi. Hal itu tecermin dari penjelasannya yang menuturkan kisah Nabi secara langsung. Artinya, ia hadir ketika orang-orang musyrik menganggap bahwa Nabi akan menyihir mereka. Riwayat sahabat yang tidak dikenal juga terjadi pada hadis merapatkan dan meluruskan salat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayidina Anas bin Malik, bahwa ketika Rasulullah meminta jemaah untuk merapatkan saf, “Ada salah seorang di antara kami yang merapatkan pundaknya dengan pundak temannya dan kakinya dengan kaki temannya.”[32]
Sebab kedua, orang tersebut adalah ahli Madinah yang sedang salat di masjid Bani Gifar, sementara Bani Gifar menempati wilayah di antara Mekah dan Madinah. Artinya, di luar kota Madinah. Perbuatan lelaki ahli Madinah tersebut tentu saja mengikuti amalan penduduk Madinah secara umum. Sementara amal ahli Madinah (apalagi di masa sahabat Nabi) adalah rujukan dalam beribadah sehingga Imam Malik menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum.
Sebab ketiga, ada dua riwayat yang senada yang keduanya didukung oleh riwayat lain. Misalnya, riwayat dari Imam Abu Ishaq al-Syaibani yang menyebutkan bahwa Sayidina Abdullah bin Abbas ditanya tentang seorang yang berisyarat dengan telunjuknya untuk berdoa. Sayidina Ibnu Abbas menjawab bahwa hal itu adalah ikhlas (mengesakan Allah).[33] Lelaki yang dimaksud adalah Sayidina Saad bin Abi Waqas, mengacu pada riwayat Imam Nasai dari Sayidina Abu Hurairah.[34] Bisa jadi yang dimaksud lelaki tidak dikenal seperti yang disebutkan sebelumnya. Siapa pun lelaki yang dimaksud, tujuannya memberi isyarat dengan telunjuk adalah untuk mengesakan Allah. Untuk itu, Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa ketika memberi isyarat, seseorang hendaknya berniat dengan ikhlas mengesakan Allah.
Dari riwayat-riwayat tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa isyarat dengan telunjuk dalam salat dilakukan ketika sampai pada lafaz tauhid untuk menggesakan Allah. Adapun terkait tempat lafaz tauhid, ulama berbeda pendapat. Kalangan mazhab Hanafi menganggap bahwa kalimat tauhid itu ada pada penafian dan penetapan. Sehingga, mereka menghukumi sunah mengangkat telunjuk sebagai isyarat tauhid pada saat mengucapkan penafian “lā Ilāha” (tiada Tuhan) saat tasyahud, dan menurunkannya lagi pada saat mengucapkan penetapan “illallāh” (kecuali Allah). Itu adalah pendapat yang sahih menurut mereka sebagaimana ungkapan Imam Syurunbulali dalam Nūr al-Īḍāḥ.[35]
Akan tetapi, pendapat yang dipilih oleh para ulama India adalah tidak ada isyarat dengan telunjuk dalam tasyahud. Mereka beralasan bahwa jajaran guru mazhab Hanafi tidak melakukan hal itu dan menghukuminya makruh.[36] Barangkali, ungkapan tersebut mengacu pada pernyataan Imam Kasani yang mengatakan, “Sebagian guru kami mengatakan tidak berisyarat dengan telunjuk dalam salat. Hal itu karena di dalamnya meninggalkan sunah tangan yang seharusnya diletakkan (diam).” Akan tetapi, Imam Kasani telah menjawab bahwa tetap disunahkan berisyarat pada lafaz tauhid. Hal itu merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani, dan pendapatnya sendiri.[37]
Dalam al-Khulāṣah al-Fiqhiyyah, disebutkan bahwa tidak ada satu pun jari yang digenggam ketika memberi isyarat.[38] Artinya, isyarat tangan diangkat dengan mengarah ke atas. Ungkapan tersebut barangkali mengikuti Imam Nasafi yang menyebutkan dalam Kanz al-Daqāˊiq bahwa kedua tangan disimpan di atas paha dan jari-jarinya dibentangkan.[39] Bedanya, Imam Nasafi tidak menyebutkan adanya isyarat tangan. Hal ini berbeda dengan Imam Kasani yang menyebutkan tata cara memberi isyarat dan menggenggam jari dengan mengutip pendapat Ahli Madinah dan Imam Abu Jakfar al-Hamdani, yakni jari manis dan kelingking digenggam, jari tengah dan jempol dilingkarkan, jari telunjuk memberi isyarat sehingga membentuk angka ٥٣.[40]
Di luar daripada itu, pendapat terbaru dan tepercaya serta diikuti oleh mayoritas penganut mazhab Hanafiah adalah seperti yang diungkapkan Mullah Ali Qari dalam Tazyīn al-`Ibārah. Disebutkan bahwa, “Pendapat yang sahih dan terpilih bagi mayoritas ulama kami adalah meletakkan kedua telapak tangan di atas paha (artinya, tangan kanan awalnya dibuka). Kemudian setelah tiba pada kalimat tauhid, jari manis dan kelingking digenggam, jari tengah dan jempol dilingkarkan, dan memberi isyarat dengan telunjuk dengan cara mengangkatnya ketika penafian (lafaz lā Ilāha) dan meletakkaannya kembali ketika penetapan (lafaz illallāh). Kemudian tetap dalam keadaan seperti itu (yakni tangan kanan tetap digenggam, tidak dibuka).”[41]
