NATAL DAN PERAYAAN TAHUNAN YANG KONTROVERSIAL

Setiap akhir tahun, selalu ada dua kubu di kalangan umat Islam. Satu di antara mereka sangat keras menentang ucapan selamat Natal dan tahun baru, sehingga terkadang berlebihan dengan melabeli saudara seimannya menjadi kafir. Yang lainnya kepalang toleransi terhadap umat Nasrani, sehingga terkadang berlebihan dengan turut serta merayakan setiap aspek hari raya Natal.

Sebagaimana lazimnya kelompok ahlusunah, umat pertengahan, dan kalangan moderat, tentu saja berlebihan dalam segala aspek kehidupan (bahkan dalam hal ibadah) bukan gaya kita. Maka, tidak perlu langsung berapi-api dengan memvonis saudara seiman mengikuti akidah trinitas hanya karena mengucapkan “selamat Natal”. Kita juga tidak perlu kebablasan dengan turut serta memeriahkan perayaan Natal dengan alasan “semua agama sama dan mengajarkan kebaikan”.

Barangkali untuk poin “semua agama mengajarkan kebaikan” kita sependapat. Hal itu karena agama lahir sebagai solusi permasalahan hidup. Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang damai dan tenteram. Dari sanalah peran agama untuk membimbing manusia dalam menjalankan roda kehidupan sehingga bisa mencapai kedamaian dan ketenteraman. Terkait perilaku sejumlah oknum orang “beragama” yang melakukan kejahatan, itu tidak bisa dikatakan bahwa agamanya mengajarkan demikian. Namun, selayaknya kita menganggap bahwa orang tersebut telah gagal memahami kaidah-kaidah agama yang telah digariskan Tuhan lewat pembawa risalah-Nya.

Akan tetapi, poin “semua agama sama” adalah ungkapan yang keliru dan sesat. Singkatnya, bila semua agama sama, maka tidak mungkin bermunculan agama-agama baru di setiap masanya. Walau memiliki misi yang sama, misalnya, tetap saja risalah, kaidah, ketentuan, dan aturannya berbeda satu sama lain. Inilah yang membuat pemeluk agama Islam, dalam sejumlah hal, tidak diperkenankan turut serta bersama pemeluk agama lain. Demikian juga pemeluk agama lain, dalam sejumlah hal, tidak diperkenankan turut serta bersama pemeluk agama Islam. Hal itu disebabkan karena setiap agama berbeda, memiliki aturan tersendiri. Setiap agama memiliki pahala dan dosa, nikmat dan siksa, menurut versinya masing-masing.

Terkait polemik mengucapkan “selamat Natal”, ini seolah menjadi rutinitas tahunan. Debat kusir tidak ada ujungnya. Setiap kubu memasang dalil yang didapatkan dari guru, ustaz, atau kiainya. Biasanya, permasalahan ini mengemuka ketika awal Desember, lalu mulai redup di pertengahan Januari. Ya, sekali pun berulang setiap tahun, orang-orang seperti tidak pernah jengah untuk menyulut perdebatan.

Alasan kelompok yang keras mengharamkan ucapan “selamat Natal”, karena menurut mereka Natal diyakini sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Sementara Yesus dinilai tidak sama dengan Nabi Isa Almasih. Artinya, bila seorang muslim mengucapkan “selamat Natal”, maka secara tidak langsung ia mengakui Yesus Kristus sebagaimana umat Nasrani, yakni Tuhan atau Anak Tuhan. Hal itu tentu bertentangan dengan akidah umat Islam, sehingga mengarah pada kesyirikan dan kekufuran.

Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa Nabi Isa Almasih dan Yesus Kristus merujuk pada satu tokoh yang sama, hanya beda riwayat kisah. Keduanya sama-sama lahir dari rahim Bunda Maryam (atau Perawan Maria). Keduanya sama-sama memiliki dua belas pengikut, yang dalam tradisi Islam disebut Hawariyun. Seluruh kisah Nabi Isa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, merujuk pada sosok Yesus Kristus yang dituhankan oleh umat Nasrani.

