
Tanah Banten merupakan gudangnya para ulama. Banyak para pemikir Islam yang lahir dan tumbuh di Banten. Abuya Ahmad adalah salah satunya. Ia lahir di Kampung Cidodol, sebuah kampung kecil di Desa Malangsari (kini Desa Harumsari), Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun di identitas kartu tanda kependudukannya tercantum bahwa ia lahir tanggal 1 Januari 1925, yang jika dikonversi ke penanggalan hijriyah bertepatan dengan tanggal 6 Jumadilakhir 1343.
Abuya Ahmad lahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara dengan nama Ahmad Widara. Ketiga kakaknya adalah Nya Hj. Suha, Abah KH. Muhammad, dan Abah KH. Ardiwan. Nyai Hj. Suha kemudian diperistri oleh Abah KH. Madsari, yang anak keturunannya kemudian juga menjadi tokoh agama, seperti Abah KH. Jasir Cilisung, Abah KH. Basir Cidodol, dan lainnya.
Ayahnya, KH. Musa Mulafar, merupakan seorang tokoh agama setempat, pendiri Madrasah Al-Hidayah Cidodol. Santrinya merupakan para remaja lokal sekitaran desa. Sedangkan ibunya, Nyai Hj. Lamah, merupakan putri seorang saudagar lokal bernama H. Irma.
KH. Musa merupakan anak dari Syekh Mulafar Salim al-Banbasi, pendiri Pondok Pesantren Bungbas, sebuah kampung kecil dekat Kadubitung, Desa Malangsari, Cipanas. Dalam memimpin pesantren, Syekh Mulafar kemudian dibantu oleh adiknya, Syekh Abbas, yang juga merupakan juru kunci Makam Keramat Bungbas saat itu. Tidak diketahui secara pasti asal-usul Syekh Mulafar dari mana, sebab setiap para keturunannya menanyakan terkait leluhur, Abuya Ahmad tidak pernah memberitahu dengan jelas. Alasannya sederhana, ia tidak mau para keturunannya kelak menyombongkan nasab dan leluhur.
PENDIDIKAN KEAGAMAANNYA
Pendidikan awal keagamaan Abuya Ahmad didapat dari ayahnya yang juga merupakan seorang ulama. Setelah cukup mengerti ilmu agama dasar, pada usia 12 tahun, ia kemudian diberangkatkan oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Bondong, Cipanas, pimpinan Abuya KH. Ali Rahman. Setelah cukup lama di Bondong, pada usia 15 tahun, ia kemudian dijemput oleh saudaranya karena ayahnya wafat.
Hasrat untuk mencari ilmu tidak luntur dari diri Abuya Ahmad setelah wafat ayahnya. Ia kemudian diberangkatkan oleh ibunya ke Pondok Pesantren Sampora, kecamatan Maja, Lebak, pimpinan Abuya KH. Rasyidi. Di Sampora, ia bermukim cukup lama. Kepada anaknya ia pernah bercerita bahwa kebanyakan ilmunya di dapat dari sana. Selain kepada Abuya Rasyidi, di kecamatan Maja, Abuya Ahmad juga menimba ilmu kepada Abuya KH. Zuhri Cibeureum dan Abuya KH. Umar Sa’id Calingcing.
Setelah menetap cukup lama di Sampora, Abuya Ahmad kemudian pulang ke Cidodol. Sekitar tahun 1947, saat berusia 22 tahum, ia menikah dengan seorang janda berusia belia, Nyai Hj. Upi Yuningsih. Nyai Upi merupakan putri H. Sardafi bin H. Qomali, cucu Syekh Abdullah Cieucit. Syekh Abdullah merupakan generasi ke-5 dari Prabu Wong Sagati Sajira, Lebak.
Setelah menikah, jiwa kesantrian Abuya Ahmad tidak hilang. Bersama istrinya, ia kemudian melanjutkan perjalanan keilmuannya ke Pondok Pesantren Cuping, pimpinan Abuya KH. Abdulhaq bin Abuya KH. Abuhasan. Setelah dari Cuping, ia kemudian menyantri ke luar daerah, tepatnya ke Pondok Pesantren Riyadhul Aliyah Cisempur, Bogor, pimpinan Mama KH. Royani bin Mama KH. Shiddiq. Sedangkan istrinya pulang ke Cidodol. Selain kepada Mama Royani, Abuya Ahmad juga berguru kepada Mama KH. Tubagus Ujang Nabrowi bin Mama KH. Tubagus Ahmad Asy’ari, pimpinan Pondok Pesantren Bakom, Bogor.
Jika diruntut, perjalanan keilmuan Abuya Ahmad hanya bermukim di empat tempat, yaitu Pondok Pesantren Bondong, Pondok Pesantren Sampora, Pondok Pesantren Cuping, dan Pondok Pesantren Riyadhul Aliyah Cisempur. Sedangkan guru lainnya, Abuya Ahmad mengambil ilmu ketika ia masih bermukim di antara empat pesantren tersebut.
Pada tahun 1950, saat berusia 25 tahun, ia kemudian menunaikan ibadah haji ke Makkah bersama gurunya dari Cisempur, Mama Royani. Namun, tidak lama setelah di Makkah, Mama Royani kemudian wafat karena sakit. Mama Royani kemudian dimakamkan di pemakaman Jannatul Mu’alla.
Di Makkah, Abuya Ahmad kemudian mendapatkan ilmu dari beberapa guru, salah satunya adalah Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani. Di sana, ia juga mengambil ijazah Dala’ilul Khairat kepada Abuya KH. Tubagus Muqri bin Suqia, seorang ulama asal Karabohong, Labuan, Banten, saat menetap di Makkah.