Kalangan mazhab Syafei menganggap bahwa maksud mengesakan Allah adalah pada saat menetapkan tunggalnya Allah. Sehingga, kami menghukumi sunah mengangkat telunjuk sebagai isyarat tauhid ketika mengucapkan syahadat dalam tasyahud dan sampai pada hamzah pada kalimat “illāllāh” (kecuali Allah). Kami mengangkat telunjuk tersebut hingga akhir tasyahud tanpa menggerak-gerakannya. Hal itu sebagaimana diungkapkan di hampir semua kitab fikih mazhab Syafei, di antaranya dua kitab Imam Nawawi, Minhāj al-Ṭālibīn[42] dan Rauḍah al-Ṭālibīn[43]. Bahkan, dalam al-Majmū` disebutkan bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat Imam Syafei, para muridnya, dan Ashabulwujuh.[44]
Ashabulwujuh dalam mazhab Syafei adalah mereka yang masuk derajat mujtahid mazhab atau mujtahid muqayyad, satu tingkat di bawah mujtahid mutlak gair mustaqil atau mujtahid muntasib (para murid Imam mazhab). Mereka mampu menghukumi persoalan baru yang muncul dan belum sempat terbahas oleh imam madzhab berdasarkan kaidah ijihad imam madzhab. Yang termasuk di dalamnya adalah Imam Ibnu Suraij, Dua Imam Qaffal, dan Imam Abu Hamid al-Isfarayaini. Informasi lebih lengkap soal mujtahid mazhab atau Ashabulwujuh bisa dilihat di dalam al-Ijtihād wa Ṭabaqāt Mujtahidī al-Syāfi`iyyah karya Dr. Muhammad Hasan Hitou.[45]
Kalangan mazhab Hambali menganggap bahwa maksud mengesakan Allah adalah pada saat menyebut nama Allah. Sehingga, mereka menghukumi sunah berisyarat dengan mengangkat telunjuk ketika nama Allah diucapkan, tanpa menggerak-gerakannya. Artinya, ketika nama Allah disebut, jari telunjuk diangkat dan diturunkan kembali. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah di dalam al-Mugnī. Imam Ibnu Qudamah berpedoman pada hadis dari Sayidina Ibnu Zubair[46]. Sementara Syekh Ibnu Qayim al-Jauziyah dalam Zād al-Ma`ād memilih menggunakan hadis dari Sayidina Wail. Beliau mengesampingkan hadis dari Sayidina Ibnu Abbas dengan alasan bahwa hadis tersebut bukan dalam salat. Sekali pun dalam salat, hadis tersebut merupakan bentuk penafian sementara hadis Sayidina Wail merupakan penetapan, sehingga lebih didahulukan. Namun, tidak dijelaskan kapan telunjuk mulai digerakkan.[47]
Alhasil, tidak ada satu pendapat pun yang menyebutkan bahwa isyarat dengan telunjuk dalam tasyahud dimulai dari awal duduk, kecuali kalangan mazhab Maliki. Di dalam mazhab Maliki pun terdapat perbedaan pendapat, apakah isyarat tersebut digerakkan atau tidak. Imam Abu Abbas al-Qurtubi dalam al-Mufhim menyebutkan bahwa kalangan penduduk Irak mencegah untuk menggerakkannya. Sementara mayoritas ulama dan mayoritas penganut mazhab Maliki memilih untuk menggerakkannya. Terkait tata cara menggerakkannya pun ulama masih berbeda pendapat, ada yang menggerakkan secara terus menerus dari awal hingga akhir tasyahud, ada yang hanya menggerakkan ketika sampai pada kalimat tauhid.[48]
Di Indonesia, kelompok yang mengambil pendapat penduduk Irak adalah warga Muhammadiyah. Dalam Fikih Kebangsaan dan Tuntunan Shalat disebutkan, “…, dan jari telunjuk tangan kanan diacungkan pada saat memulai membaca doa tasyahud (at-taḥiyyātu lillāh).”[49] Pandangan Muhammadiyah ini juga sejalan dengan Kamal Salim, salah satu penganut paham salafi seperti termuat dalam Ṣaḥīḥ Fiqh al-Sunnah.[50]
Adapun kelompok yang mengambil pendapat mazhab Maliki dengan menggerak-gerakan telunjuknya adalah jemaah Persatuan Islam (Persis). Dalam Risalah Shalat disebutkan, “…, kemudian berisyaratlah dengan jari telunjuk dan gerak-gerakkan.”[51] K.H. Ahmad Hassan dalam Pengajaran Shalat menuturkan dua hadis sebagai dalil, yaitu riwayat Imam Ahmad dari Sayidina Wail dan riwayat Imam Muslim dari Sayidina Ibnu Zubair.[52] Akan tetapi, mereka tidak memerinci bagaimana tata cara menggerakkan jari beserta kecepatannya, sehingga terkadang ditemukan gerakan yang berlebihan dan justru mengganggu. Lazimnya, mereka menggerakkan telunjuk dari atas dan bawah, bukan dari kanan dan kiri sebagaimana pendapat mazhab Maliki.