Dalil paling jelas yang menunjukkan hal itu terdapat dalam surah al-Mā`idah ayat 116. Disebutkan bahwa Allah bertanya kepada Nabi Isa, “Hai, Isa putra Maryam! Apakah kamu yang mengatakan kepada orang-orang, ‘Jadikan aku dan ibuku dua Tuhan selain Allah!’?” Kemudian, dengan merendahkan diri, Nabi Isa menyangkalnya.

Hal ini menunjukkan bahwa Allah mengklarifikasi kepada Nabi Isa terkait perbuatan umatnya yang menyimpang (dalam pandangan Islam). Apabila Yesus Kristus yang dijadikan Tuhan oleh umat Nasrani bukanlah Nabi Isa, tentu Allah tidak akan bertanya dan mengklarifikasi kepada Nabi Isa. Misalnya, seperti anggapan sejumlah orang, Yesus Kristus yang disembah oleh umat Nasrani adalah Yudas Iskariot. Maka, Allah akan meminta pertanggungjawaban dan melayangkan pertanyaan itu kepadanya.

Benar, umat Islam meyakini bahwa orang yang disalib bukanlah Nabi Isa, melainkan seseorang yang diserupakan dengannya sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Nisā` ayat 157. Namun, mau dipaksakan bagaimana pun, umat Nasrani tetap meyakini bahwa orang yang disalib adalah Yesus Kristus. Sementara Yesus Kristus secara jelas adalah orang yang sama dengan Nabi Isa Almasih. Artinya, riwayat kelahiran dan kehidupan Nabi Isa hampir sama persis dengan Yesus Kristus. Telah dikatakan bahwa riwayat versi Islam dan Nasrani berasal dari sumber yang sama, serta perbedaanya tidak lebih lebar dari seutas tongkat. Hal itu sebagaimana diungkapkan Raja Negus ketika mendengar uraian Sayidina Jakfar bin Abi Talib dalam majelis sidang bersama Sayidina Amr bin ‘As di Kerajaan Etiopia. Bedanya, menurut Islam Nabi Isa belum wafat, tetapi diangkat ke langit oleh Allah dan akan turun menjelang kiamat. Sementara menurut Nasrani, Yesus Kristus wafat di tiang salib.

Bila kita telah sepakat bahwa Yesus Kristus dan Nabi Isa adalah orang yang sama, maka kita juga mesti sepakat bahwa kelahiran Nabi Isa adalah salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Terlebih, kisah kelahirannya diabadikan dalam Al-Qur’an dengan sangat indah. Benar, tidak ada riwayat pasti terkait kapan persisnya hari kelahiran Nabi Isa, bahkan di kalangan Nasrani sekali pun. Namun, penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Nabi Isa untuk tujuan mengingat peristiwa menakjubkan itu tentu saja tidak ada salahnya. Toh Nabi saja mengamini umat Yahudi yang mengatakan bahwa 10 Muharam adalah hari Nabi Musa diselamatkan dari bala tentara Firaun. Tentu Nabi lebih tahu dan lebih paham karena beliau diberikan wahyu, sekali pun menurut riwayat Yahudi peristiwa itu jatuh pada tanggal 10 Tisyri (bulan Yahudi, dikenal dengan nama Yom Kippur). Namun, sikap beliau yang menerima riwayat dari umat Yahudi menunjukkan bahwa mengingat peristiwa bersejarah yang dialami para nabi serta mengkhususkannya pada waktu tertentu tidak terlarang.

