
2 Zulkaidah, empat tahun lalu, Abi KH. Ujang Sa’id Al-Khudri wafat pada usia 63 tahun. Abi Ujang merupakan pendiri Pondok Pesantren Al-Khudriyah, pesanten yang berdiri di tanah bekas rawa dan perkebunan di Kampung Kadubitung, depan Pemakaman Keramat Bungbas, Desa Malangsari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten.
Abi Ujang lahir dan tumbuh besar di lingkungan Pondok Pesantren Riyadhul Mubarakah Cidodol yang didirikan oleh ayahnya, Abuya KH. Ahmad Widara bin Musa Mulafar al-Banbasi. Di catatan pribadinya, Abi Ujang mencatat bahwa ia lahir pada hari Rabu, tanggal 14 Zulkaidah 1373 Hijriah, yang jika dikonversi ke penanggalan masehi bertepatan dengan tanggal 14 Juli 1954. Namun, tanggal masehi tersebut berbeda dengan identitas di kartu tanda kependudukan yang dicantumkan Abi Ujang, yaitu tanggal 12 Desember 1954.
Ayahnya, Abuya Ahmad, merupakan tokoh agama yang cukup disegani di daerah Kabupaten Lebak, Banten. Sedangkan Ibunya, Nyai Hj. Upi Yuningsih, merupakan ibu rumah tangga biasa, putri dari H. Sardafi bin H. Qomali, cucu Syekh Abdullah Cieucit. Syekh Abdullah merupakan generasi ke-5 dari Prabu Wong Sagati Sajira, Lebak.
PENDIDIKAN KEAGAMAANNYA
Pendidikan keagamaan perdana Abi Ujang seperti pengetahuan bahasa Arab (nahu saraf), fikih, tauhid, dan Ilmu Quran didapatkannya langsung dari Ayahnya di Pondok Pesantren Riyadhul Mubarakah Cidodol.
Setelah cukup dewasa dan dirasa telah memiliki dasar keagamaan dari Ayahnya, Abi Ujang kemudian diberangkatkan ke Pondok Pesantren Daarunnuhat Al-Marbawi untuk memperdalam ilmu gramatika bahasa Arab. Pesantren Al-Marbawi merupakan pesantren yang khusus mengkaji kitab-kitab nahu saraf, utamanya Alfiyah Ibnu Malik. Pesantren tersebut didirikan oleh Mama KH. Ahmad bin Epe, di Kampung Maribaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Mama Ahmad merupakan murid dari Syekh Ahmad Adzra’i, pimpinan Pondok Pesantren Bojong, Sukaraja, Kabupaten Garut, yang tersohor sebagai “Syekhul Alfiyah Ibnu Malik di Tatar Sunda”. Sanad Alfiyahnya bersambung kepada musanif melalui jalur Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani.
Ketika menuntut ilmu di Maribaya, sambil membawa perbekalan dalam karung atau kardus, Abi Ujang sering menempuh perjalanan beberapa kilometer dari Pasar Jasinga yang saat itu belum tersedia angkutan umum menuju pesantren. Semuanya ia laksanakan dengan penuh keikhlasan demi mendapatkan ilmu dari sang guru di Maribaya.
Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Maribaya, Abi Ujang kemudian melanjutkan pendidikan keagamannya ke Pondok Pesantren Riyadhul Aliyah, pimpinan Mama KH. Raden Mukhtar bin Royani, di Kampung Cisempur, Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.
Mama Mukhtar merupakan putra dari Mama KH. Raden Royani bin Shiddiq, guru Abuya Ahmad, ayah Abi Ujang. Bahkan, pada tahun 1950, Abuya Ahmad menunaikan ibadah haji bersama gurunya tersebut. Namun, karena sakit, Mama Royani kemudian wafat di Mekkah dan dimakamkan di Pemakaman Jannatul Mu’alla.
Di Cisempur, selain mempelajari Alfiyah Ibnu Malik, Abi Ujang juga memperdalam berbagai cabang ilmu, seperti mantik, balagah, munazara, tauhid, fikih, dan lainnya.