Pemahaman Persis ini sama seperti Syekh Albani, salah seorang ulama kenamaan dari kelompok Salafi. Dalam Aṣl Ṣifah Ṣalāh al-Nabī, Syekh Albani menyebutkan bahwa memang tidak ada hadis yang menerangkan secara jelas terkait tata cara menggerakkan jari dalam tasyahud. Jadi, orang bisa memilih bagaimana menggerakkannya sesuai kehendaknya. Akan tetapi, menggerakkan telunjuk tersebut sebaiknya dengan gerakan yang mendekati keadaan salat dan mengarah pada kekhusyukan.[53] Sayangnya, Syekh Albani seperti menelan mentah-mentah ungkapannya sendiri ketika beliau menggugat pemahaman kelompok mazhab Syafei dan mazhab lain terkait menggerakkan telunjuk pada saat membaca kalimat tauhid.
Di sisi lain, Syekh Albani membebaskan orang untuk menggerakkan jari dalam tasyahud sesuai kehendaknya. Namun, ia juga mengkritik pendapat Mullah Ali Qari dan menyebutnya tidak sahih. Ia juga mengkritik pendapat Imam Baihaqi dan menyebutnya tidak kuat. Syekh Albani menganggap bahwa menggerakkan telunjuk dalam tasyahud berlangsung terus menerus dari awal hingga akhir. Namun, ia hanya menjadikan hadis Sayidina Wail sebagai dalil. Padahal, hadis tersebut sama sekali tidak secara jelas menyebutkan pergerakan yang kontinyu. Justru pendapat Imam Baihaqi yang menyebut pergerakan di sana sebagai pergerakan sekali tanpa diulang sangat masuk akal dan sesuai dengan hadis-hadis lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Salah satu alasan Syekh Albani menolak pendapat Imam Baihaqi adalah, karena hadis Sayidina Ibnu Zubair yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan tambahan “tidak menggerakkannya” dinilai tidak sahih. Padahal, Imam Nawawi menyebut hadis tersebut sahih. Kalau pun tidak, setidaknya hasan sebagaimana pendapat Syekh Arnaut. Namun, Syekh Albani beralasan bahwa hadis tersebut diriwayatkan Imam Abu Daud melalui jalur Ziyad bin Saad dari Ibnu Ajlan. Sementara riwayat lain melalui jalur Lais bin Saad oleh Imam Muslim, Abu Khalid al-Ahmar oleh Imam Baihaqi, Imam Ibnu Uyainah dari Imam Darami dan Imam Ahmad, serta Yahya bin Said oleh Imam Abu Daud sendiri dan Imam Nasai, semuanya dari Ibnu Ajlan dan tidak terdapat tambahan tersebut.[54]
Benar, dalam usul fikih ada kaidah yang membahas tentang penambahan dalam sebuah hadis dan tidak ada dalam hadis lain yang sejenis, oleh seorang perawi tepercaya. Bila para periwayat itu tidak berada dalam satu majelis ketika mendengar hadis yang sama, maka tambahan dari satu riwayat yang berbeda bisa diterima. Akan tetapi, bila para perawi tersebut berada dalam satu majelis yang sama, ulama berbeda pendapat.
Imam Zarkasyi menyebutkan ada 13 pendapat dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ[55]. Namun, secara ringkas pembagian tersebut bisa diuraikan menjadi lima bagian. Pertama, diterima secara mutlak, ini adalah pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadis. Kedua, tidak diterima secara mutlak, ini adalah pendapat pembesar mazhab Hanafi dan Imam Samani. Ketiga, ditangguhkan (boleh diterima atau ditolak). Keempat, tidak diterima bila perawi yang tidak menambahkan riwayat sekaliber orang yang tidak lalai atas tambahan semacam itu secara adat, bila tidak begitu maka riwayat tambahan bisa diterima. Ini adalah pendapat Imam Amidi dan Imam Ibnu Hajib. Kelima, ditolak. Alasannya sama dengan yang keempat dengan tambahan bahwa orang yang tidak menambahkan riwayat itu kuat hafalannya atau menjelaskan tentang tidak adanya tambahan. Ini adalah pendapat terpilih dalam mazhab Syafei kontemporer sebagaimana diungkapkan Imam Tajuddin Subki[56] dan disetujui oleh Imam Zakariya al-Ansari[57].
Apabila mengikuti pendapat yang pertama, maka riwayat tambahan oleh Imam Abu Daud dapat diterima secara mutlak. Namun, apabila riwayat tersebut ditolak, maka riwayat tambahan tentang menggerakkan telunjuk juga harus ditolak. Hal itu karena tambahan tersebut hanya ada dalam riwayat Zaidah bin Qudamah dari Asim bin Kulaib sebagaimana disebutkan sebelumnya. Artinya, Zaidah menyendiri dalam penambahan riwayatnya, padahal periwayat lain yang sekelas bahkan tingkatannya lebih tinggi darinya tidak. Akan tetapi, Syekh Albani agaknya lalai akan hal tersebut karena telanjur bernafsu menyalahkan pendapat mazhab lain.