Dengan memahami hal tersebut, maka penolakan secara berlebihan terkait hari kelahiran Nabi Isa di tanggal 25 Desember adalah hal gegabah. Apalagi bila mengatakan bahwa mengucapkan “selamat Natal” berujung pada kesyirikan, sejatinya dia tidak memahami sejarah dan tidak memiliki landasan kuat. Padahal, dengan mengingat hari kelahiran Nabi Isa, sungguh iman umat Islam akan semakin kuat. Secara jelas, Nabi Isa bersaksi di hadapan para rabi Yahudi ketika masih dalam buaian, “Aku adalah hamba Allah,” sebagaimana yang dikutip di dalam surah Maryam ayat 30. Tidak sampai di sana, di ujung kesaksiannya, Nabi Isa sendiri “mengucapkan selamat” di hari kelahiran, hari kematian, dan hari kebangkitannya kelak.

Ada yang menarik dalam uraian “selamat” yang diucapkan oleh Nabi Isa ketika masih bayi. Di sana, Nabi Isa menggunakan kata khusus yang ditandai dengan lam takrif. Bandingkan dengan “ucapan selamat” yang disampaikan Allah kepada Nabi Yahya di ayat sebelumnya, atau kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Harun, serta Nabi Ilyas di surat lain. Atau ucapan malaikat kepada para penghuni surga. Semuanya menggunakan kata umum. Imam Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyāf yang kemudian dikutip oleh Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsir al-Kabīr menyebutkan bahwa tanda lam takrif dalam “ucapan selamat” Nabi Isa menunjukkan makna istigrāq li al-jins. Artinya, ucapan itu memang khusus ditujukan hanya untuk Nabi Isa dan para pengikutnya. Adapun yang menyelisihi beliau, termasuk rahib Yahudi kala itu mendapat laknat. Ini bisa menjadi bukti bahwa ucapan “selamat Natal” untuk Nabi Isa justru sangat menguatkan tauhid dalam dada.

Lebih lanjut, “ucapan selamat” dengan lam takrif tersebut juga tidak hanya diucapkan untuk hari kelahirannya, melainkan hari kematian dan kebangkitan dirinya. Penggunaan kata khusus dalam salam ini bisa menjadi dalil kuat yang mengokohkan akidah, bahwa Nabi Isa tidak meninggal disalib. Hal itu karena ia selamat dari siksa kematian dan fitnah alam kubur. Bandingkan dengan Nabi Yahya yang juga diucapkan selamat untuk hari kematiannya, tetapi penggunaan kata selamat itu bersifat umum sehingga kematiannya pun syahid dan dalam keadaan terzalimi. Adapun maksud salam di hari kematiannya adalah selamat dari siksa kubur. Sudah mafhum bahwa Nabi Isa wafat di akhir zaman dengan tenang setelah berziarah ke makam Nabi dan dikuburkan di samping kuburan Nabi. Hal itu sebagaimana dimuat oleh Imam Bukhari dalam Jāmi` al-Ṣaḥīḥ dan Imam Ahmad dalam al-Musnad.

Lantas, ketika telah terang terkait bolehnya mengadopsi hari bersejarah para Nabi untuk diingat dan diisi ibadah, ketika telah mafhum betapa menakjubkan hari kelahiran Nabi Isa, ketika ajaran tauhid yang hendak diajarkan Nabi Isa lewat peristiwa kelahirannya begitu murni, ketika mengucapkan “selamat Natal” sudah lebih dahulu dipraktikkan oleh Nabi Isa, maka apa yang membuat umat Islam begitu anti bahkan menuduh kafir kepada saudaranya yang mengucapkan “selamat Natal”?

Alhasil, mengucapkan “selamat Natal” tidak terlarang bagi umat Islam. Hukumnya boleh, sebagaimana ungkapan Syekh Ramadan al-Buti bahwa tidak ada dalil yang mencegah kebolehan ucapan selamat kepada ahli kitab atas kebahagiaan dan hari raya mereka. Apalagi bila ucapan tersebut dibarengi dengan kesadaran penuh bahwa Nabi Isa adalah seorang hamba Allah yang diutus kepada Bani Israel, bukan sebagai Tuhan.