Perjalanan keilmuan Abi Ujang tercatat hanya bermukim di dua tempat, yaitu Pondok Pesantren Daarunnuhat Al-Marbawi Maribaya dan Pondok Pesantren Riyadhul Aliyyah Cisempur. Maka, selain Ayahnya, guru utama Abi Ujang yang menggembleng dan mempengaruhi pemikiran keislamannya adalah Mama Ahmad Maribaya dan Mama Mukhtar Cisempur.
Selain kepada dua guru utama tersebut, Abi Ujang juga tercatat pernah berguru kepada beberapa ulama seperti Abuya KH. Ahmad Ghazali bin Abdulhaq di Pondok Pesantren Arraudlatul Baaqiyaat Nunggul, Desa Sukasari, Kecamatan Cipanas, Lebak. Kepada Abuya Ahmad Ghazali, Abi Ujang memperdalam ilmu falak dan fikih kitab Bughyatul Mustarsyidin.
Selain itu, di bidang tafsir, Abi Ujang mendapatkan pelajaran Tafsir al-Jalalain dari Abuya KH. Damanhuri bin Arman ketika di Mekkah dan Mama KH. Syahrowardi Kalongsawah di Kabupaten Bogor. Sedangkan pelajaran Tafsir Marah Labid karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dari Mama KH. Muhammad Basri bin Abdurrahman di Pondok Pesantren Al-Bashriyyah Kadaung, Bogor. Kepada Mama Basri, Abi Ujang berguru bersama ayahnya, Abuya Ahmad.

Sekitar tahun 1981, Abi Ujang berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama pada usia 27 tahun. Rencana di tanah air, awalnya Abi Ujang akan berguru kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Namun, karena tidak membawa tanda rekomendasi atau sertifikasi dari otoritas ulama atau pesantren di mana Abi Ujang berasal, maka ia ditolak untuk berguru kepada Sayyid al-Maliki.
Hal tersebut tentu di luar dugaan Abi Ujang. Sebab sebelum berangkat ke Mekkah, ia sempat sowan serta meminta izin dan doa kepada gurunya di Cisempur. Oleh Mama Mukhtar, ia ditawari surat rekomendasi agar bisa berguru kepada Sayyid al-Maliki, namun Abi Ujang menolaknya. Alasannya karena ia sungkan, juga ia berpikir bahwa tidak mungkin berguru kepada seseorang harus membawa surat rekomendasi dari otoritas ulama setempat. Namun, karena memang di Arab Saudi saat itu sedang genting penentangan terhadap paham-paham keislaman ahlusunah waljamaah seperti yang dianut Sayyid al-Maliki, apalagi ia adalah orang yang berpengaruh di Mekkah saat itu. Maka, orang-orang yang berniat berguru kepadanya pun dibatasi oleh pihak terkait.
Anak-anaknya selalu mengenang kisah tersebut, sebab Abi Ujang selalu berpesan, hikmah dari cerita tersebut adalah agar jangan meremehkan petunjuk dari seorang guru, seaneh apa pun itu. Karena seorang guru, pasti sudah mengukur hal-hal terbaik yang mungkin belum diketahui oleh muridnya untuk kebaikan muridnya sendiri nantinya.
Setelah ditolak untuk berguru kepada Sayyid al-Maliki, Abi Ujang kemudain mencari guru lain di Mekkah. Ia tidak ingin perjalannnya ke Mekkah tidak dibarengi dengan rihlah keilmuan. Ia kemudian berguru kepada Abuya Damanhuri, ulama asal Cikadueun, Pandeglang, Banten. Kepada Abuya Damanhuri, Abi Ujang memperdalam kitab Tafsir al-Jalalain.
KEHIDUPAN PRIBADINYA
Setelah pulang dari Mekkah, sekitar usia 28 tahun pada 1982, Abi Ujang menikahi seorang gadis belia berusia 15 tahun bernama Siti Qamariyah binti H. Abdurrasyid Ardani asal kampung tetangga, yaitu Kampung Kadubitung.
Setelah dua tahun menikah, pada tahun 1984, Abi Ujang kemudian dikarunia putra pertama yang diberi nama Ahmad Fauzy bin Said Al-Khudri. Abi Ujang dan Umi Siti Qamariyah dikarunia 9 orang anak, 6 laki-laki dan 3 perempuan. Namun, anak ketiga yang merupakan putri pertamanya wafat ketika berusia balita.