Atas dasar hal itu, mayoritas ulama menerima penambahan riwayat terkait menggerakkan telunjuk dari Zaidah oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, Imam Tabari, dan Imam Baihaqi, juga menerima penambahan riwayat terkait tidak menggerakan telunjuk dari Ziyad bin Saad oleh Imam Abu Daud. Adapun terkait pendapat Syekh Ibnu Qayim bahwa isbat lebih didahulukan daripada nafi, hal itu benar adanya dalam ilmu usul fikih. Imam Haramain al-Juwaini dalam al-Burhān menyebutkan, “Apabila berkumpul dua lafaz yang saling bertentangan, yang satu nafi dan yang lain isbat, maka telah berkata mayoritas fukaha bahwa isbat itu didahulukan.”[58]
Lalu, mengapa masih memakai riwayat Imam Abu Daud? Hal itu karena dua hadis yang bertentangan tersebut dimediasi oleh hadis dari lelaki tak dikenal terkait isyarat Nabi yang menunjukkan keesaan Allah. Seandainya kedua hadis yang berlawanan tersebut tidak diterima, maka hadis tentang isyarat tangan secara umum tetap bisa dikhususkan dengan adanya hadis tentang isyarat tangan untuk mengesakan Allah.
Syekh Albani juga mengklaim bahwa Imam Ahmad menggerak-gerakkan telunjuknya dengan menjadikan riwayat dari Imam Ishaq bin Hani sebagai dalil.[59] Padahal, pertanyaan Imam Ibnu Hani kepada Imam Ahmad adalah tentang memberi isyarat dengan telunjuk, bukan tentang menggerak-gerakkannya.[60] Syekh Albani juga mengatakan bahwa, seandainya menambahan riwayat “tidak menggerak-gerakkannya” diterima, maka yang sunah adalah menggerakkan telunjuknya di satu waktu dan tidak menggerakkannya di lain waktu.[61] Hal ini tidak bisa diterima karena ulama salaf tidak melakukan hal tidak konsisten seperti itu. Justru pendapat jumhur lah yang layak dipakai dengan hanya menggerakkannya ketika sampai kalimat tahuid. Betapa mereka telah sangat matang merumuskan hukum sejak dahulu kala. Lantas, tiba-tiba kita yang datang belakangan bersikap kurang ajar dengan menyalahkan pendapat mereka.
Alhasil, pendapat jumhur ulama—saya bisa mengatakan bahwa justru pendapat inilah yang paling kuat dari segi mana pun—isyarat dengan jari telunjuk hanya dilakukan ketika sampai pada kalimat tauhid dengan niat ikhlas mengesakan Allah, serta tidak digerak-gerakkan. Maksud taḥrīk dalam hadis adalah menggerakkan tanpa pengulangan. Adapun maksud kalimat tauhid, ada tiga pendapat. Mazhab Hanafi berkata bahwa jari telunjuk diangkat ketika penafian dan diturunkan kembali ketika penetapan syahadat. Mazhab Syafei berkata bahwa jari telunjuk diangkat ketika penetapan syahadat dan tidak diturunkan lagi hingga akhir tasyahud tanpa menggerak-gerakannya. Pendapat ini diambil oleh mayoritas masyarakat Nahdlatul Ulama di Indonesia. Mazhab Hambali berkata bahwa jari telunjuk diangkat ketika menyebut nama Allah kemudian diturunkan lagi tanpa menggerak-gerakannya.
Profesor Wahbah Zuhaili telah dengan sangat rapi dan sistematis memuat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut dalam kitabnya al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh[62]. Menurut saya, kitab tersebut adalah kitab fikih perbandingan mazhab yang paling bagus di masa modern ini. Selain kitab tersebut, ada juga kitab Fiqh al-Sunnah[63] karya Sayid Sabiq. Kitab tersebut lumayan bagus sebagai kitab perbandingan mazhab dan lebih lengkap mencantumkan riwayat hadis daripada karya Prof. Zuhaili yang lebih menekankan sudut pandang fikih. Keduanya sama-sama bagus dan bisa saling melengkapi satu sama lain.
Adapun kadar mengangkat jari telunjuk, adalah diangkat sedikit sehingga tidak keluar dari menghadap arah kiblat sebagaimana yang disebutkan Imam Ibnu Hajar Haitami dalam Tuḥfah al-Muḥtāj.[64] Tidak tegak lurus, tidak juga mengacung ke atas. Pendapat ini juga didasarkan pada hadis dari Numair al-Khuzai dari ayahnya yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam al-Sunan[65] dan Imam Ibnu Hibban dalam al-Ṣaḥīḥ[66]. Disebutkan bahwa Rasulullah mengangkat jari telunjuknya dan melengkungkannya sedikit sementara beliau sedang berdoa.