Kebolehan ucapan “selamat merayakan Natal” juga bisa dikiaskan dari ucapan salam terhadap nonmuslim. Imam Nawawi menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab Syafei terkait ucapan salam kepada nonmuslim (kafir zimi). Bahkan, dengan tegas Imam Nawawi mengambil pendapat yang mengatakan haram dan menyebutkan bahwa pendapat yang mengatakan boleh adalah pendapat yang ganjil dan tertolak. Bahkan, Imam Nawawi menyebutkan bahwa seseorang wajib menarik kembali salamnya bila mengucapkan salam kepada orang lain yang awalnya tidak diketahui bahwa ia beragama Yahudi atau Nasrani, setelah ia mengetahui agamanya bukan Islam.

Akan tetapi, jangan lupa bahwa sejumlah ulama masih memberikan kelonggaran atas kebolehan mengucapkan salam dengan lafaz “as-salāmu `alaika”, tanpa dilanjutkan dengan lafaz “wa raḥmatullāh” sebagaimana pendapat Imam Mawardi, pimpinan para kadi pada masanya. Bahkan, Imam Malik sebagaimana direkam dalam al-Muwaṭṭa pernah ditanya tentang menarik kembali salam dari Yahudi dan Nasrani. Beliau menyatakan bahwa salamnya tidak perlu ditarik kembali. Walau tentu saja itu pendapat mazhab Maliki yang kemudian diamini oleh Imam Ibnu al-Arabi.

Yang unik, Imam Nawawi dengan mengutip pendapat Imam Abu Saad membolehkan ucapan doa selain salam kepada nonmuslim. Misalnya, dengan mengatakan “semoga Allah memberikan hidayah kepadamu”, “semoga Allah memberikan kenikmatan di pagi harimu”, “semoga pagimu indah”, “semoga pagimu sehat, senang, bahagia, nikmat”, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa menjalin hubungan kekerabatan dan pertemanan bersama nonmuslim dengan mendoakan dan menyenangkan mereka adalah perkara yang diperbolehkan. Selagi ucapan “selamat merayakan Natal” tidak dilandasi dengan pembenaran terhadap akidah mereka, maka tidak apa-apa.

Namun, tentu Imam Nawawi memberikan catatan. Kebolehan doa untuk nonmuslim itu bila dilandasi dengan kebutuhan, misalnya karena mereka adalah kerabat atau rakyat (bagi pemerintah) yang berguna untuk kelangsungan hidup rukun. Bila tidak ada kebutuhan, misalnya tidak memiliki kerabat atau teman nonmuslim, maka tidak perlu mengucapkan doa itu bagi mereka yang tidak dikenal.

Bahkan, sebenarnya Rasulullah sendiri pernah mengucapkan salam khusus bagi nonmuslim, yaitu Raja Negus. Di dalam surat dakwahnya, sebagaimana dikutip oleh Imam Tabari beliau menulis, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah kepada Negus al-Asham Raja Etiopia. Salam engkau.” Nabi membedakan ucapan salam untuk Raja Negus dari raja-raja lain. Bila ucapan salam kepada Hiraqla, Munzir al-Gassani, dan Kisra disebutkan “salam bagi yang mengikuti petunjuk”, maka salam kepada Raja Negus spesifik ditujukan kepadanya. Hal ini tentu didasari karena Raja Negus bersikap baik dan adil kepada umat Islam, serta tidak memeranginya. Sekali pun tentu Nabi tahu bahwa Raja Negus akan menerima dakwah Islam.

Terlepas daripada itu, karena Nabi menyampaikan salam kepada Raja Negus ketika masih kafir, maka bisa menjadi dalil bolehannya memberikan salam kepada nonmuslim yang tidak memerangi dan bersikap baik kepada muslim. Hal yang mendasari pengambilan hukum itu adalah ungkapan Imam Syafei. Ketika dalil kunut Subuh dipermasalahkan terhadap Imam Syafei, maka beliau menjawab, “Seandainya Nabi hanya melakukan suatu perbuatan satu kali saja, maka itu sudah cukup menjadi dalil melakukan perbuatan itu secara syariat.”

