
Memori pada: 8 Juli 2014
Langit kelam kelabu disekat debu
Tak ada lembu hingga fajar di hari Rabu
Di tengah romansa Arab-Ibrani, jejak para Nabi
Membinasakan nyawa-nyawa suci atas Tanah Terjanji
Lihatlah bagaimana darah mengotori sepuluh deklarasi
Air mata yang menggenangi pilar-pilar rumah suci
Jerit histeris budak belia yang membuat miris
Mengikis peradaban bermoral sampai habis
Kemana Ababil yang dulu menghanguskan pasukan bergajah?
Enyahkah bersama wafatnya Sang Abrahah
Atau binasa ketika menyaksikan bulan terbelah
Oh Baginda, sesak dada ini dijejali berita duka Gaza
Tak sabar tangan ini ingin melayangkan sekadar batu bata
Langit meraung, mengumandangkan kalam perdamaian Tuhan
Sesaat setelah genderang perang bertalu; bertabuhan
Menyisir setiap jengkal nyawa para mujahid
Hingga mati dalam keadaan syahid
Dimana Peri yang dulu menyambut kepulangan tentara Uhud?
Telanjangkah bersama hamba yang bersujud
Atau berkelana layaknya seekor burung Hudhud
Oh Maharaja, retak hati ini menghitung jumlah syuhada
Jiwa ini ambruk di tengah perang saudara yang kian merajalela
Dengarlah saat seorang bocah memekik dengan suara yang lemah
Membuncah di tengah ribuan deru peluru bergaya panah
Mengumandang: “Aku melihat surga di Palestina!”
Dengan sungai-sungai dari darah syuhada
Mengapa Isa tak kunjung tiba, Musa hanya diam seribu bahasa?
Takutkah divonis buronan untuk kedua kalinya
Atau masih bersenda di pegunungan suci Thur Sina
Menunggu tentara Tuhan menyibak sekat tirai pembantaian
Menegur mereka yang memang tak asing dalam pembangkangan
Sejarah berbalik; budak menakhtakan dirinya sebagai raja
Dan yang tua senantiasa diperlakukan tindak aniaya
Apakah ini sebuah fakta dan realita? Tentu saja
Karena hanya mereka bangsa mulia, katanya
Apa Sulaiman terlanjur tiada sebelum akhirnya melerai sengketa?
Binasakah ajaran moralnya; tanpa tersisa
Dalam hitungan rayap menghabisi tongkatnya
Hingga seluruh tentara bebas berperilaku hina dina
Memotori setiap langkah peradaban jemaat di Palestina
Sebelah hatiku ingin tertawa, tapi sebelah lainnya berduka
Mengenang sejarah lama dan dihadapkan satu realita
Oh Mahasutradara, lerailah semua boikot sengketa
Dan tumbuhkan suasana surga dalam jiwa
Bagaimana Sang Sinishan Wahyu merangkai kepingan dengki?
Menjadi negeri yang asri, sepi dan abadi
Dirahmati Tuhan yang Mahamemberkati
Ah, entah nanti hingga aku mau mati . . .