Ketika memberi isyarat, pandangan disunahkan untuk memandang ke ujung jari telunjuk yang sedang diangkat, seperti yang dikutip oleh Imam Umrani bahwa Imam Ibnu Sibag mengatakan, “Pandangan tidak melewati batas isyaratnya.”[67] Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud dari Sayidina Ibnu Zubair. Disebutkan bahwa, “Pandangan Nabi saw. tidak melebihi batas isyaratnya.”[68] Syekh Abadi menjelaskan maksud “tidak melewati” adalah pandangannya mengikuti dan melihat ke arah isyarat karena adab dan sesuai dengan nilai penghambaan.[69]
Sungguh kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat terkait isyarat dengan telunjuk dalam tasyahud. Namun, agak gerah ketika ada pihak yang seenaknya mengklaim paling benar dan menyalahkan hasil ijtihad ulama lain. Seolah-olah amalan mayoritas masyarakat Indonesia selama ini salah. Seolah-olah para ulama mazhab tidak memahami kaidah hukum dan sumber-sumber sahih. Ketahuilah, Imam Karkhi dalam Risālah-nya di bidang usul mengatakan bahwa, “Pada dasarnya, apabila telah muncul sebuah hukum dengan ijtihad, maka tidak bisa dihapus dengan ijtihad yang menandinginya, tetapi bisa dihapus dengan nas (Al-Qur’an dan hadis)”[70].
Jadi, sebenarnya dalam masalah khilafiah seseorang bisa berpegang pada pendapat satu orang mujtahid yang diyakini kebenarannya tanpa perlu mendiskreditkan pendapat lain, apalagi merasa paling sesuai Al-Qur’an dan hadis. Bila ijtihad tersebut ternyata memang benar, maka ia mendapat dua pahala. Bila salah, maka ia tetap mendapatkan satu pahala.
Betapa indah ungkapan Imam Ibnu Abdilbarr dalam al-Istiżkār ketika menanggapi perbedaan pendapat terkait menggerakkan telunjuk dalam tasyahud. Beliau berkata, “Semua itu (pendapat terkait menggerakkan telunjuk atau tidak) diriwayatkan dalam riwayat-riwayat sahih sanadnya dari Nabi. Semua praktik tersebut boleh, alhamdulillah.”[71] Lihat, betapa Imam Ibnu Abdilbarr tidak ambil pusing soal perbedaan pendapat. Bahkan, beliau sangat sedikit membahas hal ini dibanding masalah lain. Beliau paham bahwa setiap pendapat memiliki dalil masing-masing. Menggerakkan atau tidak, dari awal atau pas tauhid, semuanya dilandasi dalil. Perkara mana yang lebih sahih, ulama pun berbeda pendapat dalam standar kesahihannya.
Ketika kuliah, saya bergaul dengan orang-orang yang menggerakkan telunjuknya ketika bersiyarat dalam tasyahud. Biasa saja. Kami saling menghargai. Walau, saya tahu bahwa keempat mazhab tidak ada yang berpendapat begitu. Barangkali mereka punya dalil dan rujukannya sendiri. Selagi tidak mengusik tata cara peribadatan orang lain, buat apa diributkan? Bahkan sesekali menjadi bahan candaan, tentu tidak sampai menyakitkan, seperti menunjuk orang lain dengan menggerak-gerakkan telunjuknya.
Pernah suatu ketika teman saya bertanya, “Kok kamu mengusap wajah setelah salat. Kenapa?” Tanpa memusingkan dalil ini itu, saya menjawab sambil berkelakar, “Pusing, soalnya enggak konsen lihat telunjuk kamu menari-nari di depan mata saya.” Hahaha. Sesimpel itu sebenarnya. Gitu aja kok repot.
Namun masalahnya, di masa ini banyak sekali orang yang baru belajar agama, tetapi berani menyalahkan pendapat para ulama mujtahid. Padahal, derajat mereka sekadar taklid walau istilahnya sering diganti menjadi mutabik. Mereka sebatas mengetahui dan mengutip ayat dan hadis tanpa bisa mengambil hukum sendiri. Tidak jarang hanya dengan modal terjemahan. Atas dasar hal itu, saya menjawabnya dengan artikel ini dan menuntut hujah yang kredibel terkait pendapatnya yang mengaco. Orang lain sudah berpikir bikin peradaban di Mars, kita mah masih ribut soal khilafiah. Hadeh, hadeh.
Perlu diketahui, saya tidak meragukan kredibilitas Syekh Albani. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan ulama mazhab Syafei kontemporer, katakanlah Syekh Nawawi Banten, saya akan memilih mengikuti Syekh Nawawi. Sebagaimana saya lebih memilih Imam Nawawi dan Imam Subki daripada Syekh Ibnu Qayim dan Syekh Ibnu Taimiyah. Saya juga merasa perlu meluruskan bahwa saya tidak ada niat sedikit pun merendahkan bahkan mendebat Syekh Albani. Jujur, saya tidak mampu. Pengetahuan saya terkait ilmu agama jauh di bawah Syekh Albani. Semoga Allah merahmati beliau karena jasanya dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. Adapun derajat saya hanya sebagai orang yang taklid dan mencatut pendapat para ulama mujtahid.
Akan tetapi, saya sangat menyayangkan sikap Syekh Albani yang dengan mudah menyalahkan pendapat ulama terdahulu dengan mengklaim pendapatnya paling benar. Terlebih, tidak hanya satu atau dua ulama yang dikritiknya habis-habisan. Bukan hanya dalam masalah fikih beliau berseteru. Saya tidak bisa membayangkan, apa yang nanti akan dijawab oleh beliau ketika para ulama yang disalahkannya itu menuntut pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di hari perhitungan amal.