AKTIVITAS KEAGAMAANNYA
Sekembalinya dari Makkah, pada tahun 1952, Abuya Ahmad kemudian mendirikan sebuah pesantren di Cidodol, ia kemudian memberi nama Pondok Pesantren Riyadhul Mubarakah yang diresmikan pada tahun 1954 oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Jiwa haus akan ilmu dari diri Abuya Ahmad tidak pernah hilang. Setelah mendirikan pesantren, sekitar bulan Jumadilakhir tahun 1960an, ia kemudian menimba ilmu ke Jawa Tengah, tepatnya ke Pondok Pesantren Al Ittihad Poncol, Semarang, pimpinan Simbah KH. Ahmad Asy’ari bin Romo KH. Hasan Asy’ari. Di Poncol, ia mempelajari kitab Shahih Muslim yang sudah rutin dilaksanakan di Al Ittihad bersama Shahih al-Bukhari sejak 1948.
Selain itu, bersama putra pertamanya yaitu Abah KH. Ujang Sa’id al-Khudri, Abuya Ahmad juga mempelajari kitab Tafsir al-Jalalain kepada Mama KH. Muhammad Basri Abdurrahman, pimpinan Pondok Pesantren Kadawung, Bogor.
Setelah pulang dari rihlah keilmuannya, Abuya Ahmad kemudian melanjutkan aktivitas mengajar ilmu-ilmu yang didapat di pesantren yang ia dirikan. Selain mengajar di Pondok Pesantren Riyadhul Mubarakah, bersama Mama KH. Abdulkadir bin Mama KH. Abdulkarim Nanggela, ia juga mendapat mandat dari gurunya, Abuya Abdulhaq Cuping agar mendampinginya mengajar di majelis taklimnya, Majelis Taklim Raudhatul Muta’alimin Nunggul, Cipanas.
Setelah Abuya Abdulhaq wafat, kepemimpinan Majelis Taklim Nunggul kemudian dilanjutkan oleh putranya, Abuya Ahmad Ghazali. Sedangkan pengajian Tafsir al-Jalalain yang rutin Abuya Abdulhaq kaji dilanjutkan oleh Abuya Ahmad.
Pada perkembangan selanjutnya, Majelis Taklim Nunggul ramai didatangi oleh para santri dan kiai sekitaran Kecamatan Cipanas, Sajira, Muncang, Lebakgedong, dan daerah lain di Kabupaten Lebak. Sedangkan dewan guru atau pengkaji kitabnya diisi oleh para keturunan Abuya Abdulhaq, Abuya Ahmad, dan Mama Abdulkadir, serta para ulama berkompeten lainnya.
ANAK-ANAK DAN PARA SANTRINYA
Dari pernikahannya dengan Nyai Hj. Upi, Abuya Ahmad mempunyai 14 anak, namun hanya 8 orang yang tumbuh sampai dewasa dan berkeluarga, tiga laki-laki dan lima perempuan. Sedangkan anak lainnya wafat ketika masih belia.
Di antara para anaknya, ketiga putranya kemudian melanjutkan kiprah Abuya Ahmad di dunia keagamaan, mereka adalah Abah KH. Ujang Sa’id al-Khudri, pendiri Pondok Pesantren Al-Khudriyah; KH. Abdulaziz Ahmad Jamidemang; dan Abi KH. Shihabuddin Ahmad, penerus kepemimpinan Abuya Ahmad di Pondok Pesantren Riyadhul Mubarakah Cidodol.
Anak-anak lainnya di antaranya adalah Umi Hj. Marwah, diperistri oleh Abah KH. Enung Muthalib Puputan, Lebak; Umi Hj. Siti Dinukiyah, diperistri oleh Abah KH. Enday Syafe’i Cimarkum, Lebak; Umi Hj.Ucu Zakiatul Bananah, diperistri oleh Abah KH. Misbah bin Mama KH. Sahli Cimande, Bogor; Umi Hj. Dede Dewi Sulhiyah, diperistri oleh KH. Raden Fakhrurrazi Sukaraja, Bogor; dan Umi Nurul Amimah, diperistri oleh Kiai Muslih Sukaraja, Bogor. Ki Muslih merupakan santri terakhir yang dibaiat sebelum keluar dari Riyadhul Mubarakah oleh Abuya Ahmad sebelum wafat.
Selain itu, di antara ratusan santrinya, beberapa ada yang kemudian melanjutkan kiprah Abuya Ahmad di dunia keagamaan, di antaranya adalah Abah KH. Mad Isa, pendiri pondok pesantren di Sukaraja, Bogor; Abah KH. Encep Ismail, pendiri pondok pesantren di Cidokom, Cisarua, Bogor; dan para alumni lainnya.
WAFATNYA SANG ABUYA
Pada tanggal 14 Ramadan 1426 hijriyah, atau bertepatan dengan tanggal 18 Oktober 2005 masehi, Abuya Ahmad kemudian dipanggil oleh penciptanya. Ratusan masyarakat, santri, alumni, dan para muhib berdatangan dari berbagai penjuru daerah untuk menyalati dan mengantarkan jenazah sang Abuya. Abuya Ahmad kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Cieucit, Cidodol. Haulnya selalu diperingati tanggal 20 Syakban setiap tahunnya, dan dihadiri oleh para santri, alumni, muhib, dan masyarakat sekitar.