Kedelapan anak-anaknya yang kemudian tumbuh dewasa adalah Ahmad Fauzy Al-Khudri, Ahmad Yasir Falah Al-Khudri, Ahmad Luthfi Nafis Al-Khudri, Ahmad Jawwad Shiddiq Al-Khudri, Ahmad Kamal Ridho Al-Khudri, dan Ahmad Raud Fuady Al-Khudri. Sedangkan kedua putriya adalah Dzihan Nurmala Al-Khudri dan Fadhila Fauziah Al-Khudri.
AKTIVITAS KEAGAMAANNYA
Sekitar tahun 1992, Abi Ujang beserta istri dan anak-anaknya yang lahir di Cidodol kemudian pindah ke Kadubitung. Di Kadubitung, Abi Ujang telah disediakan tanah depan Pemakaman Keramat Bungbas untuk dibangun rumah dan pondok pesantren. Kepindahan Abi Ujang ke depan Keramat Bungbas disambut antusias warga sekitar. Sebab, kakeknya, Abah KH. Musa Mulafar, merupakan seorang pria asal Bungbas, putra Syekh Mulafar Salim al-Banbasi, pendiri Pondok Pesantren Bungbas.
Pada awal berdiri, pesantren yang didirikan Abi Ujang merupakan pesantren tanpa nama. Santrinya pun merupakan remaja lokal sekitaran kampung dan beberapa santri yang mengikutinya dari Pondok Pesantren Riyadhul Mubarakah Cidodol, dan ikut pindah ke Pesantren Kadubitung.
Baru setelah beberapa tahun berdiri, muncul gagasan untuk memberikan nama pada pesantren. Dan para santri pertama Abi Ujang mengusulkan nama Al-Khudriyah, yang diambil dari nama belakang Abi Ujang sendiri. Pondok Pesantren Al-Khudriyah Kadubitung pun resmi berdiri.
Pada sekitar usia 30an tahun, Abi Ujang mulai aktif menjadi pengkaji kitab Shahih al-Bukhari di Majelis Taklim Arraudlatul Mutaalimin Nunggul yang rutin dilaksanakan setiap Kamis pagi. Majelis Taklim Nunggul merupakan sebuah majelis ilmu dan wadah diskusi para ulama sekitar Kecamatan Cipanas, Sajira, Muncang, Lebakgedong, Sobang, dan daerah lain di Kabupaten Lebak yang didirikan oleh Abuya KH. Abdulhaq bin Abuhasan.
Abi Ujang mendapatkan ijazah dan pengajaran kitab Shahih al-Bukhari dari Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, Imam Akbar Masjid ar-Riyadh Solo, Surakarta, Jawa Tengah.
Selain menhadiri pengkajian rutin mingguan di Majelis Taklim Nunggul, Abi Ujang juga mengadakan pengkajian rutin mingguan setiap selasa bakda Zuhur di Majelis Taklim Al-Khudriyah Kadubitung. Kitab yang dikajinya meliputi Tafsir al-Jalalain, Shahih al-Bukhari, dan Nihayatuz Zain.

WAFATNYA SANG PENDIRI AL-KHUDRIYAH
Abi Ujang meninggal di usia 63 tahun pada tanggal 2 Zulkaidah 1438 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 26 Juli 2017 Masehi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Adjidarmo Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Ia kemudian dimakamkan di Pemakaman Keramat Bungbas, Malangsari, Cipanas, Lebak.
Abi Ujang wafat meninggalkan seorang istri, 6 orang putra, dan 2 orang putri. Putra pertamanya, Ahmad Fauzy Said Al-Khudri kemudian melanjutkan kepemimpinan almarhum di Pondok Pesantren Al-Khudriyah. Putra keduanya, Ahmad Yasir Falah Al-Khudri, melanjutkan pengkajian kitab Shahih al-Bukhari di Majelis Taklim Arraudlatul Mutaalimin Nunggul. Sedangkan pengkajian mingguan di Majelis Taklim Al-Khudiyah, untuk Tafsir al-Jalalain dilanjutkan oleh Abi KH. Shihabuddin Ahmad yang merupakan adik lelaki paling muda almarhum, Shahih al-Bukhari oleh Ahmad Fauzy, dan Nihayatuz Zain oleh Ahmad Yasir.