Ketahuilah, katakanlah kita lebih benar, lurus, saleh, sahih, dan teliti dibanding ulama terdahulu. Meski begitu, keutamaan kita tidak akan bisa melampaui keutamaan mereka yang telah lebih dahulu meletakkan dasar-dasar ilmu dalam agama. Saya jadi teringat Imam Ibnu Malik dan dua bait misteriusnya dalam nazam Alfiyah. Karena merasa lebih unggul dari pendahulunya, yaitu Imam Ibnu Muti, beliau langsung ditegur oleh Allah dengan dicabut hafalannya. Karena peristiwa itu, beliau bermimpi dengan Imam Ibnu Muti hingga muncullah dua bait tambahan yang tidak direncanakan sebelumnya:
Dan Ibnu Muti memang lebih dahulu serta mendapatkan keunggulan
Dia juga pantas mendapatkan pujian dariku dengan pujian keindahan
Semoga Allah senantiasa menganugerahkan pahala yang berlipat
Untukku juga untuknya dalam derajat yang tinggi kelak di akhirat[72]
Waahualam bissawab.
[1] Muslim bin al-Ḥajjāj al-Nīsabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, Juz I (Bandung: al-Maarif, tt), hal. 234.
[2] `Abdullāh bin `Abd al-Raḥmān bin `Abdillāh al-`Aqīlī, ed. Imil Badi Yaqub, Syarḥ Ibn `Aqīl `alā Alfiyyah Ibn Mālik, Juz II (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2019), hal. 62.
[3] Muslim, Ibidem.
[4] Tedapat perbedaan pendapat tentang tata cara duduk dalam dua tasyahud (awal dan akhir). Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Sauri, pada keduanya duduk iftirasy. Menurut Imam Malik, pada keduanya duduk tawaruk. Menurut Imam Syafei, pada tasyahud awal duduk iftirasy, tasyahud akhir duduk tawaruk, dan tasyahud pada salat dua rakaat juga duduk tawaruk. Menurut Imam Ahmad, apabila tasyahud pada salat dua rakaat maka duduk iftirasy, apabila pada salat lebih dari dua rakaat maka duduk iftirasy di tasyahud awal dan duduk tawaruk di tasyahud akhir. Lebih lengkap dengan sejumlah dalil dari masing-masing pendapat bisa merujuk pada kitab al-Majmū` Syarḥ al-Muhażżab dan al-Minhāj Syarḥ Muslim bin al-Ḥajāj, keduanya adalah karya Imam Nawawi.
[5] Aḥmad bin Syu`aib bin `Alī al-Nasāˊī, ed. Maktab Tahqiq al-Turas al-Islami, Sunan al-Nasāˊī bi Syarḥ al-Suyūṭī wa Ḥāsyiah al-Sindī, Juz II (Beirut: Dar al-Marefah, 2008), hal. 588.
[6] Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, ed. Muhammad Abdulmajid Al-Salafi, al-Mu`jam al-Kabīr, Juz XXII (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1983), hal. 34-35.
[7] Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī, ed. Khalil Makmun Syiha, al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj, Juz V (Beirut: Dar al-Marefah, 2010), hal. 81-84.
[8] Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī, ed. Adil Ahmad Abdilmaujud, dkk., al-Majmū` Syarḥ al-Muhażżab, Juz IV (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2007), hal. 440.
[9] Aḥmad bin Muḥammad bin Aḥmad al-Dardīr, ed. Mustafa Kamal Wasfi, al-Syarḥ al-Ṣagīr `alā Aqrab al-Masālik ilā Mażhab al-Imām Mālik wa bi al-Hāmisy Ḥāsyiyah al-Ṣāwī al-Mālikī, Juz I (Kairo: Dar al-Maaref, tt), hal. 330.
[10] Al-Dardīr, Ibidem, hal. 331.
[11] Sāj memiliki makna asli pohon jati, tetapi istilah ini digunakan untuk menyebut pakaian kebesaran berwarna hijau bagi para pembesar guru atau syekh. Untuk itu, dalam budaya Arab, hanya orang-orang besar dan berilmu yang layak mengenakan serban hijau, untuk menunjukkan kemuliaan dan kelayakan ilmunya.
[12] Muḥammad bin Aḥmad bin Muḥammad bin Aḥmad bin Rusyd al-Qurtubī al-Andalusī, ed. Muhammad Hujja, al-Bayān wa al-Taḥṣīl wa al-Syarḥ wa al-Taujīh wa al-Ta`līl fī Masāˊil al-Mustakhrajah wa Ḍimnahu al-`Utbiyyah, Juz I (Beirut: Dar al-Garb al-Islami, 1988), hal. 252-253.
[13] Muḥammad bin `Abdillāh bin Muḥammad bin `Arabī al-Mālikī, ed. Sadqi Jamil al-Attar, `Āriḍah al-Aḥważī bi Syarh Jāmi` al-Tirmiżī, Jilid I (Beirut: Dar el-Fikr, 2005), hal. 329.
[14] Muḥammad bin Muḥammad bin `Abd al-Raḥman al-Magribī al-Hattāb al-Ru`ainī, ed. Zakariya Amirat, Mawāhib al-Jalīl li Syarḥ Mukhtaṣar al-Khalīl, Juz II (Riyad: Dar Alim al-Kutub, 2002), hal. 249.