Karena mengucapkan salam terhadap nonmuslim adalah masalah khilafiah, maka kita bisa mengambil pendapat yang membolehkannya. Bahkan, mendoakan nonmuslim dengan hal-hal yang baik, menjalin hubungan baik dengan mereka, dan bergaul bersama bukanlah suatu hal yang diharamkan. Dari sana, hukum mengucapkan “selamat Natal” bisa dikiaskan.

Adapun ucapan “selamat merayakan Natal” yang dimaksud, sekadar basa-basi, menjaga hubungan harmonis antarumat beragama, atau kampanye Islam damai dan penuh rahmat. Selain itu, mengucapkan selamat kepada nonmuslim juga bukan sebagai bentuk ibadah, tetapi sebagai bentuk pertemanan atau muamalah. Bukankah Allah tidak melarang hamba-Nya untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi dalam urusan agama serta tidak mengusir daribkampung halaman, sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Mumtahanan ayat 8?

Di hari Natal juga, umat Islam bisa turut berbahagia dan mengingat hari kelahiran dan riwayat hidup Nabi Isa. Sungguh bila tidak dirutinkan, hanya akan ada segelintir orang yang mengingat sejarah mulia itu. Maka, dengan adanya hari Natal yang diperingati setiap tanggal 25 Desember, umat Islam bisa turut melakukan ibadah dengan membaca Al-Qur’an surah Āl `Imrān dan Maryam, memburu pahala dengan membaca buku-buku sejarah Nabi Isa, serta menyampaikan salam dan selamat kepadanya. Setidaknya, satu tahun sekali hal itu diulangi.

Di luar daripada itu, umat Islam seyogyanya tidak berlebihan dalam menyambut hari Natal. Tidak sepantasnya kita turut dalam perayaan dan peribadatan di tempat-tempat suci umat Nasrani. Selain hanya akan mengganggu kekhidmatan acara, praktik tersebut juga menyalahi aturan agama. Terkait hal ini, bukan memasuki tempat suci atau tempat ibadah mereka yang haram, bukan bergaul dengan mereka yang haram, tetapi mengikuti praktik perayaan dan peribadatan mereka lah yang tidak diperkenankan. Selagi hubungan tersebut tidak terkait dengan urusan ibadah dan akidah, maka boleh menjalin hubungan muamalah. Begitulah semestinya sikap kita sebagai kelompok ahlusunah, umat pertengahan, dan kalangan moderat.

Jadi, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk turut merayakan hari Natal selama tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam. Toh momen Natal dimaksudkan sebagai hari kelahiran Nabi Isa yang posisi dan kisahnya sangat dimuliakan di dalam Islam. Berbeda bila yang dirayakan menyalahi prinsip Islam. Misalnya, hari paskah atau wafatnya Yesus Kristus dan hari kebangkitannya. Islam meyakini bahwa Nabi Isa belum wafat, apalagi dibangkitkan hidup kembali, maka merayakan dan mengucapkan selamat atas hal itu jelas terlarang. Hal itu juga berlaku bagi hari raya agama lain. Bila sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip Islam, boleh “berbuat baik” dan “berlaku adil” kepada mereka. Bila menyalahi aturan Islam, kita bisa meninggalkannya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung dan mendebat keyakinan umat Nasrani, karena bukan pada tempatnya. Tulisan ini semata-mata untuk menyadarkan umat Islam agar tidak berlebihan dalam menyikapi hari Natal. Dengan demikian, diharapkan hubungan antara umat Islam dan umat Nasrani bisa terjalin dengan tetap berjalan beriringan di jalur masing-masing tanpa meributkan sesuatu yang bukan ranahnya. Salam bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk Tuhan.

Wallahualam bissawab.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s