[15] Muḥammad bin Rusyd al-Qurtubī, ed. Abdulhalim Muhammad Abdulhalim, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣad, Juz I (Kairo: Dar al-Kubut al-Islamiyah, 1983), hal. 166.
[16] Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal al-Syaibānī, ed. Syuaib al-Arnaut dan Ibrahim al-Zibaq, Musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, Juz XXXI (Beirut: Al-Resalah, 1999), hal. 160.
[17] Al-Nasāˊī, Ibidem, Juz III, hal. 43-44.
[18] Al-Ṭabrānī, Ibidem, hal. 35.
[19] Aḥmad bin al-Ḥusain bin `Alī al-Baihaqī, ed. Muhammad Abdulqadir Ata, al-Sunan al-Kubrā, Juz II (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2003), hal. 189.
[20] Al-Dardīr, Ibidem, hal. 331.
[21] Al-Baihaqī, Ibidem.
[22] Al-Baihaqī, Ibidem.
[23] Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy`aṡ al-Sijistānī, ed. Muhammad Muhyiddin Abdulhamid, Sunan Abī Dāwud, Juz I (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah, tt), hal. 260.
[24] Muḥammad Syams al-Ḥaqq al-`Aẓīm Ābadī, ed. Abdulrahman Muhammad Usman, `Aun al-Ma`būd Syarḥ Sunan Abī Dāwud Ma`a Syarḥ al-Ḥāfiẓ Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Juz III (Madinah: Muhammad Abdulmuhsin, 1968), hal. 281.
[25] Aḥmad bin Ḥanbal, Ibidem, hal. 161-162.
[26] Aḥmad bin `Alī bin Ḥajar al-`Asqalānī, ed. Abdulwahhab Abdullatif, Taqrīb al-Tahżīb, Juz I (Beirut: Dar al-Marefah, 1975), hal. 6.
[27] Al-Nawawī, Ibidem, hal. 441.
[28] Al-Baihaqī, Ibidem, hal. 190.
[29] Zakariyyā bin Muḥammad bin Aḥmad bin Zakariyyā al-Anṣārī, Mahmud Matraji, Asnā al-Maṭālib Syarh Rauḍ al-Ṭālib wa Ḥāsiyah al-Syihāb al-Ramlī (Beirut: Dar el-Fikr, 2008), hal. 339.
[30] Al-Nawawī, Ibidem.
[31] Al-Baihaqī, Ibidem, hal. 191.
[32] Muḥammad bin Ismā`īl al-Bukhārī, Matan al-Bukhārī Masykūl bi Ḥāsyiyah al-Sindī, Juz I (Singapura, Jedah, dan Indonesia: al-Haramain, tt), hal. 132.
[33] Al-Baihaqī, Ibidem, hal. 191-192.
[34] Al-Nasāˊī, Ibidem, Juz III, hal. 45.
[35] Ḥasan bin `Ammār al-Syurunbulālī, ed. Said Bakdasy, Nūr al-Īḍāḥ wa Najāh al-Arwāḥ: Mukhtaṣar fi al-`Ibādāt fī al-Fiqh al-Ḥanafī (Madinah dan Beirut: Dar al-Siraj dan Dar al-Bashaer, 1983), hal. 139.
[36] Fatāwā al-Hindiyyah, Juz I (Bulaq: al-Amiriyah, 1310 H), hal. 76.
[37] Mas`ūd bin Aḥmad al-Kāsānī, ed. Muhammad Adnan bin Yasin Darwisy, Badā`iˊ al-Ṣanā`Iˊ fī Tartīb al-Syarā`iˊ, Juz I (Beirut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, 2000), hal. 501.
[38] Yāsir bin Aḥmad bin Badr bin al-Najjār al-Dimyāṭī, al-Khulāṣah al-Fiqhiyyah `alā Mażhab al-Sādah al-Ḥanafiyyah, Jilid I, hal. 177.
[39] `Abdullāh bin Aḥmad al-Nasafī, ed. Said Bakdasy, Kanz al-Daqāˊiq (Madinah dan Beirut: Dar al-Siraj dan Dar al-Bashaer, 1983), hal. 165.
[40] Al-Kāsānī, Ibidem, hal. 502.
[41] `Alī bin Sulṭān Muḥammad al-Qārī, ed. Usman Jumah Damiriyyah, Tazyīn al-`Ibārah li Taḥsīn al-Isyārah (Kairo: Dar al-Farouk, tt), hal. 65. Buku ini sangat bagus karena memuat sejumlah pendapat dari berbagai mazhab tentang isyarat telunjuk dalam salat.
[42] Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī, ed. Muhammad Muhammad Tahir Syakban, Minhāj al-Ṭālibīn (Jedah: Dar al-Minhaj, 2005), hal. 101.
[43] Yaḥyā bin Syaraf al-Nawawī, ed. Khalil Makmun Syiha, Rauḍah al-Ṭālibīn, Jilid I (Beirut: Dar al-Marefah, 2006), hal. 196.
[44] Al-Nawawī, al-Majmū`, hal. 441.
[45] Muḥammad Ḥasan Hitū, al-Ijtihād wa Ṭabaqāt Mujtahidī al-Syāfi`iyyah (Beirut: al-Resalah, 1988), hal. 40-47.
[46] `Abdullāh bin Aḥmad bin Qudāmah, al-Mugnī wa al-Syarḥ al-Kabīr li Syams al-Dīn bin Qudāmah (Beirut: Dar el-Fikr, 2011), hal. 608.
[47] Muḥammad bin Abī Bakr al-Zarā`ī bin Qayyim al-Jauziyyah, ed. Syuaib al-Arnaut dan Abdulqadir al-Arnaut, Zād al-Ma`ād fī Hadī Khair al-`Ibād, Juz I (Beirut: al-Resalah, 1998), hal. 231.
[48] Aḥmad bin `Umar bin Ibrāhīm al-Qurṭubī, ed. Ahmad Muhammad al-Sayid dkk., al-Mufhim lima Asykala min Talkhīṣ Kitāb Muslim, Juz II (Damaskud: Dar Ibn Katheer, 2012), hal. 202.
[49] Abdul Mu’ti dkk., Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXIX: Fikih Kebangsaan dan Tuntunan Salat dalam Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 03 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018), hal. 236.
[50] Kamāl bin al-Sayyid Sālim, Ṣaḥīḥ Fiqh al-Sunnah wa Adillatih wa Tauḍīḥ Mażāhib al-A`immah, Juz I (Kairo: Dar al-Taufiqiyah li al-Turas, 2010), hal. 307.
[51] Dewan Hisbah PP Persatuan Islam, ed. Aceng Zakaria, Risalah Shalat (Bandung: Persis Press, 2013), hal. 78.
[52] A. Hassan, Pengajaran Shalat (Bandung: Penerbit CV. Cipenogoro, 992), hal. 234.
[53] Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, ed. Saad bin Abdulrahman al-Rasyid, Aṣl Ṣifah Ṣalāh al-Nabī min al-Takbīr ila al-Taslīm (Riyad: al-Maaref, 2006), hal. 856.
[54] Al-Albānī, Ibidem, hal. 852-853
[55] Muḥammad bin Bahādur bin `Abdillāh al-Zarkasyī, ed. Muhammad Muhammad Tamir, al-Baḥr al-Muḥīṭ fī Uṣūl al-Fiqh, Juz III (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2007), hal. 386-389.
[56] Tāj al-Dīn `Abd al-Wahhāb bin `Alī al-Subkī, Abdulmunim Khalil Ibrahim, Jam` al-Jawāmi` fī Uṣūl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2003), hal. 68.
[57] Zakariyyā al-Anṣārī, Gāyah al-Wuṣūl Syarḥ Lubb al-Uṣūl (tk: Maktabah as-Salam, 2017), hal. 118.
[58] `Abd al-Malik bin `Abdillāh bin Yūsuf al-Juwainī, ed. Salah bin Muhammad bin Uwaidah, al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh, Juz II (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1997), hal. 204.
[59] Al-Albānī, Ibidem, hal. 854.
[60] Isḥāq bin Ibrāhīm bin Hāni` al-Nīsābūrī, ed. Zuhair Syawisy, Masāˊil al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal (Damaskus: al-Maktab al-Islami, tt), hal. 80.
[61] Al-Albānī, Ibidem, hal. 856.
[62] Wahbah al-Zuḥailī, Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Juz II (Damaskus: Dar el-Fikr, 2007), hal. 915-934.
[63] Al-Sayid al-Sābiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: Fath al-I`lam al-Arabi, 2004), hal. 117-118.
[64] Aḥmad bin Ḥajar al-Haitamī, ed. Sayid bin Muhammad al-Sannari, Tuḥfah al-Muḥtāj bi Syarh al-Minhāj, Jilid I (Kairo: Dar el-Hadith, 2016), hal. 80.
[65] Al-Nasāˊī, Ibidem, Juz III, hal. 46.
[66] , hal. 109.
[67] Yaḥyā bin Abī al-Khair al-`Umrānī, ed. Mahmud Matraji, al-Bayān fī Syarḥ al-Muhażżab, Juz I (Beirut: Dar el-Fikr, 2009), hal. 328.
[68] Abū Dāwud, Ibidem.
[69] Muḥammad Ābadī, Ibidem., hal. 282.
[70] `Ubaidullāh `Umar bin `Īsā al-Dabūsī al-Ḥanafī, ed. Mustafa Muhammad Qabbani al-Dimasyq, Ta`sīs al-Naẓar wa yalīhi Risālah al-Imām Abī al-Ḥasan al-Karkhī ī al-Uṣūl (Beirut dan Kairo: Dar Ibn Zaidun dan Maktabah al-Kuliyyah al-Azhar, tt), hal. 171.
[71] Yūsuf bin `Abdillāh bin Muḥammad bin `Abd al-Barr al-Andalusī al-Qurṭubī, ed. Muhammad bin Riyad al-Ahmad, al-Istiżkār: al-Jāmi` li Mażāhib Fuqahā` al-Amṣār wa `Ulamā` al-Aqṭār, Juz I (Beirut: al-Maktaba al-Assrya, 2012), hal. 409.
[72] `Abdullāh bin al-`Aqīlī, Ibidem, Juz I, hal. 17.